Manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk budaya dalam kajian Antropologi
Manusia sebagai makhluk individu.
Manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin),
yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah
konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus)
atau seorang individu.
Manusia juga dapat diartikan berbeda-beda baik menurut sudut
pandang biologis, rohani dan istilah kebudayaan atau secara
campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo
sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah
spesies primata dari golongan mamalia yang
dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka
dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana,
dalam agama, di mengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan
atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan
dengan ras lain.
Individu berasal dari kata in-dividere atau individu yang
berarti tidak dapat dibagi-bagi atau dengan kata lain bagi manusia yang berdiri sendiri atau manusia perorangan. Kiergaard (Abidin, 2000)
berpendapat bahwa manusia pada prinsipnya adalah individu, dan individu adalah
identik dengan kebebasan. Setiap individu menciptakan diri dan dunianya melalui
suatu pilihan bebas, yang dipilih dan diputuskan sendiri oleh individu itu
sendiri.
Gerungan
(1980) berpendapat bahwa manusia merupakan makluk individual, tidak hanya dalam
arti makluk keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap
orang merupakan individu yang unik menurut corak kepribadiannya, termasuk
keahlian-keahliannya dan juga kelemahan-kelemahan yang melekat pada individu.
Adler (Hall
dan Lidzey, 1993) berpendapat bahwa setiap individu merupakan konfigurasi unik
dari motif-motif, sifat-sifat, minat-minatdan nilai-nilai. Setiap perbuatan
yang dilakukan individu membawa corak khas gaya hidupnya sendiri. Adler
memandang bahwa kesadaran individu sebagai pusat kepribadian yang menyebabkan
individu menjadi perintis perkembangan psikologi yang berprinsip pada ego.
Manusia adalah makluk sadar, mereka biasanya sadar akan alasan-alasan tingkah
laku mereka. Mereka sadar akan inferioritas-inferioritas mereka, dan
sadar akan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan.
Lebih dari
itu, Adler memandang manusia sebagai individu yang sadar akan dirinya sendiri
dan mampu merencanakan serta membimbing perbuatan-perbuatannya dan menyadari
sepenuhnya arti dari perbuatan-perbuatan itu bagi aktualisasi dirinya.
Manusia sebagai makhluk sosial
Sebagai makhluk
individu manusia juga tidak mampu hidup sendiri. Individu juga harus
hidup bermasyarakat. Salah satu bentuk manifestasi dari kecenderungan naluriah
manusia sebagai makhluk sosial dengan adanya yang biasa disebut faktor-faktor
psikologiis dengan nama interaksi sosial, Manusia sebagai makhluk sosial,
artinya manusia hanya akan menjadi apa dan siapa bergantung ia bergaul dengan
siapa. Manusia tidak bisa hidup sendirian, sebab jika hanya sendirian ia tidak
“menjadi” manusia.
Dalam pergaulan hidup, manusia
menduduki fungsi yang bermacam-macam. Di satu sisi ia menjadi anak buah, tetapi
di sisi lain ia adalah pemimpin. Di satu sisi ia adalah ayah atau ibu, tetapi
di sisi lain ia adalah anak. Di satu sisi ia adalah kakak, tetapi di sisi lain
ia adalah adik. Demikian juga dalam posisi guru dan murid, kawan dan lawan,
buruh dan majikan, besar dan kecil, mantu dan mertua dan seterusnya. Dalam
hubungan antar manusia (interpersonal), ada pemimpin yang sangat dipatuhi dan
dihormati
rakyatnya, ada juga yang hanya
ditakuti bukan dihormati, begitupun guru atau orang tua, ada yang dipatuhi dan
dihormati, ada juga orang tua dan guru yang tidak dipatuhi dan tidak pula dihormati.
Mengapa terjadi demikian?
Ada tiga teori yang
dapat membantu menerangkan model dan kualitas hubungan antar manusia itu.
1. Teori Transaksional (model
Pertukaran Sosial)
Menurut teori ini, hubungan antar manusia (interpersonal) itu
berlangsung mengikuti kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa
memperoleh keuntungan dalam transaksinya atau malah merugi. Jika merasa
memperoleh keuntungan maka hubungan itu pasti mulus, tetapi jika merasa rugi maka
hubungan itu akan terganggu, putus atau bahkan berubah menjadi permusuhan.
Demikian juga rakyat dan pemimpin, suami-isteri, mantu–mertua,
direktur-anak buah, guru-murid, mereka berfikir; kontribusi mereka sebanding
dengan keuntungan yang diperoleh atau malah rugi. Demikian juga hubungan antara
daerah dengan pusat, antara satu entitas dengan entitas lain.
2. Teori Peran
Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada
skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran
setiap orang dalam pergaulannya. Dalam skenario itu sudah `tertulis” seorang
Presiden harus bagaimana, seorang Gubernur harus bagaimana, seorang guru harus
bagaimana, murid harus bagaimana. Demikian juga sudah tertulis peran apa yang
harus dilakukan oleh suami, isteri, ayah, ibu, anak, mantu, mertua dan
seterusnya. Menurut teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya
akan harmonis tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh
penonton dan ditegur sutradara. Dalam era reformasi sekarang ini nampak sekali
pemimpin yang menyalahi skenario sehingga sering didemo publik
3. Teori Permainan
Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga,
yaitu anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Anak-anak itu manja, tidak mengerti
tanggung jawab dan jika permintaanya tidak segera dipenuhi ia akan menangis terguling-guling
atau ngambek. Sedangkan orang dewasa, ia lugas dan sadar akan tanggung jawab,
sadar akibat dan sadar resiko. Adapun orang tua, ia selalu memaklumi kesalahan
orang lain dan menyayangi mereka. Tidak ada orang yang merasa aneh melihat anak
kecil menangis terguling-guling ketika minta eskrim tidak dipenuhi, tetapi
orang akan heran jika ada orang tua yang masih kekanak-kanakan. Suasana rumah
tangga juga ditentukan oleh bagaimana kesesuaian orang dewasa dan orang tua
dengan sikap dan perilaku yang semestinya ditunjukkan. Jika tidak maka suasana
pasti runyam. Demikian juga hubungan antara pusat dan daerah, antara atasan dan
bawahan. Aparat Pemerintah mestilah bersikap dewasa, Presiden dan Ketua MPR
mestilah jadi orang tua.
Meskipun banyak spesies berprinsip sosial,
membentuk kelompok berdasarkan ikatan / pertalian genetik, perlindungan diri,
atau membagi koleksi makanan dan distribusi, manusia dibedakan dengan segala
macam, dan pluralitas adat istiadat yang mereka membentuk baik untuk
kelangsungan hidup individu atau kelompok dan untuk pelestarian dan
pengembangan teknologi, pengetahuan dan keyakinan.
Identitas kelompok, penerimaan dan dukungan
mungkin mendesak pengaruh yang kuat pada perilaku individu, tetapi manusia juga
unik dalam kemampuannya untuk membentuk dan beradaptasi dengan kelompok baru.
Bahasa
Keterampilan berbicara merupakan elemen
mendefinisikan umat manusia, mungkin mendahului pemisahan filogenetik dari
populasi modern. Bahasa adalah pusat dari komunikasi antar manusia. Kata Ibrani
untuk “binatang” (behemah) berarti “bodoh”, menggambarkan manusia sebagai
“binatang berbicara” (kepandaian berbicara hewan). Bahasa adalah pusat
identitas sentuhan ‘khas’ berbagai budaya atau suku dan sering mengatakan
memiliki status atau kekuatan gaib.
Penemuan sistem menulis sekitar 5000 tahun
yang lalu, yang memungkinkan pengabadian ucapan, merupakan langkah besar dalam
evolusi budaya. Ilmu Linguistik (linguistik) menjelaskan struktur bahasa dan
keterkaitan antara bahasa yang berbeda. Ada sekitar 6.000 bahasa yang
dituturkan oleh manusia saat ini. Manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi melalui pidato, umumnya Converse menggunakan bahasa isyarat.
Agama
Dalam setiap kebudayaan manusia,
spiritualitas dan ritual mendapat ekspresi dalam beberapa bentuk. Unsur-unsur
ini dapat menggabungkan pengalaman pribadi yang penting dengan pengalaman
unifikasi dan komunal, sering membangkitkan emosi yang kuat dan bahkan
kegembiraan. Kekuatan mengikat kuat dari pengalaman tertentu kadang-kadang
dapat menyebabkan kefanatikan atau agresi manusia yang tidak termasuk dalam
kelompok agamanya, sehingga split atau bahkan perang.
Teokrasi adalah masyarakat yang didominasi
dibentuk oleh agama, diperintah oleh pemimpin suci atau oleh seorang pemimpin
agama. Agama juga dapat bertindak sebagai sarana distribusi dan pengaruh
norma-norma budaya dunia serta perilaku yang wajar oleh manusia.
Keluarga dan Teman-teman Sepergaulan
Individu manusia terbiasa untuk tumbuh
menjadi pelengkap yang kuat-berpikiran untuk kelompok kecil, umumnya termasuk
segera biologis keluarga, ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebagai pelengkap semangat yang kuat serupa
dapat bingung dengan sekelompok kecil yang sama, bahwa seorang teman yang sama
usia sepergaulan individu, umumnya berukuran antara sepuluh sampai dua puluh
orang, mungkin berkaitan dengan ukuran optimal untuk gerombolan pemburu.
Dinamika kelompok dan tekanan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku
anggotanya.
Seorang individu akan mengembangkan rasa yang
kuat kesetiaan kepada kelompok tertentu. Perilaku manusia yang wajar, termasuk
frekuensi hubungan sosial, yang dinyatakan dalam obrolan / percakapan, menari,
menyanyi atau cerita (dikenal sebagai ventilasi).
Suku, Bangsa dan Negara
Kelompok yang lebih besar dari orang dapat
disatukan dengan gagasan kesamaan nenek moyang (ras, etnis) atau dalam fokus
umum atau budaya material (bangsa atau negara), sering dibagi lagi sesuai
dengan struktur kelas sosial dan hirarki. Suku dapat terdiri dari beberapa
ratus individu, sementara negara modern terbesar berisi lebih dari satu miliar.
Konflik kekerasan antara kelompok-kelompok
besar yang disebut perang. Loyalitas / pengabdian kepada sebuah kelompok besar
disebut nasionalisme atau patriotisme. Dalam ekstrim, perasaan pengabdian
kepada lembaga atau otoritas untuk mencapai ekstrem patologi, yang
mengakibatkan histeria massa (gangguan saraf) atau fasisme.
Antropologi budaya menjelaskan masyarakat
manusia yang berbeda dan sejarah mencatat interaksi mereka berikut kesuksesan
yang dialami. Organisasi dan pemerintah dijelaskan oleh bentuk modern Ilmu
Politik dan Ekonomi.
Budaya dan Peradaban
Peradaban adalah sebuah masyarakat yang telah
mencapai tingkat kerumitan tertentu, umumnya termasuk pemerintah kota dan
berlembaga, agama, ilmu pengetahuan, sastra dan filsafat. Perkotaan awal dunia
ditemukan di dekat rute perdagangan penting sekitar 10.000 tahun yang lalu
(Jericho, Çatalhöyük).
Budaya manusia dan ekspresi seni mendahului
peradaban dan dapat ditelusuri ke palaeolithik (lukisan gua, patung Venus,
tembikar / gerabah). Kemajuan pertanian memungkinkan transisi dari pemburu dan
pengumpul publik atau nomaden menjadi pemukiman menetap sejak 9 milenium SM.
Hewan domestikasi menjadi bagian penting dari kebudayaan manusia (anjing,
domba, kambing, sapi). Dalam sejarah masa lalu dari ilmu pengetahuan dan
teknologi telah berkembang bahkan lebih cepat.
George Herbert Mead menyebut ada serangkaian proses sosial dalam
perkembangan sosial manusia,
1. Pada tahap
pertama, play stage, seorang anak kecil mulai belajar peran (roleplay) mengambil peranan orang-orang yang berada di
sekitarnya. Peranan orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi.
2. Pada tahap kedua,
Game stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus
dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh
orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Contohnya adalah pada situasi seperti
sebuah pertandingan: seseorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak
hanya mengetahui apa yang diharapakan orang lain darinya, tetapi juga apa yang
diharapkan dari orang lain yang ikut bermain
3. Pada
tahap ketiga Sosialisasi, seseorang dianggap telah mampu mengambil
peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat mampu mengambil
peranan generalized others.
Manusia
Sebagai Makhluk Budaya
E.B Taylor
mendefinisikan budaya sebagai suatu keselurahn kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadatdan
kemampuan lain serta kebiasaan yang dipunyai manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Ralph Linton
mendefinisikan budaya sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dimana unsur pembentukannya didukung dan
diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.Goodenough (dalamKalangie, 1994)
mengemukakan, bahwa kebudayaan adalah suatu
sistem kognitif, yang terdiri dari pengetahuan,
kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran
anggota-anggota individual masyarakat. Dapat
diartikan bahwa, kebudayaan berada dalam
tatanan kenyataan yang ideasional. Kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan,
penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata
dalam masyarakat mereka.
Kata kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta Buddhayah yaitu bentuk jamak dari budhhi yang
berarti budi dan akal. Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan
akal. Koentjoroningrat memandang kebudayaan dalam tiga wujud nyata:
- Kebudayaan sebagai satu
kompleks dari ide-ide. Gagagasan-gagasan, norma-norma, dan peraturan
- Suatu kompleks aktivitas
serta tindakan yang terpola
- Kebudayaan merupakan
benda-benda hasil karya cipta manusia
“Sesungguhnya kami Telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Dalam surat
Attin: 4 ini Allah menegaskan bahwa Dia telah menjadikan manusia
makhluk ciptaan-Nya yang paling baik; badannya lurus ke atas, cantik parasnya,
mengambil dengan tangan apa yang dikehendakinya; bukan seperti kebanyakan
binatang yang mengambil benda yang dikehendakinya dengan perantaraan mulut.
Kepada manusia diberikan-Nya akal dan dipersiapkan untuk menerima
bermacam-macam ilmu pengetahuan dan kepandaian; sehingga dapat berkreasi
(berdaya cipta) dan sanggup menguasai alam dan binatang.
Manusia juga harus bersosialisasi dengan
lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal
ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan
ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga
norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar
norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia dididik dengan berkesinambungan
dari “dalam ayunan hingga ia wafat”, agar hasil dari pendidikan–yakni
kebudayaan–dapat diimplementasikan dimasyarakat.
Pendidikan sebagai hasil kebudayaan
haruslah dipandang sebagai “motivator” terwujudnya kebudayaan yang tinggi.
Selain itu pendidikan haruslah memberikan kontribusi terhadap kebudayaan, agar
kebudayaan yang dihasilkan memberi nilai manfaat bagi manusia itu sendiri
khususnya maupun bagi bangsa pada umumnya.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa
kualitas manusia pada suatu negara akan menentukan kualitas kebudayaan dari
suatu negara tersebut, begitu pula pendidikan yang tinggi akan menghasilkan
kebudayaan yang tinggi. Karena kebudayaan adalah hasil dari pendidikan suatu
bangsa.
Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari
kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin),
yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang
berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat
diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah
kelompok (genus) atau seorang individu.
Dalam hubungannya dengan lingkungan,
manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya
pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat
dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal
(genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan.
Tatkala seorang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi
dan oleh karena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan
kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia
dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of
discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia
membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari
lingkungan.
Pengertian Budaya
Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata
budi-daya yang berarti cipta, karsa dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya
dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari Bahasa
Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang
berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda diistilahkan
dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture.
Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian
ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas
manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Definisi budaya dalam pandangan ahli
antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli berbagai ilmu sosial lain.
Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya sebagai berikut:
E.B. Taylor: 1871 berpendapat bahwa budaya
adalah: Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan
kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Linton: 1940, mengartikan budaya
dengan: Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang
merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat
tertentu.
Adapun Kluckhohn dan Kelly: 1945 berpendapat
bahwa budaya adalah: Semua rancangan hidup yang tercipta secara
historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada
pada suatu waktu, sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia. Lain
halnya dengan Koentjaraningrat: 1979 yang mengartikan
budaya dengan: Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.
Berdasarkan definisi para ahli tersebut
dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam tindakan
manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka
kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar.
Dari kerangka tersebut diatas tampak jelas
benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan. Dimana budaya
lahir melalui proses belajar yang merupakan kegiatan inti dalam dunia
pendidikan.
Manusia sebagai makhluk budaya
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna bila dibanding dengan makhluk
lainnya, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengelola bumi. Karena
manusia diciptakan untuk menjadi khalifah, sebagaimana dijelaskan pada surat
Al-Baqarah: 30
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.”
Oleh karena itu manusia harus menguasai
segala sesuatu yang berhubungan dengan kekhalifahannya disamping tanggung jawab
dan etika moral harus dimiliki. Masalah moral adalah yang terpenting, karena
sebagaimana Syauqi Bey katakan:
إنّما الأمم الأخلاق مابقيت فإنهمو ذهبت أخلاقهم ذهبوا
Artinya: “Kekalnya suatu bangsa
ialah selama akhlaknya kekal, jika akhlaknya sudah lenyap, musnah pulalah
bangsa itu”.
Akhlak dalam syair di atas menjadi penyebab
punahnya suatu bangsa, dikarenakan jika akhlak suatu bangsa sudah terabaikan,
maka peradaban dan budaya bangsa tersebut akan hancur dengan sendirinya. Oleh
karena itu untuk menjadi manusia yang berbudaya, harus memiliki ilmu
pengetahuan, tekhnologi, budaya dan industrialisasi serta akhlak yang tinggi
(tata nilai budaya) sebagai suatu kesinambungan yang saling bersinergi,
sebagaimana dilukiskan dalam bagan berikut:
Hommes mengemukakan bahwa, informasi IPTEK
yang bersumber dari sesuatu masyarakat lain tak dapat lepas dari landasan
budaya masyarakat yang membentuk informasi tersebut. Karenanya ditiap informasi
IPTEK selalu terkandung isyarat-isyarat budaya masyarakat asalnya. Selanjutnya
dikemukakan juga bahwa, karena perbedaan-perbedaan tata nilai budaya dari
masyarakat pengguna dan masyarakat asal teknologinya, isyarat-isyarat tersebut
dapat diartikan lain oleh masyarakat penerimanya.
Disinilah peran manusia sebagai makhluk
yang diberi kelebihan dalam segala hal, untuk dapat memanfaatkan segala
fasilitas yang disediakan oleh Allah SWT melalui alam ini. Sehingga dengan alam
tersebut manusia dapat membentuk suatu kebudayaan yang bermartabat dan bernilai
tinggi. Namun perlu digarisbawahi bahwa setiap kebudayaan akan bernilai tatkala
manusia sebagai masyarakat mampu melaksanakan norma-norma yang ada sesuai
dengan tata aturan agama.
Sekian dan terima kasih.
Comments
Post a Comment