Memahami tentang karakter spesifik dan dinamika kepribadian manusia berdasarkan tokoh teori Logotherapy dirintis oleh Victor Frankl
TEORI KEPRIBADIAN KONTEMPORER
“TEORY LOGOHERAPY OF VICTOR FRANKL”
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Amerika Serikat, hampir 50% populasi dewasa mendapatkan gangguan
psikiatri di masa kehidupan, walaupun kurang dari 50% dengan penyakit psikiatri
menerima perawatan. Mereka yang mencari terapi untuk gangguan psikiatri, hanya
sepertiga yang mendapatkan pelayanan kesehatan mental. Biaya terapi gangguan
psikiatri,pelanggaran hukum, mortalitas, menurunnya produktivitas, diperikirakan 273
miliar per tahun (Reichenberg dan Seligman, 2010).
Salah satu penatalaksanaan untuk mengatasi gangguan jiwa adalah dengan
psikoterapi. Psikoterapi telah menjadi bagian dari terapi pada pasien psikiatri.
Pengalaman klinis dan penelitian secara empiris telah menunjukkan bahwa psikoterapi
cukup efektif dan ekonomis. Jika anti depresan memperbaiki gejala neurovegetatif,
maka psikoterapi memperbaiki hubungan interpersonal dan harga diri. Psikoterapi yang
dilakukan dalam jangka panjang adalah terapi yang penting dilakukan untuk 50%
pasien depresi yang mengalami gangguan dalam pekerjaan (Reichenberg dan Seligman,
2010).
Psikoterapi mempunyai bermacam jenis yang berbeda, bertujuan mencapai
target yang berbeda pula. Salah satu jenis psikoterapi adalah dengan logoterapi, gagasan
tentang logoterapi berasal dari pengalaman hidup dan perenungan yang cukup panjang
yang sangat dipengaruhi oleh pola didik spiritual semasa kecil hingga dewasa.
Logoterapi secara umum digambarkan sebagai corak psikologi yang dilandasi dan
wawasan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi spiritual, disamping
dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan termasuk dimensi sosial. Dengan memahami dari
makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to
meaning) merupakan motivasi utama guna meraih taraf kehidupan bermakna (the
meaningfull life) (Bastaman, 2007).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud logotherapy menurut Vector Frankl ?
2. Bagaimana penerapan logotherapy dalam kehidupan sehari-hari ?
C. Tujuan
1. Memahami apa yang dimaksud dengan logotherapy.
2. Mengetahui bagaimana penerapan teori logotherapy dalam kehidupan sehari-hari.
A. SEJARAH
Viktor Emil Frankl dilahirkan di Wina pada tanggal 26 Maret 1905 dari
keluarga Yahudi. Frankl merupakan anak kedua dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa
Frankl. Nilai-nilai dan kepercayaan atau spiritual Yudaisme berpengaruh kuat atas diri
Frankl, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana kehidupan
keluarga yang memperhatikan hal-hal keagamaan, Frankl menjalani sebagian besar
hidup dan pendidikannya, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (Koswara,
1992; Bastaman, 2007).
Viktor E. Frankl (1905-1997) berasal dari kota Vienna, Austria adalah Profesor
bidang neurologi dan psikiatri di The University of Vienna Medical School dan guru
besar luar biasa bidang logoterapi pada U.S. International University. Dia adalah
pendiri apa yang biasa disebut madzhab ketiga psikoterapi dari Wina (setelah
psikoanalisis S. Freud dan psikologi individu Alfred Adler), yaitu aliran logoterapi
(Guttmaun, 1996).
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, dari tahun 1942 sampai 1945, Frankl
menjadi tawanan di “kamp konsentrasi maut” Jerman, dimana orang tuanya, saudara
laki-lakinya, istri dan anak-anaknya mati. Di kamp itulah, Frankl mengalami dan
menyaksikan para tahanan disiksa, diteror dan dibunuh secara kejam. Frankl berusaha
turut meringankan penderitaan sesama tahanan dengan membesarkan hati mereka yang
putus asa dan membantu menunjukkan hikmah dan arti hidup, walaupun dalam keadaan
menderita. Frankl melihat bahwa tahanan yang tetap menunjukkan sikap tabah dan
mampu bertahan itu adalah mereka yang berhasil mengembangkan dalam diri mereka
tentang harapan akan kebebasan. Harapan bertemu kembali dengan keluarganya, serta
meyakini akan pertolongan Tuhan dengan berbuat kebajikan, berhasil menemukan dan
mengembangkan makna dari penderitaan mereka (meaning in suffering). Frankl banyak
belajar tentang makna hidup, dan lebih spesifik lagi makna penderitaan (Bastaman,
2007).
Perang Dunia II berakhir dan semua tawanan yang masih tersisa di bebaskan,
Frankl kembali ke Wina sebagai kepala bagian neurologi dan psikiatri di Poliklinik
Hospital dan mengajar kembali di The University of Vienna Medical School.
Selanjutnya Frankl menyebarluaskan pandangannya tentang logoterapi melalui artikel,
buku dan ceramah-ceramah. Ia juga aktif melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai
universitas di seluruh dunia sebagai dosen tamu atau pembicara dalam bidang
logoterapi (Bastaman, 2007).
B. Batasan Umum Logoterapi
Logoterapi merupakan sebuah aliran psikologi atau psikiatri modern yang
menjadikan makna hidup sebagai tema sentralnya. Dikelompokkan ke dalam aliran
eksistensial atau psikologi humanistik. Frankl yang pada awalnya merupakan pengikut
Freud dan Adler, membelot dari ajaran para seniornya tersebut (Morgan, 2012). Hal ini
disebabkan oleh pengalamannya dengan para pasien yang membuatnya sadar adanya
perubahan sindroma repressed sex dan sexually frustrated dari ajaran Freud menjadi
repressed meaning dan existential frustrated.
Begitupun dengan ajaran Adler dari feeling inferiority menjadi feeling of
meaningless dan emptyness. Berbagai perubahan paradigma ini, kemudian menurut
Frankl memerlukan suatu pendekatan baru, yaitu logoterapi (Barnes, 2000; Frank
dalam Bastaman, 2007).
Logoterapi berasal dari kata “Logos” yang dalam bahasa Yunani berarti makna
(meaning) dan juga rohani berarti (spiritual), kata “Terapi” berarti penyembuhan atau
pengobatan. Secara umum logoterapi dapat digambarkan sebagai corak psikologi atau
psikiatri yang mengakui adanya dimensi spiritual pada manusia disamping dimensi
ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan
hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia
guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang didambakan (Frankl
dalam Bastaman 2007). Logoterapi bertujuan membantu pasien menemukan makna
hidup. Namun Frankl menyatakan bahwa spirituality atau kerohanian dalam logoterapi
tidak mengandung konotasi agama, bahkan ajaran logoterapi bersifat sekuler (Tomy,
2014).
Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam hidup
seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Oleh sebab itu Viktor Frankl
dalam Bastaman 2007 menyebutnya sebagai keinginan untuk mencari makna hidup,
yang sangat berbeda dengan pleasure principle (prinsip kesenangan atau lazim dikenal
dengan keinginan untuk mencari kesenangan) yang merupakan dasar dari aliran
psikoanalisis Freud dan juga berbeda dengan will to power (keinginan untuk mencari
kekuasaan), dasar dari aliran psikologi Adler yang memusatkan perhatian pada striving
for superiority (perjuangan untuk mencari keunggulan).
Orang yang hidupnya terus menerus mencari kenikmatan, akan gagal
mendapatkannya karena ia memusatkannya pada hal-hal tersebut. Orang itu akan
mengeluh bahwa hidupnya tidak mempunyai arti yang disebabkan oleh aktivitasnya
yang tidak mengandung nilai-nilai yang luhur. Jadi yang penting bukanlah aktivitas
yang dikerjakannya, melainkan bagaimana caranya ia melakukan aktivitas itu, yaitu
sejauh mana ia dapat menyatakan keunikan dirinya dalam aktivitasnya itu (Guttmaun,
1996).
Frankl menekankan bahwa kematian atau ketidakkekalan hidup tidak membuat
hidup itu tidak bermakna. Ketidakkekalan hidup lebih terkait dengan sikap bertanggung
jawab, karena segala sesuatunya tergantung dari kemampuan kita untuk mewujudkan
kemungkinan-kemungkinan yang pada dasarnya bersifat tidak kekal. Logoterapi tidak
menyikapi setiap penderitaan (termasuk kematian) secara pesimistis, tetapi secara aktif
(Tomy, 2014).
Dari pernyataan itu, Frankl dalam Bastaman 2007, menekankan sikap optimis
dalam menjalani kehidupan dan mengajarkan bahwa tidak ada penderitaan dan aspek
negatif yang tidak dapat diubah menjadi sesuatu yang positif. Karena manusia
mempunyai kapasitas untuk melakukan hal itu dan mampu mengambil sikap yang tepat
terhadap apa yang sedang dialaminya.
C. Teori-Teori yang Mendasari Logoterapi
Terdapat beberapa teori yang mendasari timbulnya pendekatan psikoterapi
dengan teknik Logoterapi, antara lain (Mcleod, 2003) :
1. Eksistensialisme.
Logoterapi merupakan salah satu teknik psikoterapi eksistensial, dimana tujuan
teknik psikoterapi yang menggunakan filosofi eksistensialisme ini adalah untuk
mengungkapkan makna dasar keberadaan yang mendasari kehidupan manusia sehari-
hari guna mencapai kehidupan autentik yang lebih baik. Pendekatan filosofi
eksistensialisme ini menyatakan bahwa:
a. Manusia eksis dalam waktu, yang maksudnya adalah kejadian yang terjadi pada
masa kini akibat adanya suatu sumber dimasa lalu dan hingga masa yang akan
datang dengan berbagai kemungkinan.
b. Manusia berusaha untuk eksis, maksudnya adalah eksistensi manusia dalam
dunia diungkapkan melalui dirinya sendiri (pikiran, perasaan, tingkah laku,
kesadaran) dalam hubungannya dengan organisasi ruang yang ada di sekitarnya.
c. Kecemasan, ketakutan dan perhatian yang terpusatkan pada suatu kejadian
merupakan konsekuensi dari sikap menyayangi terhadap seseorang dan dunia
disekitarnya.
Dari pendekatan filosofi eksistensialisme ini dapat diambil kesimpulan bahwa
keberadaan manusia di dunia masyarakat kemampuan bertanggungjawab terhadap
tindakannya, sehingga dengan demikian manusia tersebut bersedia untuk ditempatkan
dalam ruang yang telah ditentukan dalam berbagai kemungkinan kondisi yang ada
(Mcleod, 2003).
2. Stoicisisme (tenang/sabar/tabah)
Sikap ketabahan/sabar/tenang juga harus dimiliki, karena tidak ada masalah
yang tidak ada dalam dunia ini. Kita selalu dapat menentukan sikap menolong diri
sendiri. Manusia yang berpendirian dan berkeyakinan selalu dapat berubah tetapi juga
tergantung pada penafsiran mereka terhadap masalah. Bahkan dalam alam kematian
dan penderitaan, dengan menujukkan keteguhan hati kita dapat memposisikan diri
dalam situasi yang bermakna.
3. Pengalaman Pribadi Frankl (dalam studinya sebagai Psikiater)
“Ini adalah pelajaran, Selama tiga tahun saya menghabiskan waktu untuk
belajar di Auschwitz dan Dachau, hal lain sama keadaanya, untuk melestarikan suasana
belajar yang berorientasi kepada suatu tugas dimasa mendatang, atau menjadi manusia
yang berharga, menanti masa depan, untuk sebuah makna yang harus diwujudkan
dimasa mendatang”. Logoterapi merupakan perolehan ide-ide oleh Frankl dan
improfisasi bahwa tidak semua yang nyata berkaitan dengan pengalamannya dalam
mempelajari atau makna dari kehidupan.
D. Kesehatan Mental menurut Logoterapi
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, penyebab utama gangguan mental yang
diderita seseorang adalah kegagalan manusia modern memperoleh arti kehidupan.
Kehidupan modern telah mengabaikan keinginan manusia untuk mencari arti atau dasar
hidup yang sesungguhnya.
Upaya manusia untuk mencari makna hidup bisa menimbulkan ketegangan
batin, bukan keseimbangan batin. Tetapi ketegangan seperti itu justru merupakan
prasyarat yang sangat dibutuhkan bagi tercapainya kesehatan mental. Frankl percaya
bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa lebih efektif membantu seseorang
untuk bertahan hidup, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun, selain kesadaran
bahwa hidupnya memiliki makna (Tomy, 2014).
Kesehatan mental seseorang didasarkan pada ketegangan dengan tingkatan
tertentu yaitu tingkatan ketegangan yang sudah dicapainya dan tingkatan yang masih
harus dicapainya, atau kesenjangan diantara kondisi seseorang pada saat tertentu
dengan kondisi yang seharusnya dicapai. Salah jika kita beranggapan bahwa yang
dibutuhkan manusia untuk mencapai kesehatan mental adalah keseimbangan atau yang
dalam ilmu biologi disebut dengan istilah homeostatis, yaitu sebuah kondisi tanpa
tekanan. Melainkan upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna,
sebuah tugas yang dipilih dengan bebas. Yang dibutuhkan manusia bukan
menghilangkan tekanan dengan ongkos apapun, melainkan panggilan untuk mencari
makna hidup yang potensial yang harus dia penuhi.
Frankl juga mengakui peran agama dalam kesehatan mental, meskipun
menurutnya hubungan antar agama dan kesehatan mental tidak merupakan hubungan
kausalitas langsung. Tujuan psikoterapi pada umumnya adalah mengembangkan
kehidupan dengan mental yang sehat (mental health), sedangkan tujuan akhir agama
adalah mengembangkan keimanan (faith) dan penyelamatan rohani (spiritual
salvation).
Walaupun keduanya mempunyai tujuan yang berbeda, yang satu berdimensi
psikologis dan yang lain berdimensi spiritual, tetapi keduanya mungkin berkaitan
dalam hal akibat sampingnya. Seorang beriman belum tentu sehat mentalnya, dan orang
yang sehat mentalnya belum tentu beriman (Bastaman, 2007).
E. Konsep Dasar Logoterapi
Logoterapi memandang manusia sebagai makhluk bebas yang berusaha untuk
merubah kehidupannya berdasarkan keinginan untuk mewujudkan makna yang
dimilikinya menjadi kenyataan. Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat
penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup
terkait dengan alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri. (Lukas, 1998;Bastaman,
2007).
Dalam pelaksanaannya logoterapi memiliki tiga konsep utama, yaitu :
1. Makna ada pada setiap situasi hidup, baik dalam penderitaan atau kebahagiaan.
Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, dan memberikan nilai
khusus bagi seseorang. Bila seseorang berhasil menemukan dan memenuhi
makna hidupnya, maka kehidupan akan menjadi lebih berarti dan berharga. Dan
pada akhirnya akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness) sebagai
akibat sampingnya (Bastaman, 2007).
2. Kebebasan berkehendak, yaitu setiap manusia memiliki kebebasan yang tak
terbatas dalam menemukan makna hidupnya. Makna hidup dapat ditemukan
dalam kehidupan itu sendiri melalui karya-bakti, keyakinan atas harapan dan
kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman dan cinta kasih.
3. Manusia memiliki kemampuan dalam mengambil sikap terhadap penderitaan
dan peristiwa tragis yang terjadi. Apabila keadaan tragis tersebut tidak dapat
diubah, maka sebaiknya manusia mengambil sikap yang tepat agar tidak
terhanyut dalam menghadapi keadaan tersebut (Bastaman, 2007).
Ketiga konsep tersebut berkaitan dengan eksistensi manusia, pada logoterapi
ditandai dengan kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom) dan tanggung jawab
(responsibility).
F. Landasan Filosofi dari Logoterapi
Logoterapi memiliki tiga pilar yang menjadi landasan filosofisnya, yaitu
kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna dan makna hidup (Sjolie, 2002;
Haditabar dkk., 2013; Tomy, 2014).
1. Kebebasan berkeinginan (The Freedom of Will)
Tema khas yang selalu ada dalam literatur eksistensial (termasuk logoterapi)
adalah bahwa orang itu bebas untuk menentukan pilihan di antara alternative-alternatif
yang ada dan oleh karenanya mengambil peranan yang besar dalam menentukan
nasibnya sendiri (Wong, 2011).
Pandangan logoterapi, manusia memiliki kebebasan yang luas, tetapi sifatnya
terbatas, karena manusia adalah makhluk yang serba terbatas. Terdapat dua hal yang
membatasi kebebasan ini.
a. Pertama, kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari kondisi-kondisi
(biologis, psikologis dan sosiologis), melainkan kebebasan untuk menentukan sikap
terhadap kondisi-kondisi tersebut. Frankl sendiri berpendapat bahwa manusia bisa
menentukan sendiri apakah dia akan menyerah atau mengatasi kondisi yang
dihadapinya. Manusia tidak sekedar hidup tetapi dia selalu memutuskan bentuk
hidup yang akan dijalaninya.
Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut “the self determining
being” yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan
apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya.
b. Kedua, kebebasan harus disertai tanggung jawab (responsibility). Tanpa tanggung
jawab, kebebasan mudah sekali berkembang menjadi kesewenang-wenangan.
Logoterapi berusaha membuat pasien menyadari secara penuh tanggung jawab
dirinya dan memberi kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau
kepada siapa harus bertanggung jawab.
Penunjukan kebebasan dalam pandangan Frankl berpuncak pada kebebasan
berkeinginan sehingga ia menggunakannya sebagai landasan pertama logoterapi
(Koswara, 1992).
2. Keinginan akan makna (The Will to Meaning)
Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama
hidupnya. Makna hidup ini merupakan sesuatu yang unik dan khusus, artinya ia hanya
bisa dipenuhi oleh yang bersangkutan; hanya dengan cara itulah ia bisa memiliki arti
yang bisa memuaskan keinginan orang tersebut untuk mencari makna hidup (Wong,
2011).
Keinginan untuk mencari makna hidup, sangat berbeda dengan pleasure
principle (prinsip kesenangan atau lazim dikenal dengan keinginan untuk mencari
kesenangan) yang merupakan dasar dari aliran psikoanalisis Freud dan juga berbeda
dengan will to power (keinginan untuk mencari kekuasaan), dasar dari aliran psikologi
Adler yang memusatkan perhatian pada striving for superiority (perjuangan untuk
mencari keunggulan) (Sjolie, 2002).
Terhadap kedua pendapat ini, Frankl dalam Bastaman 2007 memberi tanggapan
bahwa kesenangan sama sekali bukan tujuan, melainkan “akibat samping” (by product)
dari tercapainya suatu tujuan. Kekuasaan adalah sarana atau alat untuk mencapai tujuan
dan bukan tujuan itu sendiri. Frankl sengaja menyebut “the will to meaning” dan bukan
“the drive to meaning”, karena makna dan nilai-nilai hidup tidak mendorong (to push,
to drive), tetapi seakanakan menarik (to pull) dan menawarkan (to offer) kepada
manusia untuk memenuhinya. Karena sifatnya menarik itu maka individu termotivasi
untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang bermakna dengan berbagai kegiatan
yang sarat dengan makna.
3. Makna hidup (The Meaning of Life)
Yang dimaksud dengan makna oleh logoterapi adalah makna yang terkandung
dan tersembunyi dalam setiap situasi yang dihadapi seseorang sepanjang hidup mereka.
Sedangkan arti dari makna hidup menurut Frankl dalam Bastaman 2007 adalah makna
tersendiri dari sebuah situasi yang konkrit. Lebih mengartikan makna hidup sebagai
kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh
realitas atau dalam kalimat yang sederhana menyadari apa yang bisa dilakukan di dalam
situasi tertentu. Kepada hidup hanya bisa menjawab dengan bertanggung jawab. Karena
itu, logoterapi menganggap sikap bertanggung jawab sebagai esensi dasar kehidupan
manusia.
Dengan menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab dan harus mewujudkan
berbagai potensi makna hidup, Frankl ingin menekankan bahwa makna hidup yang
sebenarnya harus ditemukan di dalam dunia dan bukan di dalam batin atau jiwa orang
tersebut. Dia membuat istilah khusus untuk menggambarkannya, yaitu ”transendensi
diri” dalam keberadaan manusia” (the self transcendence of human existence) (Tomy,
2014).
G. Tujuan Logoterapi
Menurut Frankl dalam Marshall (2011), Logoterapi bertujuan agar dalam
masalah yang dihadapi klien dia bisa menemukan makna dari penderitaan dan
kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya
sehingga bebas dari masalah tersebut.
Tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup bermakna dan mampu mengatasi
secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi. Hal ini diperoleh dengan jalan
menyadari dan memahamai serta merealisasikan berbagai potensi dan sumber daya
spiritual yang dimiliki setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat dan terabaikan.
Apabila seseorang tidak mengerti potensi-potensinya, maka tugas utama orang tersebut
adalah menemukannya (Tomy, 2014). Ada pun tujuan dari logoterapi adalah agar setiap
pribadi :
• Memahami adanya potensi dan sumber daya spiritual yang secara universal
ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang
dianutnya;
• Menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat
dan diabaikan bahkan terlupakan;
• Memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan
untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar
mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
H. Hubungan Konselor dan Konseli dalam Logoterapi
Dalam logoterapi, konseli mampu mengalami secara subjektif persepsi tentang
dunianya. Dia harus aktif dalam proses terapeutik, sebab dia harus memutuskan
ketakutan, perasaan berdosa dan kecemasan apa yang akan dieksplorasi. Memutuskan
untuk menjalani terapi saja sering merupakan tindakan yang menakutkan (Guttmann,
1996).
Konseli dalam terapi ini, terlibat dalam pembukaan pintu diri sendiri.
Pengalaman sering menakutkan atau menyenangkan dan gabungan dari semua perasaan
tersebut. Dengan membuka pintu yang tertutup, konseli mampu melonggarkan
belenggu deterministic yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologis.
Lambat laun konseli mulai sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekarang serta klien
lebih mampu menetapkan masa depan macam apa yang diinginkannya. Melalui proses
terapi, konseli bisa mengeksplorasi alternative-alternatif guna membuat pandanganpandangan menjadi nyata (Mcleod, 2003).
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, dalam pandangan para eksistensialis,
tugas utama konselor adalah mengeksplorasi persoalan yang berkaitan dengan
ketidakberdayaan, keputusasaan, ketidakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial.
Tugas proses terapeutik adalah menghadapi masalah ketidakbermaknaan dan
membantu konseli dalam membuat makna dari dunia yang kacau.
Frankl dalam Bastaman 2007, menandaskan bahwa fungsi Konselor bukanlah
menyampaikan kepada Konseli apa makna hidup yang harus diciptakannya, melainkan
mengungkapkan bahwa Konseli bisa menemukan makna, bahkan juga dari penderitaan,
karena penderitaan manusia bisa diubah menjadi prestasi melalui sikap yang
diambilnya menghadapi penderitaan itu.
May (1961) memandang tugas Konselor diantaranya adalah membantu Konseli
agar menyadari keberadaannya dalam dunia : “ini adalah ketika pasien melihat dirinya
sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subjek
yang memiliki dunia”.
Frankl (1959) menjabarkan peran Konselor sebagai “spesialis mata daripada
sebagai pelukis”, yang bertugas “memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien
sehingga spektrum keseluruhan dari makna dan nilai-nilai menjadi disadari dan dapat
diamati oleh pasien”.
I. Intervensi Klinis dari Logoterapi
Metode penanganan atau teknik-teknik terapi yang dikembangkan oleh
logoterapi, digunakan untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis somatogenik,
neurosis psikogenik, dan neurosis noogenik.
Untuk somatogenik, yakni gangguan perasaan yang berkaitan dengan ragawi,
logoterapi menggunakan medical ministry, sedangkan untuk neurosis psikogenik yang
bersumber dari hambatan-hambatan psikis digunakan teknik paradoxical intention dan
dereflection. Pelaksanaan logoterapi bermanfaat untuk mengatasi fobia, kecemasan,
gangguan obsesi kompulsif dan pelayanan medis lainnya (Crumbaugh, 2008). Morgan,
2012 menyebutkan penggunaan logoterapi pada kasus-kasus geriatri sangat bermanfaat
sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gangguan memori yang telah terjadi.
Teknik logoterapi pada remaja dengan Kanker fase terminal ditemukan sangat
bermanfaat dalam mengurangi penderitaan dan dalam menemukan makna hidup.
Kondisi emosional dan intervensi spiritual dalam perawatan paliatif, logoterapi
menunjukkan potensi secara efektif meningkatkan kualitas hidup dan mencegah
kekosongan eksistensial yang disebabkan oleh penyakit terminal pada pasien remaja
dengan beban tekanan yang serius (Kyung-Ah dkk, 2009).
J. Tahapan-tahapan Logoterapi
Proses konseling pada umumnya mencakup tahap-tahap : perkenalan,
pengungkapan dan penjajakan masalah, pembahasan bersama, evaluasi dan
penyimpulan, serta pengubahan sikap dan perilaku. Biasanya setelah masa konseling
berakhir masih dilanjutkan pemantauan atas upaya perubahan perilaku dan klien dapat
melakukan konsultasi lanjutan jika diperlukan (Tomy, 2014).
Konseling logoterapi berorientasi pada masa depan (future oriented) dan
berorientasi pada makna hidup (meaning oriented). Relasi yang dibangun antara
konselor dengan konseli adalah encounter, yaitu hubungan antar pribadi yang ditandai
oleh keakraban dan keterbukaan, serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai,
memahami dan menerima sepenuhnya satu sama lain (Tomy, 2014).
Ada empat tahap utama didalam proses konseling logterapi diantaranya adalah :
1. Tahap perkenalan dan pembinaan rapport. Pada tahap ini diawali dengan
menciptakan suasana nyaman untuk konsultasi dengan pembina rapport yang
makin lama makin membuka peluang untuk sebuah encounter. Inti sebuah
encounter adalah penghargaan kepada sesama manusia, ketulusan hati, dan
pelayanan. Percakapan dalam tahap ini tak jarang memberikan efek terapi bagi
konseli.
2. Tahap pengungkapan dan penjajagan masalah. Pada tahap ini konselor mulai
membuka dialog mengenai masalah yang dihadapi konseli. Berbeda dengan
konseling lain yang cenderung membiarkan konseli “sepuasnya” mengungkapkan
masalahnya, dalam logoterapi konseli sejak awal diarahkan untuk menghadapi
masalah itu sebagai kenyataan.
3. Pada tahap pembahasan bersama, konselor dan konseli bersama-sama membahas
dan menyamakan persepsi atas masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk
menemukan arti hidup sekalipun dalam penderitaan.
4. Tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi
yang diperoleh sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan
perilaku konseli. Pada tahap-tahap ini tercakup modifikasi sikap, orientasi terhadap
makna hidup, penemuan dan pemenuhan makna, dan pengurangan symptom.
Ada empat tahap utama didalam proses logoterapi diantaranya adalah (Tomy, 2014) :
1. Mengambil jarak terhadap gejala (distance from symptom), membantu
menyadarkan penderita bahwa gejala tidak sama (identik) dengan dirinya, tetapi
merupakan suatu kondisi yang dapat dikendalikan oleh penderita.
2. Modifikasi sikap (modification of attitude), membantu penderita mendapatkan
pandangan baru terhadap diri sendiri serta kondisi yang dialaminya, sehingga
penderita dapat menentukan sikap baru dalam menentukan arah dan tujuan
hidupnya.
3. Pengurangan gejala (reducing symptoms), upaya menerapkan teknik-teknik
logoterapi dalam menghilangkan gejala secara keseluruhan atau sekurangkurangnya mengurangi dan mengendalikan gejala yang dirasakan penderita.
Perubahan pada sikap selanjutnya memberikan umpan balik positif yang
membantu seseorang untuk lebih terbuka dan menemukan makna baru pada
situasi.
4. Orientasi terhadap makna (orientation toword meaning), membahas bersama
nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan pasien,
terapis dalam hal ini berperan untuk membantu pasien memperdalam,
memperluas nilai-nilai yang dimiliki pasien dan menjabarkannya menjadi tujuan
yang konkret dalam kehidupan pasien.
Terapis dalam membahas makna hidup ini menggunakan “Socratic dialogue”,
yaitu suatu pembicaraan yang membantu pasien dalam menemukan makna hidupnya
dengan menggunakan kemampuan fantasi, mimpi, pasien sendiri untuk menjadi suatu
tujuan konkret dalam kehidupan pasien.
K. Teknik Logoterapi
Logoterapi untuk mengatasi manusia dengan tiga demensi (fisik, psikis dan
spirit) dengan mengembangkan logoterapi. Untuk memudahkan pemahaman terhadap
teknik logoterapi perlu dijelaskan dahulu suatu fenomena psikologi klinis yang disebut
Anticipatory Anxienty, yakni kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas
suatu situasi dan atau gejala yang ditakutinya (Frankl’s dalam Wong 2002; Marshall
2011).
Frankl mencatat bahwa pola reaksi atau respon yang biasa digunakan individu
untuk mengatasi kecemasan antisipatori adalah dengan pola reaksi : fight from fear,
menghindari atau lari dari obyek yang ditakuti dan situasi yang menjadi sumber
kecemasan; fight against obsession, mencurahkan seluruh daya dan upaya untuk
mengendalikan, menahan dan melawan pikiran tentang sesuatu atau keinginan untuk
melakukan sesuatu yang sifatnya memaksa (suatu dorongan yang kuat) dan aneh dalam
dirinya; fight for something, melawan untuk sesuatu hasrat yang berlebihan (misal :
kepuasan) yang dalam kenyataan sering disertai kecenderungan kuat untuk selalu
menanti dengan penuh harapan saat sesuatu (kepuasan) itu terjadi pada dirinya. Dalam
logoterapi fenomena itu disebut hyperreflection (terlalu memperhatikan kesenangan
sendiri) dan hyperintention (selalu menghasrati sesuatu) yang semuanya diluar
kewajaran.
Sebagai contoh hasil penelitian yang dilakukan oleh Erna dan Aris 2010,
didapatkan bahwa logoterapi efektif dalam nenurunkan intensitas nyeri dan skor
depresi, hampir selama 1 bulan penelitian. Hal ini dikarenakan setelah mendapatkan
logoterapi dengan teknik dereflection, medical ministry dan existential analysis, durasi
15-30 menit tiap pertemuan seminggu 2 kali, pasien terbantu untuk menerima
penderitaannya dengan hati lapang, sehingga dia dapat mengambil jarak dengan
penderitaannya serta melihat sisi baik dari penderitaannya, yang dalam hal ini berupa
nyeri kronik. Dengan demikian pasien terbantu untuk menemukan nilai-nilai baru dan
mengembangkan filosofi konstruktif dalam kehidupannya.
Dari pola respon tersebut Frankl menemukan dua fakta, yakni kesenjangan yang
memaksa untuk menghindari sesuatu semakin mendekatkan individu kepada sesuatu
yang ingin dihindarinya, dan kesenjangan yang memaksa untuk mencapai sesuatu
semakin menjauhkan individu dari sesuatu yang ingin dicapainya. Untuk mengatasi
semua ini, Logoterapi mengembangkan teknik-teknik sebagai berikut:
1) Paradoxicial Intention.
Teknik Paradoxicial Intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan
insani dalam mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap
(to take a stand) terhadap keadaan diri sendiri dan lingkungannya. Selain itu, teknik
ini memanfaatkan salah satu kualitas insani lainnya, yaitu rasa humor. Dalam
menerapkan teknik Paradoxicial Intention penderita dibantu untuk menyadari pola
keluhannya, mengambil jarak pada keluhannya itu dan menanggapinya sendiri
secara humoristis (Lukas, 1998).
Teknik Paradoxicial Intention ini berusaha mengubah sikap penderita yang
semula serba takut menjadi ”akrab” dengan obyek yang justru ditakutinya dengan
memandang segi-segi humor dari keluhannya. Menurut Frankl dalam Guttmaun,
1996 mengatakan bahwa kesuksesan dari Paradoxical Intention mencapai
keberhasilan antara 80-90% dari kasus.
Frankl dalam Bastaman 2007, memberikan sebuah contoh. Seorang dokter
muda datang ke tempatnya dengan keluhan takut berkeringat. Setiap kali tubuhnya
takut dia berkeringat. Ketakutan ini cukup memicu keluarnya keringat secara
berlebihan. Untuk mencegah terjadinya hal ini, Frankl menyarankan agar saat
tubuhnya berkeringat secara berlebihan dia menunjukkan dengan sengaja kepada
orang-orang, betapa banyak keringat yang bisa dia keluarkan. Seminggu kemudian
ia kembali melaporkan bahwa setiap kali dia bertemu seseorang yang bisa memicu
munculnya rasa takut yang diantisipasi, dia akan berkata pada dirinya sendiri:
“Biasanya saya hanya akan mengeluarkan seperempat liter keringat, tetapi saya
akan mengeluarkan sedikitnya sepuluh liter keringat!” Hasilnya setelah bertahuntahun menderita fobia, orang tersebut secara permanen terbebas dari fobianya,
hanya dalam waktu satu minggu dan melalui satu kali konsultasi.
Pada kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang biasanya penderita menahan dan
mengendalikan secara ketat dorongan-dorongannya agar tidak muncul, penderita
justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan (bahkan memacu) agar
dorongan-dorongannya itu benar-benar mencetus. Usaha ini benar-benar sulit
dilaksanakan apabila tidak dilakukan secara humoris, dalam arti menimbulkan
perasaan humor pada penderita dan memandang keluhannya sendiri secara jenaka
atau secara ironis.
Pemanfaatan rasa humor dalam terapi berarti membantu penderita untuk
memandang gangguan-gangguannya tidak lagi sebagai sesuatu yang mencemaskan,
tetapi sebagai sesuatu yang lucu (Bastaman, 2007). Paradoxical intention bisa juga
diterapkan kepada penderita insomnia. Rasa takut tidak bisa tidur memicu
keinginan berlebihan untuk tidur, yang malah membuat pasien tidak bisa tidur.
Untuk mengatasi ketakutan ini biasanya Frankl menganjurkan si pasien untuk
mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang sebaliknya, artinya berusaha sedapat
mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata lain, keinginan yang sangat besar untuk
tidur, yang muncul akibat rasa cemas yang diantisipasi bahwa dia tidak bisa tidur,
harus diganti dengan keinginan sebaliknya untuk tidak tidur, akibatnya si pasien
akan segera tertidur.
Teknik paradoksikal intension memiliki keterbatasan yaitu sulit dilakukan
pada pasien yang kurang memiliki rasa humor. Selain itu, teknik ini mempunyai
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Amerika Serikat, hampir 50% populasi dewasa mendapatkan gangguan
psikiatri di masa kehidupan, walaupun kurang dari 50% dengan penyakit psikiatri
menerima perawatan. Mereka yang mencari terapi untuk gangguan psikiatri, hanya
sepertiga yang mendapatkan pelayanan kesehatan mental. Biaya terapi gangguan
psikiatri,pelanggaran hukum, mortalitas, menurunnya produktivitas, diperikirakan 273
miliar per tahun (Reichenberg dan Seligman, 2010).
Salah satu penatalaksanaan untuk mengatasi gangguan jiwa adalah dengan
psikoterapi. Psikoterapi telah menjadi bagian dari terapi pada pasien psikiatri.
Pengalaman klinis dan penelitian secara empiris telah menunjukkan bahwa psikoterapi
cukup efektif dan ekonomis. Jika anti depresan memperbaiki gejala neurovegetatif,
maka psikoterapi memperbaiki hubungan interpersonal dan harga diri. Psikoterapi yang
dilakukan dalam jangka panjang adalah terapi yang penting dilakukan untuk 50%
pasien depresi yang mengalami gangguan dalam pekerjaan (Reichenberg dan Seligman,
2010).
Psikoterapi mempunyai bermacam jenis yang berbeda, bertujuan mencapai
target yang berbeda pula. Salah satu jenis psikoterapi adalah dengan logoterapi, gagasan
tentang logoterapi berasal dari pengalaman hidup dan perenungan yang cukup panjang
yang sangat dipengaruhi oleh pola didik spiritual semasa kecil hingga dewasa.
Logoterapi secara umum digambarkan sebagai corak psikologi yang dilandasi dan
wawasan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi spiritual, disamping
dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan termasuk dimensi sosial. Dengan memahami dari
makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to
meaning) merupakan motivasi utama guna meraih taraf kehidupan bermakna (the
meaningfull life) (Bastaman, 2007).
1. Apa yang dimaksud logotherapy menurut Vector Frankl ?
2. Bagaimana penerapan logotherapy dalam kehidupan sehari-hari ?
C. Tujuan
1. Memahami apa yang dimaksud dengan logotherapy.
2. Mengetahui bagaimana penerapan teori logotherapy dalam kehidupan sehari-hari.
Viktor Emil Frankl dilahirkan di Wina pada tanggal 26 Maret 1905 dari
keluarga Yahudi. Frankl merupakan anak kedua dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa
Frankl. Nilai-nilai dan kepercayaan atau spiritual Yudaisme berpengaruh kuat atas diri
Frankl, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana kehidupan
keluarga yang memperhatikan hal-hal keagamaan, Frankl menjalani sebagian besar
hidup dan pendidikannya, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (Koswara,
1992; Bastaman, 2007).
Viktor E. Frankl (1905-1997) berasal dari kota Vienna, Austria adalah Profesor
bidang neurologi dan psikiatri di The University of Vienna Medical School dan guru
besar luar biasa bidang logoterapi pada U.S. International University. Dia adalah
pendiri apa yang biasa disebut madzhab ketiga psikoterapi dari Wina (setelah
psikoanalisis S. Freud dan psikologi individu Alfred Adler), yaitu aliran logoterapi
(Guttmaun, 1996).
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, dari tahun 1942 sampai 1945, Frankl
menjadi tawanan di “kamp konsentrasi maut” Jerman, dimana orang tuanya, saudara
laki-lakinya, istri dan anak-anaknya mati. Di kamp itulah, Frankl mengalami dan
menyaksikan para tahanan disiksa, diteror dan dibunuh secara kejam. Frankl berusaha
turut meringankan penderitaan sesama tahanan dengan membesarkan hati mereka yang
putus asa dan membantu menunjukkan hikmah dan arti hidup, walaupun dalam keadaan
menderita. Frankl melihat bahwa tahanan yang tetap menunjukkan sikap tabah dan
mampu bertahan itu adalah mereka yang berhasil mengembangkan dalam diri mereka
tentang harapan akan kebebasan. Harapan bertemu kembali dengan keluarganya, serta
meyakini akan pertolongan Tuhan dengan berbuat kebajikan, berhasil menemukan dan
mengembangkan makna dari penderitaan mereka (meaning in suffering). Frankl banyak
belajar tentang makna hidup, dan lebih spesifik lagi makna penderitaan (Bastaman,
2007).
Perang Dunia II berakhir dan semua tawanan yang masih tersisa di bebaskan,
Frankl kembali ke Wina sebagai kepala bagian neurologi dan psikiatri di Poliklinik
Hospital dan mengajar kembali di The University of Vienna Medical School.
Selanjutnya Frankl menyebarluaskan pandangannya tentang logoterapi melalui artikel,
buku dan ceramah-ceramah. Ia juga aktif melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai
universitas di seluruh dunia sebagai dosen tamu atau pembicara dalam bidang
logoterapi (Bastaman, 2007).
Logoterapi merupakan sebuah aliran psikologi atau psikiatri modern yang
menjadikan makna hidup sebagai tema sentralnya. Dikelompokkan ke dalam aliran
eksistensial atau psikologi humanistik. Frankl yang pada awalnya merupakan pengikut
Freud dan Adler, membelot dari ajaran para seniornya tersebut (Morgan, 2012). Hal ini
disebabkan oleh pengalamannya dengan para pasien yang membuatnya sadar adanya
perubahan sindroma repressed sex dan sexually frustrated dari ajaran Freud menjadi
repressed meaning dan existential frustrated.
Begitupun dengan ajaran Adler dari feeling inferiority menjadi feeling of
meaningless dan emptyness. Berbagai perubahan paradigma ini, kemudian menurut
Frankl memerlukan suatu pendekatan baru, yaitu logoterapi (Barnes, 2000; Frank
dalam Bastaman, 2007).
(meaning) dan juga rohani berarti (spiritual), kata “Terapi” berarti penyembuhan atau
pengobatan. Secara umum logoterapi dapat digambarkan sebagai corak psikologi atau
psikiatri yang mengakui adanya dimensi spiritual pada manusia disamping dimensi
ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan
hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia
guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang didambakan (Frankl
dalam Bastaman 2007). Logoterapi bertujuan membantu pasien menemukan makna
hidup. Namun Frankl menyatakan bahwa spirituality atau kerohanian dalam logoterapi
tidak mengandung konotasi agama, bahkan ajaran logoterapi bersifat sekuler (Tomy,
2014).
Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam hidup
seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Oleh sebab itu Viktor Frankl
dalam Bastaman 2007 menyebutnya sebagai keinginan untuk mencari makna hidup,
yang sangat berbeda dengan pleasure principle (prinsip kesenangan atau lazim dikenal
dengan keinginan untuk mencari kesenangan) yang merupakan dasar dari aliran
psikoanalisis Freud dan juga berbeda dengan will to power (keinginan untuk mencari
kekuasaan), dasar dari aliran psikologi Adler yang memusatkan perhatian pada striving
for superiority (perjuangan untuk mencari keunggulan).
Orang yang hidupnya terus menerus mencari kenikmatan, akan gagal
mendapatkannya karena ia memusatkannya pada hal-hal tersebut. Orang itu akan
mengeluh bahwa hidupnya tidak mempunyai arti yang disebabkan oleh aktivitasnya
yang tidak mengandung nilai-nilai yang luhur. Jadi yang penting bukanlah aktivitas
yang dikerjakannya, melainkan bagaimana caranya ia melakukan aktivitas itu, yaitu
sejauh mana ia dapat menyatakan keunikan dirinya dalam aktivitasnya itu (Guttmaun,
1996).
Frankl menekankan bahwa kematian atau ketidakkekalan hidup tidak membuat
hidup itu tidak bermakna. Ketidakkekalan hidup lebih terkait dengan sikap bertanggung
jawab, karena segala sesuatunya tergantung dari kemampuan kita untuk mewujudkan
kemungkinan-kemungkinan yang pada dasarnya bersifat tidak kekal. Logoterapi tidak
menyikapi setiap penderitaan (termasuk kematian) secara pesimistis, tetapi secara aktif
(Tomy, 2014).
Dari pernyataan itu, Frankl dalam Bastaman 2007, menekankan sikap optimis
dalam menjalani kehidupan dan mengajarkan bahwa tidak ada penderitaan dan aspek
negatif yang tidak dapat diubah menjadi sesuatu yang positif. Karena manusia
mempunyai kapasitas untuk melakukan hal itu dan mampu mengambil sikap yang tepat
terhadap apa yang sedang dialaminya.
Terdapat beberapa teori yang mendasari timbulnya pendekatan psikoterapi
dengan teknik Logoterapi, antara lain (Mcleod, 2003) :
1. Eksistensialisme.
Logoterapi merupakan salah satu teknik psikoterapi eksistensial, dimana tujuan
teknik psikoterapi yang menggunakan filosofi eksistensialisme ini adalah untuk
mengungkapkan makna dasar keberadaan yang mendasari kehidupan manusia sehari-
hari guna mencapai kehidupan autentik yang lebih baik. Pendekatan filosofi
eksistensialisme ini menyatakan bahwa:
a. Manusia eksis dalam waktu, yang maksudnya adalah kejadian yang terjadi pada
masa kini akibat adanya suatu sumber dimasa lalu dan hingga masa yang akan
datang dengan berbagai kemungkinan.
b. Manusia berusaha untuk eksis, maksudnya adalah eksistensi manusia dalam
dunia diungkapkan melalui dirinya sendiri (pikiran, perasaan, tingkah laku,
kesadaran) dalam hubungannya dengan organisasi ruang yang ada di sekitarnya.
c. Kecemasan, ketakutan dan perhatian yang terpusatkan pada suatu kejadian
merupakan konsekuensi dari sikap menyayangi terhadap seseorang dan dunia
disekitarnya.
Dari pendekatan filosofi eksistensialisme ini dapat diambil kesimpulan bahwa
keberadaan manusia di dunia masyarakat kemampuan bertanggungjawab terhadap
tindakannya, sehingga dengan demikian manusia tersebut bersedia untuk ditempatkan
dalam ruang yang telah ditentukan dalam berbagai kemungkinan kondisi yang ada
(Mcleod, 2003).
2. Stoicisisme (tenang/sabar/tabah)
Sikap ketabahan/sabar/tenang juga harus dimiliki, karena tidak ada masalah
yang tidak ada dalam dunia ini. Kita selalu dapat menentukan sikap menolong diri
sendiri. Manusia yang berpendirian dan berkeyakinan selalu dapat berubah tetapi juga
tergantung pada penafsiran mereka terhadap masalah. Bahkan dalam alam kematian
dan penderitaan, dengan menujukkan keteguhan hati kita dapat memposisikan diri
dalam situasi yang bermakna.
3. Pengalaman Pribadi Frankl (dalam studinya sebagai Psikiater)
“Ini adalah pelajaran, Selama tiga tahun saya menghabiskan waktu untuk
belajar di Auschwitz dan Dachau, hal lain sama keadaanya, untuk melestarikan suasana
belajar yang berorientasi kepada suatu tugas dimasa mendatang, atau menjadi manusia
yang berharga, menanti masa depan, untuk sebuah makna yang harus diwujudkan
dimasa mendatang”. Logoterapi merupakan perolehan ide-ide oleh Frankl dan
improfisasi bahwa tidak semua yang nyata berkaitan dengan pengalamannya dalam
mempelajari atau makna dari kehidupan.
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, penyebab utama gangguan mental yang
diderita seseorang adalah kegagalan manusia modern memperoleh arti kehidupan.
Kehidupan modern telah mengabaikan keinginan manusia untuk mencari arti atau dasar
hidup yang sesungguhnya.
Upaya manusia untuk mencari makna hidup bisa menimbulkan ketegangan
batin, bukan keseimbangan batin. Tetapi ketegangan seperti itu justru merupakan
prasyarat yang sangat dibutuhkan bagi tercapainya kesehatan mental. Frankl percaya
bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa lebih efektif membantu seseorang
untuk bertahan hidup, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun, selain kesadaran
bahwa hidupnya memiliki makna (Tomy, 2014).
Kesehatan mental seseorang didasarkan pada ketegangan dengan tingkatan
tertentu yaitu tingkatan ketegangan yang sudah dicapainya dan tingkatan yang masih
harus dicapainya, atau kesenjangan diantara kondisi seseorang pada saat tertentu
dengan kondisi yang seharusnya dicapai. Salah jika kita beranggapan bahwa yang
dibutuhkan manusia untuk mencapai kesehatan mental adalah keseimbangan atau yang
dalam ilmu biologi disebut dengan istilah homeostatis, yaitu sebuah kondisi tanpa
tekanan. Melainkan upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna,
sebuah tugas yang dipilih dengan bebas. Yang dibutuhkan manusia bukan
menghilangkan tekanan dengan ongkos apapun, melainkan panggilan untuk mencari
makna hidup yang potensial yang harus dia penuhi.
Frankl juga mengakui peran agama dalam kesehatan mental, meskipun
menurutnya hubungan antar agama dan kesehatan mental tidak merupakan hubungan
kausalitas langsung. Tujuan psikoterapi pada umumnya adalah mengembangkan
kehidupan dengan mental yang sehat (mental health), sedangkan tujuan akhir agama
adalah mengembangkan keimanan (faith) dan penyelamatan rohani (spiritual
salvation).
Walaupun keduanya mempunyai tujuan yang berbeda, yang satu berdimensi
psikologis dan yang lain berdimensi spiritual, tetapi keduanya mungkin berkaitan
dalam hal akibat sampingnya. Seorang beriman belum tentu sehat mentalnya, dan orang
yang sehat mentalnya belum tentu beriman (Bastaman, 2007).
Logoterapi memandang manusia sebagai makhluk bebas yang berusaha untuk
merubah kehidupannya berdasarkan keinginan untuk mewujudkan makna yang
dimilikinya menjadi kenyataan. Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat
penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup
terkait dengan alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri. (Lukas, 1998;Bastaman,
2007).
Dalam pelaksanaannya logoterapi memiliki tiga konsep utama, yaitu :
1. Makna ada pada setiap situasi hidup, baik dalam penderitaan atau kebahagiaan.
Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, dan memberikan nilai
khusus bagi seseorang. Bila seseorang berhasil menemukan dan memenuhi
makna hidupnya, maka kehidupan akan menjadi lebih berarti dan berharga. Dan
pada akhirnya akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness) sebagai
akibat sampingnya (Bastaman, 2007).
2. Kebebasan berkehendak, yaitu setiap manusia memiliki kebebasan yang tak
terbatas dalam menemukan makna hidupnya. Makna hidup dapat ditemukan
dalam kehidupan itu sendiri melalui karya-bakti, keyakinan atas harapan dan
kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman dan cinta kasih.
3. Manusia memiliki kemampuan dalam mengambil sikap terhadap penderitaan
dan peristiwa tragis yang terjadi. Apabila keadaan tragis tersebut tidak dapat
diubah, maka sebaiknya manusia mengambil sikap yang tepat agar tidak
terhanyut dalam menghadapi keadaan tersebut (Bastaman, 2007).
Ketiga konsep tersebut berkaitan dengan eksistensi manusia, pada logoterapi
ditandai dengan kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom) dan tanggung jawab
(responsibility).
Logoterapi memiliki tiga pilar yang menjadi landasan filosofisnya, yaitu
kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna dan makna hidup (Sjolie, 2002;
Haditabar dkk., 2013; Tomy, 2014).
Tema khas yang selalu ada dalam literatur eksistensial (termasuk logoterapi)
adalah bahwa orang itu bebas untuk menentukan pilihan di antara alternative-alternatif
yang ada dan oleh karenanya mengambil peranan yang besar dalam menentukan
nasibnya sendiri (Wong, 2011).
Pandangan logoterapi, manusia memiliki kebebasan yang luas, tetapi sifatnya
terbatas, karena manusia adalah makhluk yang serba terbatas. Terdapat dua hal yang
membatasi kebebasan ini.
a. Pertama, kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari kondisi-kondisi
(biologis, psikologis dan sosiologis), melainkan kebebasan untuk menentukan sikap
terhadap kondisi-kondisi tersebut. Frankl sendiri berpendapat bahwa manusia bisa
menentukan sendiri apakah dia akan menyerah atau mengatasi kondisi yang
dihadapinya. Manusia tidak sekedar hidup tetapi dia selalu memutuskan bentuk
hidup yang akan dijalaninya.
Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut “the self determining
being” yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan
apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya.
b. Kedua, kebebasan harus disertai tanggung jawab (responsibility). Tanpa tanggung
jawab, kebebasan mudah sekali berkembang menjadi kesewenang-wenangan.
Logoterapi berusaha membuat pasien menyadari secara penuh tanggung jawab
dirinya dan memberi kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau
kepada siapa harus bertanggung jawab.
Penunjukan kebebasan dalam pandangan Frankl berpuncak pada kebebasan
berkeinginan sehingga ia menggunakannya sebagai landasan pertama logoterapi
(Koswara, 1992).
Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama
hidupnya. Makna hidup ini merupakan sesuatu yang unik dan khusus, artinya ia hanya
bisa dipenuhi oleh yang bersangkutan; hanya dengan cara itulah ia bisa memiliki arti
yang bisa memuaskan keinginan orang tersebut untuk mencari makna hidup (Wong,
2011).
Keinginan untuk mencari makna hidup, sangat berbeda dengan pleasure
principle (prinsip kesenangan atau lazim dikenal dengan keinginan untuk mencari
kesenangan) yang merupakan dasar dari aliran psikoanalisis Freud dan juga berbeda
dengan will to power (keinginan untuk mencari kekuasaan), dasar dari aliran psikologi
Adler yang memusatkan perhatian pada striving for superiority (perjuangan untuk
mencari keunggulan) (Sjolie, 2002).
Terhadap kedua pendapat ini, Frankl dalam Bastaman 2007 memberi tanggapan
bahwa kesenangan sama sekali bukan tujuan, melainkan “akibat samping” (by product)
dari tercapainya suatu tujuan. Kekuasaan adalah sarana atau alat untuk mencapai tujuan
dan bukan tujuan itu sendiri. Frankl sengaja menyebut “the will to meaning” dan bukan
“the drive to meaning”, karena makna dan nilai-nilai hidup tidak mendorong (to push,
to drive), tetapi seakanakan menarik (to pull) dan menawarkan (to offer) kepada
manusia untuk memenuhinya. Karena sifatnya menarik itu maka individu termotivasi
untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang bermakna dengan berbagai kegiatan
yang sarat dengan makna.
Yang dimaksud dengan makna oleh logoterapi adalah makna yang terkandung
dan tersembunyi dalam setiap situasi yang dihadapi seseorang sepanjang hidup mereka.
Sedangkan arti dari makna hidup menurut Frankl dalam Bastaman 2007 adalah makna
tersendiri dari sebuah situasi yang konkrit. Lebih mengartikan makna hidup sebagai
kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh
realitas atau dalam kalimat yang sederhana menyadari apa yang bisa dilakukan di dalam
situasi tertentu. Kepada hidup hanya bisa menjawab dengan bertanggung jawab. Karena
itu, logoterapi menganggap sikap bertanggung jawab sebagai esensi dasar kehidupan
manusia.
Dengan menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab dan harus mewujudkan
berbagai potensi makna hidup, Frankl ingin menekankan bahwa makna hidup yang
sebenarnya harus ditemukan di dalam dunia dan bukan di dalam batin atau jiwa orang
tersebut. Dia membuat istilah khusus untuk menggambarkannya, yaitu ”transendensi
diri” dalam keberadaan manusia” (the self transcendence of human existence) (Tomy,
2014).
Menurut Frankl dalam Marshall (2011), Logoterapi bertujuan agar dalam
masalah yang dihadapi klien dia bisa menemukan makna dari penderitaan dan
kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya
sehingga bebas dari masalah tersebut.
Tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup bermakna dan mampu mengatasi
secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi. Hal ini diperoleh dengan jalan
menyadari dan memahamai serta merealisasikan berbagai potensi dan sumber daya
spiritual yang dimiliki setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat dan terabaikan.
Apabila seseorang tidak mengerti potensi-potensinya, maka tugas utama orang tersebut
adalah menemukannya (Tomy, 2014). Ada pun tujuan dari logoterapi adalah agar setiap
pribadi :
• Memahami adanya potensi dan sumber daya spiritual yang secara universal
ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang
dianutnya;
• Menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat
dan diabaikan bahkan terlupakan;
• Memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan
untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar
mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
Dalam logoterapi, konseli mampu mengalami secara subjektif persepsi tentang
dunianya. Dia harus aktif dalam proses terapeutik, sebab dia harus memutuskan
ketakutan, perasaan berdosa dan kecemasan apa yang akan dieksplorasi. Memutuskan
untuk menjalani terapi saja sering merupakan tindakan yang menakutkan (Guttmann,
1996).
Konseli dalam terapi ini, terlibat dalam pembukaan pintu diri sendiri.
Pengalaman sering menakutkan atau menyenangkan dan gabungan dari semua perasaan
tersebut. Dengan membuka pintu yang tertutup, konseli mampu melonggarkan
belenggu deterministic yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologis.
Lambat laun konseli mulai sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekarang serta klien
lebih mampu menetapkan masa depan macam apa yang diinginkannya. Melalui proses
terapi, konseli bisa mengeksplorasi alternative-alternatif guna membuat pandanganpandangan menjadi nyata (Mcleod, 2003).
Menurut Frankl dalam Bastaman 2007, dalam pandangan para eksistensialis,
tugas utama konselor adalah mengeksplorasi persoalan yang berkaitan dengan
ketidakberdayaan, keputusasaan, ketidakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial.
Tugas proses terapeutik adalah menghadapi masalah ketidakbermaknaan dan
membantu konseli dalam membuat makna dari dunia yang kacau.
Frankl dalam Bastaman 2007, menandaskan bahwa fungsi Konselor bukanlah
menyampaikan kepada Konseli apa makna hidup yang harus diciptakannya, melainkan
mengungkapkan bahwa Konseli bisa menemukan makna, bahkan juga dari penderitaan,
karena penderitaan manusia bisa diubah menjadi prestasi melalui sikap yang
diambilnya menghadapi penderitaan itu.
May (1961) memandang tugas Konselor diantaranya adalah membantu Konseli
agar menyadari keberadaannya dalam dunia : “ini adalah ketika pasien melihat dirinya
sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subjek
yang memiliki dunia”.
Frankl (1959) menjabarkan peran Konselor sebagai “spesialis mata daripada
sebagai pelukis”, yang bertugas “memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien
sehingga spektrum keseluruhan dari makna dan nilai-nilai menjadi disadari dan dapat
diamati oleh pasien”.
Metode penanganan atau teknik-teknik terapi yang dikembangkan oleh
logoterapi, digunakan untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis somatogenik,
neurosis psikogenik, dan neurosis noogenik.
Untuk somatogenik, yakni gangguan perasaan yang berkaitan dengan ragawi,
logoterapi menggunakan medical ministry, sedangkan untuk neurosis psikogenik yang
bersumber dari hambatan-hambatan psikis digunakan teknik paradoxical intention dan
dereflection. Pelaksanaan logoterapi bermanfaat untuk mengatasi fobia, kecemasan,
gangguan obsesi kompulsif dan pelayanan medis lainnya (Crumbaugh, 2008). Morgan,
2012 menyebutkan penggunaan logoterapi pada kasus-kasus geriatri sangat bermanfaat
sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gangguan memori yang telah terjadi.
Teknik logoterapi pada remaja dengan Kanker fase terminal ditemukan sangat
bermanfaat dalam mengurangi penderitaan dan dalam menemukan makna hidup.
Kondisi emosional dan intervensi spiritual dalam perawatan paliatif, logoterapi
menunjukkan potensi secara efektif meningkatkan kualitas hidup dan mencegah
kekosongan eksistensial yang disebabkan oleh penyakit terminal pada pasien remaja
dengan beban tekanan yang serius (Kyung-Ah dkk, 2009).
Proses konseling pada umumnya mencakup tahap-tahap : perkenalan,
pengungkapan dan penjajakan masalah, pembahasan bersama, evaluasi dan
penyimpulan, serta pengubahan sikap dan perilaku. Biasanya setelah masa konseling
berakhir masih dilanjutkan pemantauan atas upaya perubahan perilaku dan klien dapat
melakukan konsultasi lanjutan jika diperlukan (Tomy, 2014).
Konseling logoterapi berorientasi pada masa depan (future oriented) dan
berorientasi pada makna hidup (meaning oriented). Relasi yang dibangun antara
konselor dengan konseli adalah encounter, yaitu hubungan antar pribadi yang ditandai
oleh keakraban dan keterbukaan, serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai,
memahami dan menerima sepenuhnya satu sama lain (Tomy, 2014).
Ada empat tahap utama didalam proses konseling logterapi diantaranya adalah :
1. Tahap perkenalan dan pembinaan rapport. Pada tahap ini diawali dengan
menciptakan suasana nyaman untuk konsultasi dengan pembina rapport yang
makin lama makin membuka peluang untuk sebuah encounter. Inti sebuah
encounter adalah penghargaan kepada sesama manusia, ketulusan hati, dan
pelayanan. Percakapan dalam tahap ini tak jarang memberikan efek terapi bagi
konseli.
2. Tahap pengungkapan dan penjajagan masalah. Pada tahap ini konselor mulai
membuka dialog mengenai masalah yang dihadapi konseli. Berbeda dengan
konseling lain yang cenderung membiarkan konseli “sepuasnya” mengungkapkan
masalahnya, dalam logoterapi konseli sejak awal diarahkan untuk menghadapi
masalah itu sebagai kenyataan.
3. Pada tahap pembahasan bersama, konselor dan konseli bersama-sama membahas
dan menyamakan persepsi atas masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk
menemukan arti hidup sekalipun dalam penderitaan.
4. Tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi
yang diperoleh sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan
perilaku konseli. Pada tahap-tahap ini tercakup modifikasi sikap, orientasi terhadap
makna hidup, penemuan dan pemenuhan makna, dan pengurangan symptom.
Ada empat tahap utama didalam proses logoterapi diantaranya adalah (Tomy, 2014) :
1. Mengambil jarak terhadap gejala (distance from symptom), membantu
menyadarkan penderita bahwa gejala tidak sama (identik) dengan dirinya, tetapi
merupakan suatu kondisi yang dapat dikendalikan oleh penderita.
2. Modifikasi sikap (modification of attitude), membantu penderita mendapatkan
pandangan baru terhadap diri sendiri serta kondisi yang dialaminya, sehingga
penderita dapat menentukan sikap baru dalam menentukan arah dan tujuan
hidupnya.
3. Pengurangan gejala (reducing symptoms), upaya menerapkan teknik-teknik
logoterapi dalam menghilangkan gejala secara keseluruhan atau sekurangkurangnya mengurangi dan mengendalikan gejala yang dirasakan penderita.
Perubahan pada sikap selanjutnya memberikan umpan balik positif yang
membantu seseorang untuk lebih terbuka dan menemukan makna baru pada
situasi.
4. Orientasi terhadap makna (orientation toword meaning), membahas bersama
nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan pasien,
terapis dalam hal ini berperan untuk membantu pasien memperdalam,
memperluas nilai-nilai yang dimiliki pasien dan menjabarkannya menjadi tujuan
yang konkret dalam kehidupan pasien.
Terapis dalam membahas makna hidup ini menggunakan “Socratic dialogue”,
yaitu suatu pembicaraan yang membantu pasien dalam menemukan makna hidupnya
dengan menggunakan kemampuan fantasi, mimpi, pasien sendiri untuk menjadi suatu
tujuan konkret dalam kehidupan pasien.
Logoterapi untuk mengatasi manusia dengan tiga demensi (fisik, psikis dan
spirit) dengan mengembangkan logoterapi. Untuk memudahkan pemahaman terhadap
teknik logoterapi perlu dijelaskan dahulu suatu fenomena psikologi klinis yang disebut
Anticipatory Anxienty, yakni kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas
suatu situasi dan atau gejala yang ditakutinya (Frankl’s dalam Wong 2002; Marshall
2011).
Frankl mencatat bahwa pola reaksi atau respon yang biasa digunakan individu
untuk mengatasi kecemasan antisipatori adalah dengan pola reaksi : fight from fear,
menghindari atau lari dari obyek yang ditakuti dan situasi yang menjadi sumber
kecemasan; fight against obsession, mencurahkan seluruh daya dan upaya untuk
mengendalikan, menahan dan melawan pikiran tentang sesuatu atau keinginan untuk
melakukan sesuatu yang sifatnya memaksa (suatu dorongan yang kuat) dan aneh dalam
dirinya; fight for something, melawan untuk sesuatu hasrat yang berlebihan (misal :
kepuasan) yang dalam kenyataan sering disertai kecenderungan kuat untuk selalu
menanti dengan penuh harapan saat sesuatu (kepuasan) itu terjadi pada dirinya. Dalam
logoterapi fenomena itu disebut hyperreflection (terlalu memperhatikan kesenangan
sendiri) dan hyperintention (selalu menghasrati sesuatu) yang semuanya diluar
kewajaran.
Sebagai contoh hasil penelitian yang dilakukan oleh Erna dan Aris 2010,
didapatkan bahwa logoterapi efektif dalam nenurunkan intensitas nyeri dan skor
depresi, hampir selama 1 bulan penelitian. Hal ini dikarenakan setelah mendapatkan
logoterapi dengan teknik dereflection, medical ministry dan existential analysis, durasi
15-30 menit tiap pertemuan seminggu 2 kali, pasien terbantu untuk menerima
penderitaannya dengan hati lapang, sehingga dia dapat mengambil jarak dengan
penderitaannya serta melihat sisi baik dari penderitaannya, yang dalam hal ini berupa
nyeri kronik. Dengan demikian pasien terbantu untuk menemukan nilai-nilai baru dan
mengembangkan filosofi konstruktif dalam kehidupannya.
Dari pola respon tersebut Frankl menemukan dua fakta, yakni kesenjangan yang
memaksa untuk menghindari sesuatu semakin mendekatkan individu kepada sesuatu
yang ingin dihindarinya, dan kesenjangan yang memaksa untuk mencapai sesuatu
semakin menjauhkan individu dari sesuatu yang ingin dicapainya. Untuk mengatasi
semua ini, Logoterapi mengembangkan teknik-teknik sebagai berikut:
1) Paradoxicial Intention.
Teknik Paradoxicial Intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan
insani dalam mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap
(to take a stand) terhadap keadaan diri sendiri dan lingkungannya. Selain itu, teknik
ini memanfaatkan salah satu kualitas insani lainnya, yaitu rasa humor. Dalam
menerapkan teknik Paradoxicial Intention penderita dibantu untuk menyadari pola
keluhannya, mengambil jarak pada keluhannya itu dan menanggapinya sendiri
secara humoristis (Lukas, 1998).
Teknik Paradoxicial Intention ini berusaha mengubah sikap penderita yang
semula serba takut menjadi ”akrab” dengan obyek yang justru ditakutinya dengan
memandang segi-segi humor dari keluhannya. Menurut Frankl dalam Guttmaun,
1996 mengatakan bahwa kesuksesan dari Paradoxical Intention mencapai
keberhasilan antara 80-90% dari kasus.
Frankl dalam Bastaman 2007, memberikan sebuah contoh. Seorang dokter
muda datang ke tempatnya dengan keluhan takut berkeringat. Setiap kali tubuhnya
takut dia berkeringat. Ketakutan ini cukup memicu keluarnya keringat secara
berlebihan. Untuk mencegah terjadinya hal ini, Frankl menyarankan agar saat
tubuhnya berkeringat secara berlebihan dia menunjukkan dengan sengaja kepada
orang-orang, betapa banyak keringat yang bisa dia keluarkan. Seminggu kemudian
ia kembali melaporkan bahwa setiap kali dia bertemu seseorang yang bisa memicu
munculnya rasa takut yang diantisipasi, dia akan berkata pada dirinya sendiri:
“Biasanya saya hanya akan mengeluarkan seperempat liter keringat, tetapi saya
akan mengeluarkan sedikitnya sepuluh liter keringat!” Hasilnya setelah bertahuntahun menderita fobia, orang tersebut secara permanen terbebas dari fobianya,
hanya dalam waktu satu minggu dan melalui satu kali konsultasi.
Pada kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang biasanya penderita menahan dan
mengendalikan secara ketat dorongan-dorongannya agar tidak muncul, penderita
justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan (bahkan memacu) agar
dorongan-dorongannya itu benar-benar mencetus. Usaha ini benar-benar sulit
dilaksanakan apabila tidak dilakukan secara humoris, dalam arti menimbulkan
perasaan humor pada penderita dan memandang keluhannya sendiri secara jenaka
atau secara ironis.
Pemanfaatan rasa humor dalam terapi berarti membantu penderita untuk
memandang gangguan-gangguannya tidak lagi sebagai sesuatu yang mencemaskan,
tetapi sebagai sesuatu yang lucu (Bastaman, 2007). Paradoxical intention bisa juga
diterapkan kepada penderita insomnia. Rasa takut tidak bisa tidur memicu
keinginan berlebihan untuk tidur, yang malah membuat pasien tidak bisa tidur.
Untuk mengatasi ketakutan ini biasanya Frankl menganjurkan si pasien untuk
mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang sebaliknya, artinya berusaha sedapat
mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata lain, keinginan yang sangat besar untuk
tidur, yang muncul akibat rasa cemas yang diantisipasi bahwa dia tidak bisa tidur,
harus diganti dengan keinginan sebaliknya untuk tidak tidur, akibatnya si pasien
akan segera tertidur.
Teknik paradoksikal intension memiliki keterbatasan yaitu sulit dilakukan
pada pasien yang kurang memiliki rasa humor. Selain itu, teknik ini mempunyai
keterbatasan yang perlu diperhatikan, yakni mempunyai kontra indikasi dengan
skizofrenia, depresi, terutama kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri.
Maksudnya, bila teknik paradoxical intention diterapkan pada kasus depresi dengan
keinginan bunuh diri, maka kemungkinan besar justru akan mendorong penderita
untuk benar-benar melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, paradoxical
intention jangan sekali-kali diterapkan untuk kasus depresi (Guttmaun, 1996).
Menurut Frankl’s dalam Marshall (2011), tindakan logoterapi paradoxical
intention dalam mengatasi kecemasan harus memperhatikan sebagai berikut :
b. Mampu mengetahui penyebab dan mengeksplorasi masalah kecemasan
c. Mampu melawan kecemasan
d. Saat melakukan tindakan harus disertai dengan rasa humor dan kreatif
e. Tidak menegangkan atau harus relaks bisa dengan cara teknik relaksasi
2) Dereflection.
Teknik Dereflection pada dasarnya memanfaatkan kemampuan transendensi
diri (self transcendence) yang ada dalam diri setiap orang dalam transendensi diri
ini seseorang berupaya untuk keluar dan membebaskan diri dari kondisinya
(berusaha untuk tidak lagi terlalu memperhatikan keluhan-keluhannya).
Selanjutnya, ia lebih mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal lain yang
lebih positif, lebih bermanfaat, lebih bermakna dan berguna baginya, lalu
memutuskan untuk merealisasikannya. Dengan teknik Dereflection diharapkan
mampu mengubah sikap yang semula terlalu memperhatikan (kesenangan) diri
sendiri (self concerned), sekarang melakukan komitmen untuk melakukan sesuatu
yang penting baginya (self commited).
Dereflekction tampaknya sangat bermanfaat dalam konseling bagi klien
dengan preokupasi somatic, gangguan tidur dan digunakan secara spesifik pada
gangguan seksual seperti impotensi dan frigiditas (Schulenberg dkk, 2010;
Marshall, 2011).
Misalnya pada penderita insomnia, Frankl menyarankan agar membayangkan
bahwa mereka tergerak meninggalkan tempat tidur guna melakukan sesuatu yang
tidak menyenangkan dan tidak disukai, misalnya membersihkan salju di pagi buta.
Melalui pembayangan seperti itu mereka akan segera menjadi bosan dan akhirnya
tertidur. Akan tetapi saran tersebut harus diberikan kepada pasien melalui cara
positif, jangan melalui cara yang negatif. Karena cara yang negatif justru akan
membuat pasien terpusat pada masalah, sedangkan cara yang positif mengajak pasien untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang positif, pada masalah
lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pasien diarahkan
menuju penemuan makna (Bastaman, 2007).
Seorang wanita datang ke tempat Frankl dengan keluhan frigid. Riwayat masa
lalunya menunjukkan bahwa saat kanak-kanak wanita ini mengalami penganiayaan
seksual oleh ayahnya sendiri, wanita tersebut terus dibayangi ketakutan, bahwa
suatu hari pengalamannya yang traumatis akan membawa akibat. Rasa takut yang
diantisipasi ini memicu tumbuhnya keinginan berlebihan untuk menonjolkan
kewanitaannya dan perhatian yang berlebihan terhadap dirinya, bukan terhadap
pasangannya. Semua alasan ini cukup membuatnya tidak mampu merasakan
puncak kenikmatan seksual, karena orgasme sudah dijadikan objek keinginan dan
perhatian, bukan sebagai dampak samping dari sebuah dedikasi dan penyerahan
spontan kepada pasangannya. Setelah menjalani logoterapi jangka pendek,
perhatian dan keinginan berlebihan si pasien yang terkait dengan kemampuannya
untuk merasakan orgasme berhasil dihilangkan atau diderefleksikan. Ketika
perhatiannya dialihkan terhadap objek yang layak, yaitu pasangannya, wanita itu
berhasil mencapai orgasme secara spontan (Tomy, 2014).
3) Medical Ministry (Bimbingan Rohani)
Frankl, mengungkapkan bahwa dalam Logoterapi terdapat pula kasus-kasus
dimana yang diperlukan sama sekali bukan terapi, melainkan sesuatu yang lain,
bimbingan rohani. Dalam hidup ini sering ditemukan berbagai krisis dan peristiwa
tragis yang tak terhindarkan lagi, sekalipun upaya-upaya mengatasinya secara
maksimal telah dilakukan (baik menggunakan teknik Paradoxicial Intention dan
Dereflection). Penyakit yang tak tersembuhkan, kelainan bawaan, kemandulan,
kematian, dosa dan kesalahan, kecelakaan yang menyebabkan kecacatan,
merupakan contoh peristiwa-peristiwa tragis yang dapat dialami oleh siapa pun
(Guttmaun, 1996).
Mengingat kondisi-kondisi serupa itu tidak dapat dihindari, maka Logoterapi
sebagai ”terapi melalui makna” (sekarang mottonya ”sehat melalui makna”) atau
”terapi berwawasan spiritual” mengarahkan para penderita untuk berusaha
mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif terhadap keadaan yang tidak
terhindarkan itu. Bimbingan rohani menurut Frankl tidak berurusan dengan
penyelamatan jiwa (soul salvation) yang merupakan tugas para rohaniawan, tetapi
berurusan dengan kesehatan rohani. Roh manusia akan tetap sehat selama ia tetap sadar akan tanggungjawabnya dalam merealisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai
bersikap yang ditemui individu. Melalui bimbingan rohani individu didorong ke
arah merealisasi nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap
penderitaannya, sehingga ia bisa menemukan makna dari penderitaannya itu.
Misalnya, upaya para penderita untuk bersedia meninjau masalahnya dari sudut
lain, berolah seni, mendalami agama dan lain sebagainya (Guttmaun, 1996).
4) Modification of Attitudes
Teknik logoterapi ini digunakan untuk noogenic neurosis, depresi dan
kecanduan obat untuk mempromosikan dalam meningkatkan makna hidup.
Modification of attitudes juga bisa digunakan untuk yang mengatasi masalah
koping dan masalah pasien yang berbicara terus menerus (kacau) tanpa tujuan dan
yang mempunyai perilaku yang negatif (Marshall, 2011).
Dalam kehidupan sering ditemukan berbagai pengalaman tragis yang tidak
dapat dihindari lagi, sekalipun upaya-upaya penanggulangan telah dilakukan secara
maksimal, tetapi tak berhasil, untuk itu logoterapi mengarahkan penderita untuk
berusaha mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif terhadap kondisi
tragis tersebut (Marshall, 2011).
5) Appealling Tehnique
Merupakan suatu teknik yang menggunakan gabungan antara paradoksikal
intension dan derefleksi, yang didasarkan pada kekuatan sugesti terapis untuk
menuntun pasien menemukan makna hidupnya. Teknik ini digunakan pada kasuskasus dimana pasien tidak mampu lagi menemukan sendiri makna hidupnya seperti
pada pasien yang terlalu muda usianya atau terlalu tua sehingga mengalami
kesulitan dalam menemukan sendiri makna hidupnya (Bastaman, 2007). Dalam
metode ini terapis membantu penderita neurosis noogenik dimana mereka
mengalami kehampaan hidup untuk menemukan makna hidupnya sendiri dan
mampu menetapkan tujuan hidupnya secara jelas.
Makna hidup ini harus mereka temukan sendiri dan tak dapat ditentukan oleh
siapapun, termasuk oleh logoterapi. Fungsi logoterapi hanya sekedar membantu
membuka cakrawala pandangan penderita terhadap berbagai nilai sebagai sumber
makna hidup, yaitu nilai kreatif, nilai penghayatan dan nilai bersikap. Disamping
itu logoterapi menyadarkan mereka terhadap tanggung jawab pribadi untuk keluar
dari kondisi kehampaan hidup dalam proses penemuan makna hidup ini para konselor/terapis lebih berperan sebagai rekan yang turut berperan serta (Marshall,
2011).
6) Socratic Dialogue
Socratic Dialogue adalah suatu bentuk percakapan antara terapis dan klien
dimana terapis menggunakan pertanyaan ataupun kalimat-kalimat pertanyaan
kepada klien dalam usahanya untuk membantu agar klien dapat menemukan sendiri
jawaban terhadap permasalahn yang dihadapi saat ini. Menurut Wong (2002) dan
Marshall (2011), socratic dialogue terapis harus mampu menjawab dan
menemukan pikiran dari pasiennya walaupun kondisi pasien tidak terarah dalam
pembicaraannya sehingga dapat menemukan arti makna hidupnya.
Dalam Socratic Dialogue, terapis memberikan pertanyaan-pertanyaan dengan
sedemikian rupa sehingga klien menjadi sadar akan impian-impian mereka yang
ter-represi, harapan-harapan bawah sadar dan hasrat yang terpendam (self
discovery). 2 teknik yang paling utama dalam logoterapi, seperti paradoksikal
intension dan derefleksi juga dilaksanakan dengan menggunakan teknik interview
socratic dialogue (Bastaman, 2007).
7) Family Logoterapi
Logoterapi untuk membantu keluarga klien menemukan arti dari peluang di
dalam keluarga melalui Sosial Skills Training (SST), Socratic dialogue dan
Existential reflection. Menurut E. Lukas 1998, Family logoterapi berarti
memusatkan kepada terapi keluarga untuk membantu keluarga memfokuskan pada
makna arti dari rintangan, sebagai akibatnya anggota keluarga yang bermasalah
menyadari tentang makna hidup anggota keluarganya bermasalah.
L. Logoterapi Diantara Aliran Psikologi Lainnya
Pada saat ini terdapat tiga aliran utama dalam psikologi, yaitu aliran
psikoanalisis, behaviour dan humanistic. Logoterapi sesungguhnya bersifat melengkapi
ketiga aliran diatas dengan memperluas konsep psikologi yang telah ada, dimana
logoterapi memasukkan unsur spiritual sebagai dasar psikopatologi maupun sebagai
dasar terapi, dimana logoterapi sendiri pada saat ini merupakan salah satu bagian dari
kelompok aliran psikologi humanistic (Bastaman, 2007).
Psikologi Humanistik menganggap kepribadian manusia merupakan suatu
kesatuan utuh yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu dimensi somatis(ragawi), dimensi psikis
21
(kejiwaan) dan dimensi spiritual (kerohanian). Memusatkan perhatian untuk menelaah
kualitas-kualitas insani (human qualities), yaitu sifat-sifat dan kemampuan khusus
manusia yang terpatri pada kehidupan manusia, khas dan tidak dimiliki oleh makhluk
hidup lainnya. Memandang manusia adalah makhluk yang memiliki otoritas atas
kehidupannya sendiri.
Untuk membedakan dari spiritualitas dalam arti agama, Viktor Frankl
menyebutnya dengan dimensi noetik. Perlu dijelaskan bahwa dimensi spiritual yang
dikemukankan aliran ini sama sekali bukan roh seperti dipahami agama, melainkan
kemampuan transendensi dan penghayatan luhur yang khas manusia. Dimensi spiritual
dianggap sebagai inti dari dimensi yang lainnya, ragawi (organo-biologi), kejiwaan
(psiko-edukatif) dan sosial-budaya (sosio-kultural), yang digambarkan sebagai skema
segi empat sama sisi konsentrik.
Persamaan dan perbedaan yang terdapat pada logoterapi dengan aliran
psikoanalisis dan aliran behavior adalah (Bastaman, 2007) :
1. Pada psikoanalisis temuan yang monumental mengenai ragam kesadaran
manusia (alam sadar, prasadar, tak sadar) yang digambarkan dengan skema
berlapis. Perhatian ditekankan pada dorongan alam bawah sadar yang menjadi
motif tindakan dari manusia, hal ini juga menjadi suatu dasar dari logoterapi
dimana penekanannya pada alam bawah sadar tetapi pada komponen yang
disebut oleh Frankl sebagai “spirit”. Psikoanalisis menganggap manusia sejak
awal kehidupannya ditetapkan pola dan corak kehidupan, pada logoterapi
memandang manusia mampu menentukan dan bertanggung jawab atas
kehidupannya sendiri. Psikoanalisis menggunakan introspeksi dan retrospeksi
atas pengalaman masa lalu (past oriented), logoterapi memusatkan perhatian
pada masa mendatang dan makna hidup (future oriented).
2. Pada aliran behavior, memberikan kontribusi penting dengan ditemukannya
asas-asas perubahan perilaku yang melibatkan unsur-unsur kognisi (pemikiran),
afeksi (perasaan), konasi (kehendak) dan aksi (tindakan) dengan bobotnya yang
setara satu dengan yang lainnya. Bersumber pada interaksi antara individu dan
lingkungan. Perilaku maladaptif timbul akibat adanya proses pembelajaran dan
pembiasaan dalam menghadapi situasi yang ada, pada logoterapi juga menjadi
konsep dasar, dimana logoterapi menekankan pada kebebasan memilih perilaku
dalam menghadapi situasi yang ada, dengan mengutamakan pada peningkatan
spiritual manusia. Psikologi humanistik pada umumnya menolak pandangan
bahwa unsur lingkungan merupakan satu-satunya determinan perilaku manusia,
mengakui sepenuhnya adanya daya eksternal yang memotivasi perilaku, hanya
saja pengaruh lingkungan itu diintegrasikan ke dalam wawasan yang lebih luas
mengenai manusia. Teknik perilaku melatih aspek perilaku secara langsung,
sedangkan logoterapi untuk mengatasi fobia menerapkan teknik paradoxical
intention, yaitu mengupayakan agar penderita fobia misalkan mengubah sikap
dari takut menjadi lebih akrab dengan objek fobianya.
Logoterapi berperan sebagai teknik psikoterapi yang memandang manusia
sebagai suatu kesatuan utuh, yaitu raga, jiwa dan rohani. Berdasarkan hal tersebut,
maka pemilihan terapi dapat dilakukan secara rasional, dimana pemberian terapi CBT
dilakukan pada individu yang memiliki kemampuan intelektual yang baik waktu yang
terbatas ataupun pemilihan terapi psikoanalisis yang dilakukan pada individu dengan
permasalahan perkembangan ego statenya dimasa lalu, memiliki waktu yang cukup
untuk menjalani terapinya, serta kemampuan ekonomi yang cukup. Pemilihan
logoterapi sebagai terapi pilihan yang diberikan pada penderita yang memiliki tingkat
spiritual yang baik, serta memiliki nilai-nilai sebagai pedoman hidupnya (Bastaman,
2007).
M. Kelebihan dan Kekurangan Logoterapi
Logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud,
tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak
lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan
eksistensi kita (Tomy, 2014).
Ada beberapa klien yang tidak dapat menunjukan makna hidupnya sehingga
timbul suatu kebosanan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan
minat apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup,
meragukan kehidupan. Sehingga menyulitkan konselor untuk melakukan terapi kepada
klien tersebut. Untuk logoterapi, dapat menyulitkan untuk menguji reliabilitas dan
validitasnya dengan riset empiris. Hal ini karena fakta bahwa adalah nyaris tidak
mungkin untuk mengukur sejumlah persepsi abstrak misalnya isolasi eksistensial,
kehendak tentang eksistensi, dan ketakutan atas kematian. Pasien yang tidak terbiasa
untuk menggunakan pemikiran abstrak dapat mengalami lebih banyak kesulitan untuk
mengapresiasi dan mengasimilasi ideal filosofis yang dibutuhkan untuk progresi ke
arah kesejahteraan (Tomy, 2014).
N. Instrumen Penilaian dalam Logoterapi
Dalam menerapkan teknik logoterapi, perlu dilakukan pada awalnya
pemahaman pasien mengenai makna hidup dan mengukur derajat kesadaran pasien
dalam memaknai hidupnya. Instrumen ini juga dapat digunakan untuk mengukur
kemajuan terapi, untuk itu dalam logoterapi terdapat beberapa instrumen yang dapat
digunakan antara lain: Living Life With Purpose – Self Evaluation And Questionnaire,
The Meaning In Life Questionnaire (MLQ), dan Purpose In Life Test (PIL) (Guttmaun,
1996; Bronk, 2014; Steger, 2006).
KESIMPULAN
Logoterapi adalah suatu corak psikologi yang mengakui adanya kekuatan spiritual pada
manusia, serta beranggapan bahwa makna hidup merupakan motivasi utama manusia untuk
meraih taraf kehidupan bermakna. Spiritual yang dimaksud bukanlah masalah kerohanian
melainkan tentang pandangan hidup, keyakinan dan kecenderungan seseorang untuk hidup
lebih baik dan lebih positif lagi kedepannya.
Logoterapi memandang setiap masalah secara optimis dan aktif, bukan secara pesimis.
Optimis bahwa setiap masalah dapat diselesikan dengan baik, setiap tekanan dapat dihadapi
dengan tenang. Aktif untuk mengambil sikap yang positif ketika menghadapi suatu masalah
dan ketika berada dalam keadaan tertekan. Setiap aspek negative dapat dirubah menjadi positif
selagi manusia mau berusaha untuk merubahnya. Setiap penderitaan manusia dapat dirubah
menjadi prestasi, tergantung sikap yang diambil dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Tujuan utama dari logoterapi adalah untuk meraih hidup penuh makna dan mampu
mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi dengan cara menyadari dan
memahami serta merealisasikan berbagai potensi dan sumber daya spiritual yang dimiliki
setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat atau terabaikan.
Berbeda dengan psikoanalisis yang berpedoman pada masa lalu (post oriented),
logoterapi berorientasi pada masa depan dan makna hidup (future oriented).
Tugas dari konselor atau terapis bukan untuk merubah seseorang tetapi mereka hanya
membantu konseli untuk mengadapi masalah secara positif, menganggap masalah adalah suatu
kenyataan yang dapat dirubah, kemudian konseli atau pasien menemukan makna hidupnya
dengan menggunakan kemampuan fantasi, mimpi, pasien itu sendiri untuk menjadi suatu
tujuan dalam hidup pasien tersebut. Konselor hanya sebagai perantara untuk mengarahkan
konseli untuk dapat menemukan kembali makna hidup yang sesungguhnya, agar konseli dapat
menjalani hidup lebih baik dan lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi “Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih
Hidup Bermakna”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Koeswara. E., 1992. Logoterapi Psikoterapi Victor E. Frankl. Yogyakarta;Kanasius.
Diniari,Ni Ketut Sri, SpKJ.2017. LOGOTERAPI Sebuah Pendekatan untuk Hidup
Bermakna.Denpasar: Program Pendidikan Dokter Spesialis I Bagian/SMF Ilmu Kedokteran
Jiwa FK UNUD
skizofrenia, depresi, terutama kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri.
Maksudnya, bila teknik paradoxical intention diterapkan pada kasus depresi dengan
keinginan bunuh diri, maka kemungkinan besar justru akan mendorong penderita
untuk benar-benar melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, paradoxical
intention jangan sekali-kali diterapkan untuk kasus depresi (Guttmaun, 1996).
Menurut Frankl’s dalam Marshall (2011), tindakan logoterapi paradoxical
intention dalam mengatasi kecemasan harus memperhatikan sebagai berikut :
b. Mampu mengetahui penyebab dan mengeksplorasi masalah kecemasan
c. Mampu melawan kecemasan
d. Saat melakukan tindakan harus disertai dengan rasa humor dan kreatif
e. Tidak menegangkan atau harus relaks bisa dengan cara teknik relaksasi
2) Dereflection.
Teknik Dereflection pada dasarnya memanfaatkan kemampuan transendensi
diri (self transcendence) yang ada dalam diri setiap orang dalam transendensi diri
ini seseorang berupaya untuk keluar dan membebaskan diri dari kondisinya
(berusaha untuk tidak lagi terlalu memperhatikan keluhan-keluhannya).
Selanjutnya, ia lebih mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal lain yang
lebih positif, lebih bermanfaat, lebih bermakna dan berguna baginya, lalu
memutuskan untuk merealisasikannya. Dengan teknik Dereflection diharapkan
mampu mengubah sikap yang semula terlalu memperhatikan (kesenangan) diri
sendiri (self concerned), sekarang melakukan komitmen untuk melakukan sesuatu
yang penting baginya (self commited).
Dereflekction tampaknya sangat bermanfaat dalam konseling bagi klien
dengan preokupasi somatic, gangguan tidur dan digunakan secara spesifik pada
gangguan seksual seperti impotensi dan frigiditas (Schulenberg dkk, 2010;
Marshall, 2011).
Misalnya pada penderita insomnia, Frankl menyarankan agar membayangkan
bahwa mereka tergerak meninggalkan tempat tidur guna melakukan sesuatu yang
tidak menyenangkan dan tidak disukai, misalnya membersihkan salju di pagi buta.
Melalui pembayangan seperti itu mereka akan segera menjadi bosan dan akhirnya
tertidur. Akan tetapi saran tersebut harus diberikan kepada pasien melalui cara
positif, jangan melalui cara yang negatif. Karena cara yang negatif justru akan
membuat pasien terpusat pada masalah, sedangkan cara yang positif mengajak pasien untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang positif, pada masalah
lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pasien diarahkan
menuju penemuan makna (Bastaman, 2007).
Seorang wanita datang ke tempat Frankl dengan keluhan frigid. Riwayat masa
lalunya menunjukkan bahwa saat kanak-kanak wanita ini mengalami penganiayaan
seksual oleh ayahnya sendiri, wanita tersebut terus dibayangi ketakutan, bahwa
suatu hari pengalamannya yang traumatis akan membawa akibat. Rasa takut yang
diantisipasi ini memicu tumbuhnya keinginan berlebihan untuk menonjolkan
kewanitaannya dan perhatian yang berlebihan terhadap dirinya, bukan terhadap
pasangannya. Semua alasan ini cukup membuatnya tidak mampu merasakan
puncak kenikmatan seksual, karena orgasme sudah dijadikan objek keinginan dan
perhatian, bukan sebagai dampak samping dari sebuah dedikasi dan penyerahan
spontan kepada pasangannya. Setelah menjalani logoterapi jangka pendek,
perhatian dan keinginan berlebihan si pasien yang terkait dengan kemampuannya
untuk merasakan orgasme berhasil dihilangkan atau diderefleksikan. Ketika
perhatiannya dialihkan terhadap objek yang layak, yaitu pasangannya, wanita itu
berhasil mencapai orgasme secara spontan (Tomy, 2014).
3) Medical Ministry (Bimbingan Rohani)
Frankl, mengungkapkan bahwa dalam Logoterapi terdapat pula kasus-kasus
dimana yang diperlukan sama sekali bukan terapi, melainkan sesuatu yang lain,
bimbingan rohani. Dalam hidup ini sering ditemukan berbagai krisis dan peristiwa
tragis yang tak terhindarkan lagi, sekalipun upaya-upaya mengatasinya secara
maksimal telah dilakukan (baik menggunakan teknik Paradoxicial Intention dan
Dereflection). Penyakit yang tak tersembuhkan, kelainan bawaan, kemandulan,
kematian, dosa dan kesalahan, kecelakaan yang menyebabkan kecacatan,
merupakan contoh peristiwa-peristiwa tragis yang dapat dialami oleh siapa pun
(Guttmaun, 1996).
Mengingat kondisi-kondisi serupa itu tidak dapat dihindari, maka Logoterapi
sebagai ”terapi melalui makna” (sekarang mottonya ”sehat melalui makna”) atau
”terapi berwawasan spiritual” mengarahkan para penderita untuk berusaha
mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif terhadap keadaan yang tidak
terhindarkan itu. Bimbingan rohani menurut Frankl tidak berurusan dengan
penyelamatan jiwa (soul salvation) yang merupakan tugas para rohaniawan, tetapi
berurusan dengan kesehatan rohani. Roh manusia akan tetap sehat selama ia tetap sadar akan tanggungjawabnya dalam merealisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai
bersikap yang ditemui individu. Melalui bimbingan rohani individu didorong ke
arah merealisasi nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap
penderitaannya, sehingga ia bisa menemukan makna dari penderitaannya itu.
Misalnya, upaya para penderita untuk bersedia meninjau masalahnya dari sudut
lain, berolah seni, mendalami agama dan lain sebagainya (Guttmaun, 1996).
4) Modification of Attitudes
Teknik logoterapi ini digunakan untuk noogenic neurosis, depresi dan
kecanduan obat untuk mempromosikan dalam meningkatkan makna hidup.
Modification of attitudes juga bisa digunakan untuk yang mengatasi masalah
koping dan masalah pasien yang berbicara terus menerus (kacau) tanpa tujuan dan
yang mempunyai perilaku yang negatif (Marshall, 2011).
Dalam kehidupan sering ditemukan berbagai pengalaman tragis yang tidak
dapat dihindari lagi, sekalipun upaya-upaya penanggulangan telah dilakukan secara
maksimal, tetapi tak berhasil, untuk itu logoterapi mengarahkan penderita untuk
berusaha mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif terhadap kondisi
tragis tersebut (Marshall, 2011).
5) Appealling Tehnique
Merupakan suatu teknik yang menggunakan gabungan antara paradoksikal
intension dan derefleksi, yang didasarkan pada kekuatan sugesti terapis untuk
menuntun pasien menemukan makna hidupnya. Teknik ini digunakan pada kasuskasus dimana pasien tidak mampu lagi menemukan sendiri makna hidupnya seperti
pada pasien yang terlalu muda usianya atau terlalu tua sehingga mengalami
kesulitan dalam menemukan sendiri makna hidupnya (Bastaman, 2007). Dalam
metode ini terapis membantu penderita neurosis noogenik dimana mereka
mengalami kehampaan hidup untuk menemukan makna hidupnya sendiri dan
mampu menetapkan tujuan hidupnya secara jelas.
Makna hidup ini harus mereka temukan sendiri dan tak dapat ditentukan oleh
siapapun, termasuk oleh logoterapi. Fungsi logoterapi hanya sekedar membantu
membuka cakrawala pandangan penderita terhadap berbagai nilai sebagai sumber
makna hidup, yaitu nilai kreatif, nilai penghayatan dan nilai bersikap. Disamping
itu logoterapi menyadarkan mereka terhadap tanggung jawab pribadi untuk keluar
dari kondisi kehampaan hidup dalam proses penemuan makna hidup ini para konselor/terapis lebih berperan sebagai rekan yang turut berperan serta (Marshall,
2011).
6) Socratic Dialogue
Socratic Dialogue adalah suatu bentuk percakapan antara terapis dan klien
dimana terapis menggunakan pertanyaan ataupun kalimat-kalimat pertanyaan
kepada klien dalam usahanya untuk membantu agar klien dapat menemukan sendiri
jawaban terhadap permasalahn yang dihadapi saat ini. Menurut Wong (2002) dan
Marshall (2011), socratic dialogue terapis harus mampu menjawab dan
menemukan pikiran dari pasiennya walaupun kondisi pasien tidak terarah dalam
pembicaraannya sehingga dapat menemukan arti makna hidupnya.
Dalam Socratic Dialogue, terapis memberikan pertanyaan-pertanyaan dengan
sedemikian rupa sehingga klien menjadi sadar akan impian-impian mereka yang
ter-represi, harapan-harapan bawah sadar dan hasrat yang terpendam (self
discovery). 2 teknik yang paling utama dalam logoterapi, seperti paradoksikal
intension dan derefleksi juga dilaksanakan dengan menggunakan teknik interview
socratic dialogue (Bastaman, 2007).
7) Family Logoterapi
Logoterapi untuk membantu keluarga klien menemukan arti dari peluang di
dalam keluarga melalui Sosial Skills Training (SST), Socratic dialogue dan
Existential reflection. Menurut E. Lukas 1998, Family logoterapi berarti
memusatkan kepada terapi keluarga untuk membantu keluarga memfokuskan pada
makna arti dari rintangan, sebagai akibatnya anggota keluarga yang bermasalah
menyadari tentang makna hidup anggota keluarganya bermasalah.
L. Logoterapi Diantara Aliran Psikologi Lainnya
Pada saat ini terdapat tiga aliran utama dalam psikologi, yaitu aliran
psikoanalisis, behaviour dan humanistic. Logoterapi sesungguhnya bersifat melengkapi
ketiga aliran diatas dengan memperluas konsep psikologi yang telah ada, dimana
logoterapi memasukkan unsur spiritual sebagai dasar psikopatologi maupun sebagai
dasar terapi, dimana logoterapi sendiri pada saat ini merupakan salah satu bagian dari
kelompok aliran psikologi humanistic (Bastaman, 2007).
Psikologi Humanistik menganggap kepribadian manusia merupakan suatu
kesatuan utuh yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu dimensi somatis(ragawi), dimensi psikis
21
(kejiwaan) dan dimensi spiritual (kerohanian). Memusatkan perhatian untuk menelaah
kualitas-kualitas insani (human qualities), yaitu sifat-sifat dan kemampuan khusus
manusia yang terpatri pada kehidupan manusia, khas dan tidak dimiliki oleh makhluk
hidup lainnya. Memandang manusia adalah makhluk yang memiliki otoritas atas
kehidupannya sendiri.
Untuk membedakan dari spiritualitas dalam arti agama, Viktor Frankl
menyebutnya dengan dimensi noetik. Perlu dijelaskan bahwa dimensi spiritual yang
dikemukankan aliran ini sama sekali bukan roh seperti dipahami agama, melainkan
kemampuan transendensi dan penghayatan luhur yang khas manusia. Dimensi spiritual
dianggap sebagai inti dari dimensi yang lainnya, ragawi (organo-biologi), kejiwaan
(psiko-edukatif) dan sosial-budaya (sosio-kultural), yang digambarkan sebagai skema
segi empat sama sisi konsentrik.
Persamaan dan perbedaan yang terdapat pada logoterapi dengan aliran
psikoanalisis dan aliran behavior adalah (Bastaman, 2007) :
1. Pada psikoanalisis temuan yang monumental mengenai ragam kesadaran
manusia (alam sadar, prasadar, tak sadar) yang digambarkan dengan skema
berlapis. Perhatian ditekankan pada dorongan alam bawah sadar yang menjadi
motif tindakan dari manusia, hal ini juga menjadi suatu dasar dari logoterapi
dimana penekanannya pada alam bawah sadar tetapi pada komponen yang
disebut oleh Frankl sebagai “spirit”. Psikoanalisis menganggap manusia sejak
awal kehidupannya ditetapkan pola dan corak kehidupan, pada logoterapi
memandang manusia mampu menentukan dan bertanggung jawab atas
kehidupannya sendiri. Psikoanalisis menggunakan introspeksi dan retrospeksi
atas pengalaman masa lalu (past oriented), logoterapi memusatkan perhatian
pada masa mendatang dan makna hidup (future oriented).
2. Pada aliran behavior, memberikan kontribusi penting dengan ditemukannya
asas-asas perubahan perilaku yang melibatkan unsur-unsur kognisi (pemikiran),
afeksi (perasaan), konasi (kehendak) dan aksi (tindakan) dengan bobotnya yang
setara satu dengan yang lainnya. Bersumber pada interaksi antara individu dan
lingkungan. Perilaku maladaptif timbul akibat adanya proses pembelajaran dan
pembiasaan dalam menghadapi situasi yang ada, pada logoterapi juga menjadi
konsep dasar, dimana logoterapi menekankan pada kebebasan memilih perilaku
dalam menghadapi situasi yang ada, dengan mengutamakan pada peningkatan
spiritual manusia. Psikologi humanistik pada umumnya menolak pandangan
bahwa unsur lingkungan merupakan satu-satunya determinan perilaku manusia,
mengakui sepenuhnya adanya daya eksternal yang memotivasi perilaku, hanya
saja pengaruh lingkungan itu diintegrasikan ke dalam wawasan yang lebih luas
mengenai manusia. Teknik perilaku melatih aspek perilaku secara langsung,
sedangkan logoterapi untuk mengatasi fobia menerapkan teknik paradoxical
intention, yaitu mengupayakan agar penderita fobia misalkan mengubah sikap
dari takut menjadi lebih akrab dengan objek fobianya.
Logoterapi berperan sebagai teknik psikoterapi yang memandang manusia
sebagai suatu kesatuan utuh, yaitu raga, jiwa dan rohani. Berdasarkan hal tersebut,
maka pemilihan terapi dapat dilakukan secara rasional, dimana pemberian terapi CBT
dilakukan pada individu yang memiliki kemampuan intelektual yang baik waktu yang
terbatas ataupun pemilihan terapi psikoanalisis yang dilakukan pada individu dengan
permasalahan perkembangan ego statenya dimasa lalu, memiliki waktu yang cukup
untuk menjalani terapinya, serta kemampuan ekonomi yang cukup. Pemilihan
logoterapi sebagai terapi pilihan yang diberikan pada penderita yang memiliki tingkat
spiritual yang baik, serta memiliki nilai-nilai sebagai pedoman hidupnya (Bastaman,
2007).
M. Kelebihan dan Kekurangan Logoterapi
Logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud,
tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak
lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan
eksistensi kita (Tomy, 2014).
Ada beberapa klien yang tidak dapat menunjukan makna hidupnya sehingga
timbul suatu kebosanan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan
minat apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup,
meragukan kehidupan. Sehingga menyulitkan konselor untuk melakukan terapi kepada
klien tersebut. Untuk logoterapi, dapat menyulitkan untuk menguji reliabilitas dan
validitasnya dengan riset empiris. Hal ini karena fakta bahwa adalah nyaris tidak
mungkin untuk mengukur sejumlah persepsi abstrak misalnya isolasi eksistensial,
kehendak tentang eksistensi, dan ketakutan atas kematian. Pasien yang tidak terbiasa
untuk menggunakan pemikiran abstrak dapat mengalami lebih banyak kesulitan untuk
mengapresiasi dan mengasimilasi ideal filosofis yang dibutuhkan untuk progresi ke
arah kesejahteraan (Tomy, 2014).
N. Instrumen Penilaian dalam Logoterapi
Dalam menerapkan teknik logoterapi, perlu dilakukan pada awalnya
pemahaman pasien mengenai makna hidup dan mengukur derajat kesadaran pasien
dalam memaknai hidupnya. Instrumen ini juga dapat digunakan untuk mengukur
kemajuan terapi, untuk itu dalam logoterapi terdapat beberapa instrumen yang dapat
digunakan antara lain: Living Life With Purpose – Self Evaluation And Questionnaire,
The Meaning In Life Questionnaire (MLQ), dan Purpose In Life Test (PIL) (Guttmaun,
1996; Bronk, 2014; Steger, 2006).
KESIMPULAN
manusia, serta beranggapan bahwa makna hidup merupakan motivasi utama manusia untuk
meraih taraf kehidupan bermakna. Spiritual yang dimaksud bukanlah masalah kerohanian
melainkan tentang pandangan hidup, keyakinan dan kecenderungan seseorang untuk hidup
lebih baik dan lebih positif lagi kedepannya.
Logoterapi memandang setiap masalah secara optimis dan aktif, bukan secara pesimis.
Optimis bahwa setiap masalah dapat diselesikan dengan baik, setiap tekanan dapat dihadapi
dengan tenang. Aktif untuk mengambil sikap yang positif ketika menghadapi suatu masalah
dan ketika berada dalam keadaan tertekan. Setiap aspek negative dapat dirubah menjadi positif
selagi manusia mau berusaha untuk merubahnya. Setiap penderitaan manusia dapat dirubah
menjadi prestasi, tergantung sikap yang diambil dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Tujuan utama dari logoterapi adalah untuk meraih hidup penuh makna dan mampu
mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi dengan cara menyadari dan
memahami serta merealisasikan berbagai potensi dan sumber daya spiritual yang dimiliki
setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat atau terabaikan.
Berbeda dengan psikoanalisis yang berpedoman pada masa lalu (post oriented),
logoterapi berorientasi pada masa depan dan makna hidup (future oriented).
Tugas dari konselor atau terapis bukan untuk merubah seseorang tetapi mereka hanya
membantu konseli untuk mengadapi masalah secara positif, menganggap masalah adalah suatu
kenyataan yang dapat dirubah, kemudian konseli atau pasien menemukan makna hidupnya
dengan menggunakan kemampuan fantasi, mimpi, pasien itu sendiri untuk menjadi suatu
tujuan dalam hidup pasien tersebut. Konselor hanya sebagai perantara untuk mengarahkan
konseli untuk dapat menemukan kembali makna hidup yang sesungguhnya, agar konseli dapat
menjalani hidup lebih baik dan lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Hidup Bermakna”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Koeswara. E., 1992. Logoterapi Psikoterapi Victor E. Frankl. Yogyakarta;Kanasius.
Diniari,Ni Ketut Sri, SpKJ.2017. LOGOTERAPI Sebuah Pendekatan untuk Hidup
Bermakna.Denpasar: Program Pendidikan Dokter Spesialis I Bagian/SMF Ilmu Kedokteran
Jiwa FK UNUD
"Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms — to choose one’s attitude in any given set of circumstances, to choose one’s own way."
Viktor E. Frankl
Comments
Post a Comment