MAKALAH PERKEMBANGAN MASA REMAJA ( PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT) PSIKOLOGI

MAKALAH

PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT

Perkembangan Masa Remaja

FAKULTAS PSIKOLOGI

 

 



PERKEMBANGAN FISIK REMAJA

 

Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentan kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Visi yang lebih akutar mengenai masa remaja adalah saat untuk mengevaluasi, mengambil keputusan, berkomitmen, dan mengukir tempat di dunia. Sebagian besar masalah remaja saat ini bukanlah pada remaja itu sendiri. Yang dibutuhkan oleh remaja adalah akses terhadap berbagai kesempatan serta dukungan jangka panjang dari orang dewasa yang sangat memperhatikan mereka (Balsano, Theokas, & Bobek, 2009; Lerner dkk., 2009; Swanson, Edwards, & Spencer, 2010).

 

1.      Sifat-Sifat Remaja

Seperti pada perkembangan masa kanak-kanak, faktor genetik / biologis dan lingkungan / sosial mempengaruhi perkembangan remaja. Selama tahun-tahun perkembangan masa kecil mereka, remaja mengalami ribuan jam interaksi dengan orang tua, teman sebaya, dan guru, tapi sekarang mereka menghadapi perubahan biologis yang dramatis, pengalaman baru, dan tugas perkembangan baru. Relasi dengan orang tua dapat terwujud di dalam suatu bentuk yang berbeda dari sebelumnya, interaksi dengan kawan-kawan menjadi lebih akrab; pada masa ini mereka juga mengalami pacaran maupun eksplorasi seksual dan kemungkinan melakukan hubungan seksual. Cara berfikir remaja menjadi lebih abstrak dan idealistic. Perubahan tubuh yang terjadi memicu minat terhadap citra tubuh. Masa remaja dapat mengalami kesinambungan maupun ketidaksinambungan dengan masa kanak-kanak.Ada sejarah panjang yang mengkhawatirkan tentang bagaimana remaja akan “berubah”. Pada tahun 1904, G. Stanley Hall mengajukan teori “badai dan stres” bahwa masa remaja adalah masa penuh gejolak yang diisi dengan konflik dan perubahan suasana hati. Namun, ketika Daniel Offer dan rekan-rekannya (1988) mempelajari citra diri remaja di Amerika Serikat, Australia, Bangladesh, Hongaria, Israel, Italia, Jepang, Taiwan, Turki, dan Jerman Barat, ditemukan setidaknya 73 persen remaja menampilkan citra diri yang sehat. Meskipun ada perbedaan di antara mereka, remaja di negara-negara tersebut merasa senang sepanjang waktu, mereka menikmati hidup, mereka menganggap diri mereka mampu melakukan pengendalian diri, mereka menghargai pekerjaan dan sekolah, mereka merasa percaya diri tentang preferensi seksual mereka, mereka mengungkapkan perasaan positif terhadap keluarga mereka, dan mereka merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup: bukan gambaran masa remaja yang penuh badai dan stres. Sikap publik tentang masa remaja muncul dari kombinasi pengalaman pribadi dan penggambaran media, yang tidak menghasilkan gambaran objektif tentang bagaimana remaja normal berkembang (Feldman & Elliott, 1990). Beberapa kesiapan untuk berasumsi yang terburuk tentang remaja kemungkinan besar melibatkan ingatan jangka pendek orang dewasa. Banyak orang dewasa mengukur persepsi remaja mereka saat ini dengan ingatan mereka tentang masa remaja mereka sendiri. Orang dewasa mungkin menggambarkan remaja saat ini seperti bergolaknya mereka di masa lalu. Namun, dalam masalah selera dan tata krama, kaum muda dari setiap generasi tampak sangat radikal dan berbeda dari orang dewasa — berbeda dalam penampilan, perilaku, musik yang mereka nikmati, gaya rambut, dan gaya rambut mereka serta pakaian yang mereka pilih. Namun, adalah kesalahan besar untuk mengacaukan antusiasme remaja untuk mencoba identitas baru dan menikmati perilaku yang agak berlebihan yang berhubungan dengan kebencian terhadap standar orang tua dan masyarakat. Sebagian besar remaja berhasil menegosiasikan jalan panjang menuju kedewasaan, tetapi sebagian besar lainnya tidak berhasil (Lerner, Roeser, & Phelps, 2009). Perbedaan etnis, budaya, jenis kelamin, sosial ekonomi, usia, dan gaya hidup mempengaruhi lintasan kehidupan aktual setiap remaja (Schlegel, 2009; Swanson, Edwards, & Spencer, 2010). Penggambaran yang berbeda tentang masa remaja muncul, tergantung pada kelompok remaja tertentu yang dijelaskan (Fuligni, Hughes, & Way, 2009). Remaja saat ini terpapar dengan banyak pilihan gaya hidup yang kompleks melalui media, dan banyak dari mereka yang menghadapi godaan penggunaan narkoba dan aktivitas seksual di usia yang semakin muda. Banyak remaja yang tidak diberi kesempatan dan dukungan yang memadai untuk menjadi orang dewasa yang kompeten (McLoyd & others, 2009).

 

2.      Pubertas

Pubertas tidak sama dengan masa remaja. Bagi sebagian besar dari kita, pubertas berakhir jauh sebelum masa remaja, meskipun pubertas adalah penanda terpenting dimulainya masa remaja. Pubertas adalah periode pematangan fisik yang cepat yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh yang terjadi terutama selama masa remaja awal. Pubertas bukanlah peristiwa tunggal yang tiba-tiba. Kami tahu apakah seorang anak laki-laki atau perempuan akan melewati masa pubertas, tetapi menentukan awal dan akhir pubertas itu sulit. Di antara perubahan yang paling mencolok adalah tanda-tanda kematangan seksual dan peningkatan tinggi dan berat badan.

a.       Kematangan Seksual, Tinggi, dan Berat

Para peneliti telah menemukan bahwa ciri-ciri pubertas pria biasanya berkembang dalam urutan ini: peningkatan ukuran penis dan testis, munculnya rambut kemaluan lurus, perubahan suara kecil, ejakulasi pertama (yang biasanya terjadi melalui masturbasi atau mimpi basah), munculnya keriting, rambut kemaluan, permulaan pertumbuhan tinggi dan berat maksimum, pertumbuhan rambut di ketiak, perubahan suara yang lebih menarik, dan, terakhir, pertumbuhan rambut wajah. Urutan perubahan pada perempuan yaitu,  payudara membesar atau rambut kemaluan muncul. Belakangan, rambut muncul di ketiak. Saat perubahan ini terjadi, tinggi remaja perempuan bertambah dan pinggulnya menjadi lebih lebar dari bahunya. Menarche menstruasi pertama seorang gadis — datang agak terlambat dalam siklus pubertas. Awalnya, siklus menstruasinya mungkin sangat tidak teratur. Untuk beberapa tahun pertama, dia mungkin tidak berovulasi setiap siklus menstruasi; beberapa gadis tidak berovulasi sama sekali sampai satu atau dua tahun setelah menstruasi dimulai. Tidak ada perubahan suara seperti pada pria pubertas yang terjadi pada wanita. Pada akhir masa pubertas, payudara wanita menjadi lebih bulat. Peningkatan berat badan yang ditandai bertepatan dengan permulaan pubertas. Selama masa remaja awal, anak perempuan cenderung melebihi anak laki-laki, tetapi pada usia 14 tahun anak laki-laki mulai melampaui anak perempuan. Demikian pula, pada awal masa remaja, anak perempuan cenderung setinggi atau lebih tinggi daripada anak laki-laki seusia mereka, tetapi pada akhir tahun sekolah menengah sebagian besar anak laki-laki telah mengejar atau, dalam banyak kasus, melampaui tinggi perempuan. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.1, lonjakan pertumbuhan terjadi kira-kira dua tahun lebih awal untuk anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Usia rata-rata pada awal percepatan pertumbuhan pada anak perempuan adalah 9 tahun; untuk anak laki-laki adalah 11. Tingkat puncak perubahan pubertas terjadi pada 11½ tahun untuk anak perempuan dan 13½ tahun untuk anak laki-laki. Selama percepatan pertumbuhan mereka, tinggi badan perempuan bertambah sekitar 3½ inci per tahun, anak laki-laki sekitar 4 inci. Anak laki-laki dan perempuan yang lebih pendek atau lebih tinggi dari teman sebayanya sebelum masa remaja cenderung tetap seperti itu selama masa remaja; namun, sebanyak 30 persen tinggi badan seseorang pada masa remaja akhir tidak dapat dijelaskan oleh tinggi badannya di tahun-tahun sekolah dasar.

b.      Perubahan Hormon

Di balik tumbuhnya kumis pertama pada anak laki-laki dan pelebaran pinggul pada anak perempuan terdapat aliran hormon, zat kimia kuat yang disekresikan oleh kelenjar endokrin dan dibawa ke seluruh tubuh oleh aliran darah (Susman & Dorn, 2009; Wankowska & Polkowska, 2010).Konsentrasi hormon tertentu meningkat secara dramatis selama masa remaja (Roa & others, 2010). Testosteron adalah hormon yang terkait pada anak laki-laki dengan perkembangan alat kelamin, peningkatan tinggi badan, dan perubahan suara. Estradiol adalah sejenis estrogen; pada anak perempuan dikaitkan dengan perkembangan payudara, uterus, dan tulang. Dalam sebuah penelitian, kadar testosteron meningkat delapan belas kali lipat pada anak laki-laki tetapi hanya dua kali lipat pada anak perempuan selama masa pubertas; estradiol meningkat delapan kali lipat pada anak perempuan tetapi hanya dua kali lipat pada anak laki-laki (Nottelmann & lainnya, 1987). Jadi, baik testosteron dan estradiol hadir dalam susunan hormonal anak laki-laki dan perempuan, tetapi testosteron mendominasi perkembangan pubertas pria, estradiol dalam perkembangan pubertas wanita. Masuknya hormon yang sama yang menumbuhkan rambut di dada pria dan meningkatkan jaringan lemak di payudara wanita juga dapat berkontribusi pada perkembangan psikologis di masa remaja (Susman & Dorn, 2009). Dalam sebuah penelitian terhadap anak laki-laki dan perempuan yang berusia antara 9 hingga 14 tahun, konsentrasi testosteron yang lebih tinggi ditemukan pada anak laki-laki yang menilai diri mereka lebih kompeten secara sosial (Nottelmann & lainnya, 1987). Namun, efek hormonal dengan sendirinya tidak memperhitungkan perkembangan remaja (Susman & Dorn, 2009). Misalnya, dalam satu penelitian, faktor sosial adalah prediktor yang jauh lebih baik untuk depresi dan kemarahan gadis remaja muda daripada faktor hormonal (Brooks-Gunn & Warren, 1989). Perilaku dan suasana hati juga dapat mempengaruhi hormon (DeRose & Brooks-Gunn, 2008). Stres, pola makan, olahraga, aktivitas seksual, ketegangan, dan depresi dapat mengaktifkan atau menekan berbagai aspek sistem hormonal (Sontag & others, 2008). Singkatnya, kaitan antara hormone dan tingkah laku bersifat kompleks.

c.       Waktu dan variasi dalam pubertas

Program genetic yang mendasari pubertas terkait dengan spesies (Gajdos, Hirschhorn, & Palmert, 2009); meskupun demikian nutrisi, kesehatan, dan lingkungan lainnya juga mempengaruhi waktu berkembangnya pubertas (Ji & Chen, 2008). Faktor sosial adalah prediktor yang jauh lebih baik untuk depresi dan kemarahan gadis remaja muda daripada faktor hormonal (Brooks-Gunn & Warren, 1989). Perilaku dan suasana hati juga dapat mempengaruhi hormon (DeRose & Brooks-Gunn, 2008). Stres, pola makan, olahraga, aktivitas seksual, ketegangan, dan depresi dapat mengaktifkan atau menekan berbagai aspek sistem hormonal (Sontag & others, 2008). Singkatnya, hubungan hormon-perilaku itu rumit. Pubertas sebelum waktunya adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan onset yang sangat awal dan perkembangan yang cepat dari pubertas. Pubertas sebelum waktunya terjadi sekitar 10 kali lebih sering pada anak perempuan dibandingkan pada anak laki-laki. Pubertas sebelum waktunya biasanya diobati dengan menekan sekresi gonadotropik, yang untuk sementara menghentikan perubahan pubertas.

d.      Citra tubuh

Sebuah aspek psikologis pasti terjadi dan berkaitan dengan perubahan fisik: remaja sangat memperhatikan tubuhnya dan mengembangkan citra mengenai tubuhnya itu (Mueller, 2009). Terdapat perbedaan gender sehubungan dengan persepsi remaja mengenai tubuhnya. Secara umum, jika dibandingkan dengan lai-laki, anak oerempuan kurang puas dengan tubuhnyadan memiliki citra tubuh yang lebih negative selama pubertas (Bearman dkk., 2006). Anak perempuan sering merasa tidak puas dengan tubuhnya sehubungan dengan meningkatnya jumlah lemak; sementara itu anak laki-laki menjadi lebih puas ketika melewati masa pubertas sehubungan dengan meningkatnya massa otot.

e.       Kematangan awal dan akhir

Remaja yang matang lebih awal  dini atau yang terlambat dibandingkan kawan-kawan sebaya memandang dirinya secara berbeda. Berdasarkan Barkeley Longitudinal Study beberapa tahun yang lalu, snak laki-laki yang lebih cepat matang memandang dirinya lebih positif dan lebih berhasildalam relasi dengan kawan-kawan dibandingkan dengan anak laki-laki yang matang lebih lambat (Jones, 1965). Meskipun demikian, diusia tiga pukuhan, anak laki-laki yang matang lebih lambat ini mengembangkan rasa identitas yang lebih kuat dibandingjan anak laki-laki yang matang lebih awal (Peskin, 1967). Hal ini mungkin disebabkan anak laki-laki yang matang lebih lambat lebih memiliki waktu untuk mengeksplorasi pilihan-pilihanhidup atau anak laki-laki yang matang lebih awal terus memfokuskan pada keuntungan yang diperoleh dari status fisiknya, bukan pada perkembangan karier dan prestasi. Bagi perempuan kematangan yang lebih dini dan lebih lambat terkait dengan citra tubuh. Pada siswa kelas enam, anak perempuan yang matan lebih dini tampak ; lebih puas dengan sosoknya, dibandingkan dengan yang matang lebih lambat meskipun demikian di kelas sepuluh, anak yang matang lebih lambat tampak lebih puas (Simmons & Blyth,1987). Salah satu penyebabnya adalah bahwa di akhir masa remaja, anak perempuan yang matang lebih dini biasanya lebih pendek dan gemuk. Dengan demikian, di masa remaja akhir, anak perempuan yang matang lebih lambat ini memiliki tubuh yang lebih sesuai dengan tipe kecantikan feminine yang ideal untuk orang Amerika- tinggi dan kurus.

 

3.      Otak

Dengan menggunakan pemindaian otak fMRI, para ilmuwan baru-baru ini menemukan bahwa otak remaja mengalami perubahan struktural yang signifikan (Bava & others, 2010; Lenroot & others, 2009). Korpus kalosum, tempat serat menghubungkan belahan otak kiri dan kanan, menebal pada masa remaja, dan ini meningkatkan kemampuan remaja untuk memproses informasi (Giedd, 2008). Kemajuan dalam perkembangan korteks prefrontal — level tertinggi dari lobus frontal yang terlibat dalam penalaran, pengambilan keputusan, dan pengendalian diri. Namun, korteks prefrontal belum selesai sampai usia dewasa muncul, sekitar 18 sampai 25 tahun usia, atau nanti, sedangkan amigdala — pusat emosi seperti kemarahan — matang lebih awal daripada korteks prefrontal. Banyak perubahan dalam otak remaja yang telah dijelaskan melibatkan bidang ilmu saraf perkembangan sosial yang berkembang pesat, yang melibatkan hubungan antara perkembangan, otak, dan proses sosioemosional (de Haan & Gunnar, 2009). Sebagai contoh, pertimbangkan pandangan peneliti terkemuka Charles Nelson (2003) bahwa, meskipun remaja mampu memiliki emosi yang sangat kuat, korteks  prefrontal mereka belum berkembang secara memadai ke titik di mana mereka dapat mengendalikan dorongan ini. Seolah-olah otak mereka tidak memiliki rem untuk memperlambat emosi mereka.

 

4.      Seksualitas remaja

Sebuah penelitian terbaru menyimpulkan bahwa remaja yang sering menonton tayangan seksual di televise cenderung untuk memulai hubungan seksualnya lebih awaldibandingkan dengan remaja yang sedikit menonton tayangan seksual di televise (Brown & Strasburger, 2007). Identitas seksual remaja mencakup aktivitas, minat, gaya perilaku dan indikasi yang mengaragh pada orientasi pada seksual (entah idividu itu memiliki ketertarikan pada jenis kelamin yang sama atau berbeda) (Buzwell & Rosenthal, 1996).

 

5.      Faktor Risiko dalam Perilaku Seksual Remaja

Banyak remaja yang tidak siap secara emosional untuk menangani pengalaman seksual, terutama pada masa remaja awal. Aktivitas seksual dini dikaitkan dengan perilaku berisiko seperti penggunaan narkoba, kenakalan, dan masalah terkait sekolah (Dryfoos & Barkin, 2006). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa penggunaan alkohol, menarche dini, dan komunikasi orang tua-anak yang buruk terkait dengan perilaku intim seksual dini pada anak perempuan (Hipwell & others, 2010). Selain berhubungan seks pada masa remaja awal, faktor risiko lain masalah seksual pada masa remaja antara lain faktor kontekstual seperti status sosial ekonomi (SES), serta faktor keluarga / parenting, teman sebaya, dan prestasi akademik (Dupere & others, 2008; House & lainnya, 2010). Persentase remaja muda yang aktif secara seksual lebih tinggi di daerah berpenghasilan rendah di dalam kota (Silver & Bauman, 2006). Lebih lanjut, memiliki saudara lebih tua yang aktif secara seksual atau saudara perempuan remaja yang sedang hamil / mengasuh menempatkan remaja pada risiko yang lebih tinggi untuk kehamilan remaja (Miller, Benson, & Galbraith, 2001). Sebuah tinjauan penelitian baru-baru ini menemukan bahwa permulaan hubungan seksual yang lebih awal dikaitkan dengan tingkat pemantauan orang tua yang lebih rendah (Zimmer-Gembeck & Helfand, 2008). Dalam studi lain, komunikasi ibu tentang seks (sejauh mana ibu berbicara dengan remaja mereka tentang hubungan seksual dan hal-hal negatif yang dapat terjadi jika seseorang hamil / dia hamil, misalnya) dikaitkan dengan perilaku seksual yang kurang berisiko oleh remaja Latin. (Trejos-Castillo & Vazonyi, 2009). Juga, sebuah penelitian baru-baru ini terhadap siswa sekolah menengah mengungkapkan bahwa prestasi akademis yang lebih baik merupakan faktor pelindung dalam mencegah anak laki-laki dan perempuan melakukan hubungan seksual dini (Lafl in, Wang, & Barry, 2008).

 

6.      Kesehatan remaja

Masa remaja merupakan titik kritis dalam adopsi perilaku yang relevan dengan kesehatan (Nyaronga & Wickrama, 2009; Ozer & Irwin, 2009). Banyak perilaku yang terkait dengan kebiasaan kesehatan yang buruk dan kematian dini pada orang dewasa dimulai pada masa remaja. Sebaliknya, pembentukan pola perilaku sehat secara dini, seperti olahraga teratur dan preferensi makanan rendah lemak dan kolesterol, tidak hanya memiliki manfaat kesehatan yang langsung tetapi membantu di masa dewasa untuk menunda atau mencegah kecacatan dan moralitas akibat penyakit jantung, stroke, diabetes, dan kanker (Schiff, 2009). Nutrisi dan Latihan Kekhawatiran berkembang tentang nutrisi dan olahraga remaja (Biro & lain-lain, 2010; Frisco, 2009; Seo & Sa, 2010). Persentase kelebihan berat badan Anak usia 12 hingga 19 tahun di AS meningkat dari 11 menjadi 17 persen dari awal 1990-an hingga 2004 (Eaton & lainnya, 2006). Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa 80 persen pria dan 92 persen remaja wanita dalam persentil ke-95 dan lebih tinggi untuk indeks massa tubuh (BMI) menjadi orang dewasa yang mengalami obesitas (Wang & others, 2008). Perbandingan remaja di 28 negara ditemukan remaja AS dan Inggris lebih cenderung makan makanan yang digoreng dan cenderung tidak makan buah-buahan dan sayuran dibandingkan remaja di sebagian besar negara lain yang diteliti (Organisasi Kesehatan Dunia, 2000). Remaja A.S. sedang mengurangi asupan buah dan sayuran. Survei Risiko Pemuda Nasional menemukan bahwa siswa sekolah menengah A.S. menurunkan asupan buah dan sayuran dari 1999 hingga 2007 (Eaton & lainnya, 2008). Para peneliti telah menemukan bahwa individu menjadi kurang aktif saat mereka mencapai dan berkembang melalui masa remaja (Butcher & others, 2008). Sebuah studi nasional baru-baru ini mengungkapkan bahwa hanya 31 persen dari 15 tahun AS memenuhi rekomendasi pemerintah federal olahraga sedang sampai berat per hari (minimal 60 menit sehari) dan hanya 17 persen memenuhi rekomendasi pada akhir pekan ( Nader & lainnya, 2008). Studi nasional baru-baru ini juga menemukan bahwa remaja laki-laki lebih cenderung melakukan olahraga sedang hingga berat daripada perempuan. Studi nasional lain terhadap remaja A.S. mengungkapkan bahwa aktivitas fisik meningkat hingga usia 13 tahun pada anak laki-laki dan perempuan tetapi kemudian menurun hingga usia 18 tahun (Kahn & lain-lain, 2008). Perbedaan etnis dalam tingkat partisipasi latihan remaja A.S. juga terjadi dan tingkat ini bervariasi menurut jenis kelamin. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.9, dalam Survei Risiko Pemuda Nasional, anak laki-laki kulit putih non-Latin paling banyak berolahraga, perempuan Afrika-Amerika paling sedikit (Eaton & lainnya, 2008). Olahraga dikaitkan dengan sejumlah hasil fisik yang positif pada masa remaja. Salah satu hasilnya adalah bahwa olahraga teratur memiliki efek positif pada status berat badan remaja (van der Heijden & others, 2010). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa olahraga teratur dari usia 9 hingga 16 tahun dikaitkan dengan berat badan reguler pada anak perempuan (McMurray & lainnya, 2008). Hasil positif lainnya dari olahraga pada masa remaja adalah penurunan kadar trigliserida, tekanan darah rendah, dan insiden diabetes tipe II yang lebih rendah (Butcher & lain-lain, 2008). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat olahraga terkait dengan gejala depresi pada remaja muda (Sund, Larsson, & Wichstrom, 2010). Dan studi terbaru lainnya menemukan bahwa aktivitas fisik yang kuat dikaitkan dengan penggunaan narkoba yang lebih rendah pada remaja (Delisle & others, 2010). Menonton televisi dan menggunakan komputer selama berjam-jam mungkin terlibat dalam tingkat kebugaran fisik yang lebih rendah pada masa remaja (Rey-Lopez & lain-lain, 2008). Sebagai contoh, sebuah penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa semakin sering remaja menonton televisi dan menggunakan komputer, semakin kecil kemungkinan mereka untuk melakukan olahraga teratur (Chen, Liou, & Wu, 2008).


 

 

PERKEMBANGAN KOGNITIF (TEORI PIAGET)

Piaget merupakan seorang ahli psikologi kognitif yang mengemukakan empat tahapan perkembangan kognitif individu, yaitu:

 

 

Tahap Sensori-Motor (0-2)

Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi fundasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 – 24 bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.

 

 

Tahap Pra Operasional (2–7)

Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.

 

Tahap konkret-operasional (7-11)

Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut system of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

 

Tahap formal-operasional (11-dewasa)

Tahapan ini dimana remaja lebih berpikiran secara abstak dibandingkan fase sebelumnya. Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu :

·         Remaja cenderung idealis dan memiliki gambaran masa depan secara ideal serta cenderung membandingkan dirinya dengan sosok yang dianggap ideal baginya. Pemecahan masalah melalui proses trial dan error. Tipe pemecahan masalah mencakup penciptaan sebuah hipotesis serta melakukan deduksi terhadap implikasinya (penalaran hipotesis deduktif). Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.

·         Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam. Dengan menggunakan hasil pengukuran tes inteligensi yang mencakup General Information and Verbal Analogies, Jones dan Conrad (Abin Syamsuddin M, 2001) menunjukkan bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa remaja, setelah itu kepesatannya berangsur menurun. Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia 60 tahun selanjutnya berangsur menurun. Dengan berpatokan kepada hasil tes IQ, Bloom (1964) mengungkapkan prosentase taraf perkembangan kognitif individu sebagai berikut :

 

Usia

Perkembangan

1 tahun

Sekitar 20 %

4 tahun

Sekitar 50 %

8 tahun

Sekitar 80 %

13 tahun

Sekitar 92 %

 

 

 

Evaluasi Terhadap Teori Piaget

Teori Piaget mengenai tahap operasional formal dipertanyakan oleh sejumlah peneliti (Byrnes, 2008). Penelitian mereka menemukan lebih banyak variasi individual dari yang telah digambarkan Piaget. Kenyataannya hanya terdapat sepertiga remaja awal yang mencapai pemikiran operasional formal serta banyak orang dewasa Amerika yang tidak pernah menjadi pemikir formal operasional dan demikian pula orang dewasa pada budaya-budaya lain.

 

EGOSENTRISME REMAJA

 

Egosentrisme tidak hanya terjadi pada tahap perkembangan masa kanak-kanak. Ada yang disebut dengan egosentrisme remaja yang muncul di usia 11 atau 12 tahun yaitu pada periode transisi menuju ke dalam tahap operasional formal perkembangan kognitif dari Piaget. Pada remaja awal, berkembang pemikiran mentah dan imatur secara sosial yang didasarkan pada pemahaman yang tidak murni mengenai diri dan orang lain dimana remaja memiliki fokus diri yang kuat dan perasaan kepentingan diri serta salah memaknai pemikiran orang lain mengenai diri remaja itu sendiri (Elkind dalam Harvey, 2012). Egosentrisme ini berbentuk imaginary audience (penonton khayalan) dan personal fable (dongeng pribadi).

Penonton khayalan (imaginary audience) ialah keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri (Elkind dalam Beyth-Marom, Austin, Fischhoff, Palmgren, and Jacobs-Quadrel, 1993). Gejala dari imaginary audience ini merupakan mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian seperti keinginan agar kehadirannya diperhatikan, semua aktivitasnya disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian. Remaja merasa bahwa mereka berada di atas “panggung” dan beranggapan bahwa merekalah pemeran utamanya, sementara orang lain merupakan penontonnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gejala imaginary audience lebih merupakan produk dari pikiran atau hanya ada dalam pikiran remaja, dan bukan yang sebenarnya terjadi.

Dongeng pribadi (personal fable) merupakan akibat wajar dari imaginary audience. Dengan remaja berpikir bahwa dirinya sebagai pusat perhatian orang lain membuatnya percaya bahwa perhatian orang tersebut merupakan karena dirinya spesial dan unik. Personal fable dicirikan oleh ketidakmampuan untuk membayangkan bahwa diri (the self) bisa saja sama dengan orang lain, dan menghasilkan perasaan ke-diri-an yang ekstrim (extreme individuation) (Greene, Walters, Rubin, & Hale,1996). Personal fable merupakan perasaan unik dari seorang remaja bahwa tidak seorangpun dapat mengerti bagaimana perasaan mereka sebenarnya. Bahkan mendorong perilaku merusak diri (self-destructive) oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya, misalnya perilaku beresiko seperti tawuran, seks bebas, terlibat geng remaja, begal, dan lain-lain.

Pada proses perkembangannya, biasanya egosentrisme mulai berkurang di usia 16 atau 17 tahun, atau bisa jadi di usia 15 tahun sudah berkurang. Secara umum egosentrisme memiliki hubungan terbalik dengan usia, artinya semakin bertambahnya usia maka egosentrisme akan semakin berkurang. Karena semakin tumbuh remaja menuju tahap dewasa, otomatis pemikirannya juga berubah, sehingga egosentrisme ini hilang sendiri pada perkembangan tahap dewasa (Elkind dalam Greene, Rubin, Hale, dan Walters, 1996).

Partisipasi remaja menurut Nadian (2006) merupakan proses aktif dan berinisiatif  yang diambil oleh komunitas itu sendiri kemudian didasari dengan penuh kesadaran dalam menggunakan sarana dan proses untuk mengefektifkan penegasan kontrol (Rosyida dan Nasdian, 2011, p. 3). Sumber lain menyatakan bahwa partisipasi merupakan  keikutsertaan dan peran aktif dalam suatu kegiatan (Barbara dan Hariastuti, 2011). Nasdian (2006) juga memaparkan titik tolak dalam partisipasi, yaitu refleksi penuh kesadaran dari keputusan dan tindakan (Rosyida dan Nasdian, 2011, p. 3). Lebih lanjut, Nasdian (2006) menambahkan bahwa tujuan dari partisipasi merupakan untuk melibatkan masyarakat agar dapat berperan aktif  secara masksimal pada kegiatankegiatan masyarakat (Rosyida dan Nasdian, 2011, p. 3). Berpartisipasi merupakan ketika ia bersedia bertindak untuk turut serta aktif melakukan kegiatan yang diputuskan oleh diri sendiri atas dasar tujuan tertentu. Adapun pembagian tahapan partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1979) yakni sebagai berikut:

 

1.      Tahap pengambilan keputusan. Tahap ini berwujud keikutsertaan komunitas dalam perencanaan maupun program tertentu.

2.      Tahap pelaksanaan. Tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap terpenting dalam partisipasi, sebab tahap ini merupakan inti dari perubahan. Wujud nyata dari tahap pelaksanaan yakni partisipasi yang berbentuk sumbangan materi, sumbangan pemikiran, maupun sumbangan tindakan.

3.      Tahap evaluasi. Tahap ini tak kalah pentingnya dengan tahap pelaksanaan. Sebab tahap ini disebut juga sebagai umpan balik atas partisipasi komunitas tersebut. Hal ini tentu dapat menjadi masukan demi perbaikan pelaksanaan selanjutnya.

4.      Tahap menikmati hasil. Tahap ini merupakan indikator keberhasilan suatu partisipasi. (Rosyida dan Nasdian, 2011, p. 3-4). Tahapan-tahapan  partisipasi tersebut dapat diintegrasikan sebagai kesatuan pengembangan diri yang dapat dijadikan ukuran tingkat partisipasi suatu komunitas. Dalam hal ini, seseorang dapat dinyatakan berpartisipasi apabila telah memenuhi keempat tahapan di atas, yakni mulai dari tahap pengambilan keputusan hingga tahap menikmati hasil.

 

PEMROSESAN REMAJA

 

Tinjauan tentang Kegiatan Ekstrakulikuler 

Kegiatan ekstrakulikuler merupakan perangkat operasional kurikulum yang termasuk satuan pendidikan dan masih harus disusun kedalam kalender pendidikan (Damanik, 2014). Hastuti (2011) juga menyatakan bahwa kegiatan ekstrakulikuler merupakan kegiatan yang terselenggara demi memenuhi tuntutan kajian pelajaran sesuai dengan waktu yang ditentukan. Berdasarkan kedua definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstrakulikuler merupakan suatu kegiatan tambahan yang diselenggarakan diluar jam pelajaran wajib namun tetap berdasarkan satuan pendidikan dengan tujuan meningkatkan kualitas siswa. Pendapat ini diperkuat lagi oleh pernyataan Djafri (2008) bahwa kegiatan ekstrakulikuler merupakan aktifitas proses belajar mengajar yang terselenggara diluar jam pelajaran namun bertujuan untuk menambah wawasan siswa serta menumbuhkan kembali minat dan bakat untuk mengabdi kepada masyarakat. Artinya, kegiatan ekstrakulikuler diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi siswa itu sendiri melainkan dapat pula menjadi sarana untuk mengabdi kepada masyarakat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Cassel, Chow, Demoulin, dan Reiger (2000) menyebutkan bahwa siswa SMA di seluruh Amerika Serikat yang berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler  tercatat cenderung jarang terlibat kenakalan dan atau kejahatan. Mereka termasuk siswa panutan di sekolah maupun dimasyarakat. Mereka yang berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler telah terbukti jauh lebih berkualitas baik dirumah, tempat kerja ataupun dikampus dibandingkan dengan mereka yang tidak turut berpartisipasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat kecenderungan yang sama, baik di dalam dan luar negeri, bahwa kegiatan ekstrakulikuler memberi dampak positif untuk siswa yang mengikutinya.

 

Hubungan antara Partisipasi Siswa dalam Kegiatan Ekstrakulikuler

Tinjauan tentang Partisipasi Siswa dalam Kegiatan Ekstrakurikuler  Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, partisipasi yang dimaksud yakni keikutsertaan dan peran aktif serta turut menikmati hasil dari proses evaluasi pelaksanaan kegiatan yang telah ditentukan sendiri oleh siswa yang bersangkutan. Adapun konteks kegiatan ekstrakulikuler dalam kegiatan ini yakni seluruh rangkaian kegiatan terprogram yang terselenggara diluar jam pelajaran wajib dengan tujuan memberi wadah bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka guna meningkatkan kualitas diri. Lingkup partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakulikuler akan difokuskan pada beberapa hal berikut:

 

1.      Mengambil keputusan untuk memilih kegiatan ekstrakulikuler yang mereka minati.

2.      Melaksanaan program-program kegiatan ekstrakulikuler yang mereka minati, dengan cara turut memberikan sumbangan baik berupa materi, pemikiran maupun tindakan.

3.      Mengevaluasi kembali program-program ekstrakulikuler yang telah dilaksanakan.

4.      Menikmati hasil dari rangkaian proses yang telah ditempuh.

 

SOSIOEMOSIONAL REMAJA

Sosioemosional berasal dari kata sosial dan emosi. Perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial.  Dapat juga diartikan sebagai proses untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi, dan moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu. Emosi dibedakan menjadi dua, yakni emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin tahu yang tinggi. Emosi negatif seperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar. Jadi, perkembangan Sosioemosional pada remaja adalah kemampuan remajauntuk mengelola emosi dirinya dengan orang lain yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia serta kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain sehingga ia bisa berinteraksi dengan baik dengan teman-teman sebaya, orang tua atau dengan orang dewasa di lingkungan sekitarnya. Masa remaja merupakan masa-masa yang sangat berwarna bagi seseorang. Dalam tahapan ini, seorang remaja memiliki kecenderungan untuk mencari hal-hal baru dalam rangka mencari jati dirinya. Remaja akan berusaha mencari tahu segala hal yang ada di dalam dirinya dan hal-hal yang ada di lingkungan luar. Pada masa remaja emosi tidak stabil, masa remaja adalah masa goncang yang terkenal dengan berkecamuknya perubahan-perubahan emosional. Perubahan-perubahan emosional pada remaja di pengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam individu itu sendiri dan faktor dari lingkungan.Perkembangan emosi remaja merupakan suatu proses menuju kedewasaan. Perbedaan perkembangan emosi pada anak-anak dan remaja terletak pada ungkapan emosi mereka. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak melainkan dengan cara menggerutu, tidak mau berbicara atau secara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarahnya.

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Dalam hal ini, teman sebaya memberikan pengaruh yang besardalam perkembangan remaja tersebut. Karena pada usia remaja, remaja cenderung menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Perkembangan sosial remaja sangat penting bagi kehidupan remaja selanjutnya.Perkembangan sosial mempengaruhi remaja dalam hubungan sosialnya dengan teman sebaya dan orang tua dan yang paling essensial dari perkembangan sosial remaja adalah pencarian identitas atau jati diri. Apabila perkembangan sosial tidak mengalami kesuksesan maka remaja tidak akan dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan sosialnya dengan baik, sehingga pada masa dewasa akan mengalami kesulitan dalam kehidupan sosialnya.

Peran orang tua dan guru menjadi sangat penting dalam membantu perkembangan sosioemosional remaja, agar remaja tidak terjerumus ke dalam lingkungan sosial yang menyimpang dan emosinya mengarah pada emosi yang positif. Sehingga siswa diharapkan memiliki kecerdasan emosi dan mampu berinteraksi dalam lingkungan sosial yang nantinya akan sangat berperan terhadap keberhasilan seseorang dalam segala aspek kehidupan.

 

SELF ESTEEM

 

Penghargaan diri atau self-esteem adalah keseluruhan cara yang kita pergunakan untuk mengevaluasi diri kita. Berdasarkan hasil sebuah studi diketahui bahwa baik laku-laki maupun perempuan memiliki penghargaan diri yang tinggi pada masa kanak-kanak, meskipun demikian, harga diri mereka cenderung lebih turun secara drastic pada masa remaja (Robins dkk., 2002). Menurut hasil studi ini, di masa remaja, penurunan penghargaan diri pada anak perempuan lebih besar daripada anak laki-laki. Menurut penelitian Trzesniewski padah tahun 2006, orang dewasa yang dicirikan oleh kesehatan disik dan mental yang rendah, prospek ekonomi yang buruh, dan tingkat perilaku kriminal yang tinggi cenderung memiliki rasa penghargaan diri yang rendah ketika remaja dibandingkan orang dewasa yang lebih kompeten dan berhasil menyesuaikan diri. Penghargaan diri remaja perempuan cenderung menurun karena di masa pubertas remaja perempuan memilik pencitraan tubuh yang negative. Penghargaan diri mencerminkan persepsi yang ridak selalu sesuai dengan realitasnya. Penghargaan diri yang tinggi dapat mengacu pada persepsi yang akurat mengenai nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan pencapaian seseorang tersebut, namun juga dapat mengindikasikan kesombongan dan merasa superior dari yang lain. Namun penghargaan diri yang rendah dapat mengakibatkan ketidakamanan patologis dan rasa interior.

 

Aspek-aspek self esteem

Coopersmith (1967) menyebutkan terdapat empat aspek penghargaan diri. Aspek-aspek tersebut yaitu power, significance, virtue, dan competence.

a.       Kekuatan

Kekuatan atau power menunjukan pada adanya kemampuan seseorang untuk dapat mengatur dan mengontrol tingkah laku dan mendapat pengakuan atas tingkah laku tersebut dan orang lain. Kekuatan dinyatakan dengan pengakuan dan penghormatan yang diterima seorang individu dari orang lain dan adanya kualitas atas pendapat yang diutarakan oleh seorang individu yang nantinya diakui oleh orang lain.

b.      Keberartian

Keberartian atau significance menunjukan pada kepedulian, perhatian, afeksi dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang menunjukan adanya penerimaan dan popularitas individu dari lingkungan sosial.

c.       Kebajikan

Kebajikan atau virtue menunjukan suatu ketaatan untuk mengikuti standard moral dan etika serta agama dimana individu akan menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang diizinkan oleh moral, etika dan agama.

d.      Kemampuan

Kemampuan atau competence menunjukan suatu performasi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai prestasi (need of achievement) dimana tugas-tugas tersebut tergantung pada variasi usia seseorang. Self esteem pada masa remaja meningkat menjadi lebih tinggi bila remaja tahu apa tugasnya yang penting untuk mencapai tujuannya, dan karena mereka telah melakukan tugasnya tersebut atau tugas lain yang serupa. Para peneliti juga menemukan bahwa penghargaan diri pada remaja dapat meningkatkan saat remaja menghadapi masalah dan mampu menghadapinya (Santrock, 2003).

           

IDENTITY

Identitas adalah potret diri yang tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup:

a.       Jejak karir dan pekerjaan yang ingin diritis seseorang

b.      Apakah seseorang itu konservatif, liberal, atau berada di antara keduanya

c.       Keyakinan spiritual seseorang

d.      Apakah seseorang itu lajang, menikah, bercerai, dan seterusnya

e.       Sejauh mana seseorang termotivasi untuk berprestasi dan intelektualnya

 

Seorang remaja akan mengalami proses pencarian status identitas diri.  Terdapat dua orang tokoh yang akan dibahas mengenai status identitas diri, yaitu Erik H. Erikson dan James Marcia. Erikson adalah tokoh pertama yang memahami betapa pentingnya pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas untuk memahami perkembangan remaja. Erikson (dalam Santrock, 2012:438) menggambarkan tahap perkembangan sosioemosional yang dialami remaja adalah tahap kelima yaitu identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Pada tahap ini remaja mencoba mengembangkan pemahaman diri yang sesuai dengan identitas dirinya, termasuk peran yang akan dijalani di masyarakat. Remaja yang berhasil mengatasi konflik identitas akan tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang baik dan dapat diterima. Menurut Erikson (dalam Santrock 2012:438) menyatkan bahwa remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas menderita apa yang disebut sebagai kebingungan identitas. Kebinggungan ini dapat menggejala ke dalam dua bentuk: menarik diri, mengisolasi diri dari kawan sebaya dan keluarga, atau mereka meleburkan diri ke dalam dunia kawan sebaya dan kehilangan identitasnya ditengah pergaulanyya. Status identitas diri yang dikemukakan Marcia dipengaruhi oleh teori Erikson. Marcia (dalam Santrock, 2012:439) menggunakan krisis dan komitmen untuk mengklasifikasikan seseorang menjadi empat tahap status identitas, yaitu (a) identity diffusion, (b) identity foreclosure, (c) identity moratorium, dan (d) identity achievement.  Pertama, identity diffusion adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk mengarah pada keadaan remaja yang belum mengeksplorasi pilihannya, tidak membuat komitmen apa pun, atau seorang remaja yang dapat dikatakan masih dalam tahap kebingungan. Kedua, identity foreclosure adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk mengarah pada keadaan remaja yang telah membuat komitmen, namun ia belum mendapat kesempatan untuk bereksplorasi dalam berbagai pendekatan, karena komitmen tersebut adalah dorongan dari orangtuanya yang biasanya bersifat otoriter (Santrock, 20012:439). Ketiga, identity moratorium merupakan istilah yang mengarah pada keadaan remaja yang berada dipertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap pilihan untuk menentukan identitas dirinya. Menurut Marcia (dikutip dalam Santrock, 2012:439) “Banyak mahasiswa berada dalam status moratorium berkaitan dengan pemilihan bidang studi atau karir”. Keempat, identity achievement merupakan istilah yang mengarah pada keadaan remaja yang sudah mengatasi krisis identitas, serta membuat komitmen (Santrock, 20012:439).

 

SPIRITUAL DEVELOPMENT

Masalah keyakinan penting bagi kebanyakan remaja, namun pada abad ke-21, terjadi tren penurunan keyakinan pada remaja. Pryor, dkk (dalam Santrock 2012:441) mengatakan bahwa dalam sebuah studi nasional terhadap remaja Amerika pada tahun 2007, sebanayak 78 persen mengatakan mereka mendatangi tempat ibadah secara teratur atau saat tertentu selama tahun terakhir di sekolah menengah atas, dari sebelumnya 85 persen pada tahun 1997. KKoenig, McGue, & Iacono (dalam Santrock 2012:441) mengungkapkan bahwa keyakinan remaja AS menurun dari usia 14 ke 20 tahun. Analisis World Values Survey terhadap remaja usia 18 hingga 24 tahun mengungkapkan bahwa orang yang beranjak dewasa di negara kurang berkembang lebih relegius daripada di negara maju (dalam Santrock 2012:441). Agama sebagai bagian dari pencarian identitas mereka, remaja dan dewasa awal mulai bergulat dengan cara berpikir logis dan rumit.Remaja lebih berpikir secara abstrak, idealistik, dan logis dibandingkan anak-anak. Peningkatan cara berpikir abstrak menjadikan remaja mempertimbangkan berbagai gagasan tentang konsep relegius dan spiritual. Agama memberikan dampak kepada remaja. Peran Positif Agama dalam Kehidupan Remaja.Cotton, dkk (dalam Santrock 2012:442) mengatakan bahwa “agama juga berperan dalam kesehatan remaja dan masalah perilaku mereka”. Contohnya remaja yang religius , mereka akan menghindari mengkonsumsi narkoba, minuman beralkohol, melakukan kenakalan remaja yang menurut mereka berdosa atau merugikan jika dilakukan.

 

 

 

 

 

 

HUBUNGAN PARENT-ADOLESCENT

 

a.      Pengawasan Orang Tua

Menurut Gauvain & Parke (dalam Santrock 2012:443). Aspek kunci dari peran manajerial parenting di masa remaja adalah secara efektif mengawasi perkembangan remaja. Pengawasan mencangkup mengawasi pilihan remaja seperti aktivitas, teman-temannya, serta pendidikan mereka. Kurangnya pengawasan orang tua cenderung berakibat timbulnya kenakalan remaja.

 

b.      Otonomi dan Kelekatan

Pada permulaan remaja, rata-rata individu tidak memiliki pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat atau matang di semua bidang kehidupan. Ketika remaja didorong untuk meraih otonomi, orang dewasa yang bijaksana akan mengurangi  kendali dalam bidang-bidang di mana remaja dapat mengambil keputusan yang masuk akal. Orang dewasa tetap membimbing mereka untuk mengambil keputusan di bidang-bidang dimana pengetahuan remaja masih terbatas. Secara bertahap, remaja memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan yang matang secara mandiri. Menurut Steinberg dan Lerner (dalam Dewi & Valentina, 2013:182) “Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri dan merupakan bagian dari pencapaian otonomi diri pada remaja”.Nguyen (dalam Dewi & Valentina, 2013:182) “Proses perkembangan kemandirian memiliki dampak pada kehidupan remaja termasuk proses perubahan hubungan orangtua anak.” Perbedaan gender turut memberi ciri pada perolehan otonomi. Remaja laki-laki lebih dibiarkan mandiri dibandingkan remaja perempuan. Hair, dkk (dalam Santrock, 2012:444) berpendapat bahwa meskipun remaja beranjak kearah kemandirian, mereka masih perlu menjalin relasi dengan keluarganya. Orangtua terkadang masih ingin memegang kendali atas kehidupan anak sepenuhnya padahal di satu sisi remaja ingin mendapat kebebasan untuk dapat menjadi pribadi yang lebih mandiri dan bertanggung jawab. Ainsworth (dalam Dewi & Valentina, 2013:183), kelekatan memberi sumbangan terhadap perkembangan manusia sepanjang hidupnya melalui dukungan emosional dan rasa kedekatan, dalam hal ini adalah dari orangtua terhadap remaja. Jadi ketika remaja belajar untuk menjalin hubungan dengan orang diluar keluarganya, dukungan dari keluarga akan memampukan remaja untuk lebih percaya diri dan terbuka terhadap orang lain.

 

c.       Konflik Orang Tua-Remaja

Remaja juga masih merupakan bagian dari sebuah keluarga. Sistem dalam keluarga membantu dan membentuk remaja untuk lebih memahami siapa dirinya. Allen (dalam Santrock, 2012:445) menyebutkan orangtua memainkan peranan penting dalam perkembangan remaja. Konflik yang terjadi sehari-hari antara orangtua dan remaja menjadi sebuah ciri hubungan yang positif, saat perselisihan kecil dan negosiasi yang terjadi dapat memfasilitasi transisi dari remaja yang bergantung pada orangtua menjadi individu yang mandiri. Sullivan, 1980 (dalam Santrock, 2012:445) mengatakan bahwa konflik dengan orang tua sering kali meningkat diremaja awal, kemudian menurun ketika remaja mencapai usia 17 hingga 20 tahun. Relasi orang tua dengan anak remajanya menjadi lebi positif ketika remaja meninggalkan rumah untuk berkuliah dibandingkan jika mereka masih tinggal di rumah bersama orang tua. Hubungan orangtua-remaja diungkapkan oleh Santrock (2012:445-446) dalam bentuk model lama dan model baru. Model lama menunjukkan ketika beranjak dewasa, remaja memisahkan diri dari orangtua dan masuk ke dunia kemandirian yang terpisah dari orangtua. Selain itu, model lama juga menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara orangtua-remaja sangat kuat dan penuh tekanan. Berbeda dengan model lama, model baru menekankan bahwa orangtua menjadi figur lekat yang penting dan sebagai sistem pendukung saat remaja mengeksplorasi dunia sosial yang lebih luas dan kompleks. Dukungan dari orangtua dapat dirasakan bila remaja memiliki hubungan emosional yang kuat dengan orangtua. Hubungan emosional tentu tidak terbentuk begitu saja melainkan sudah terbentuk dari awal masa bayi yang terjadi antara anak dengan pengasuhnya atau figur lekatnya.

 

Hubungan dengan Teman Sebaya di Masa Remaja.

 

a.      Persahabatan

Di awal masa remaja, remaja biasanya memilih untuk memiliki beberapa sahabat yang lebih intens dan akrab dibandingkan anak-anak kecil. Sullivan (dalam santrock, 2012:446) berpendapat bahwa sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial. Kebutuhan akan intimasi meningkat di masa remaja awal, dan memotivasi remaja untuk mencari sahabat.  Jika remaja gagal untuk menempa persahabatan yang akrab, mereka akan mengalami kesepian dan penghayatan akan martabat dirinya juga akan menurun. Persahabatan dengan teman sebaya pada masa remaja juga telah dipelajari berdasar klik dan pertemanan akrab yang merupakan tempat remaja menghubungkan diri (Berber, Eccles & Stone, 2001, dalam Slavin, 2011).

 

b.      Kelompok Kawan Sebaya

Menurut Rice & Dolgin (dalam Santoso, 2011:52) mengatakan bahwa pada masa ini terjadi perubahan besar pada kelompok primer mereka dengan semakin besarnya pengaruh teman sebaya terhadap kehidupan remaja yang berakibat padamakin banyaknya waktu dan kegiatan yang dipergunakan untuk melaksanakan kebutuhansosial mereka.

Tekanan dari kawan sebaya dibandingkan anak-anak, remaja awal lebih banyak menyesuaikan diri terhadap standar kawan sebayanya. Mitchell prinstein dan koleganya (dalam santrock, 2012:448) mengungkapkan bahwa remaja yang tidak yakin akan status sosialnya, cenderung lebih menyesuaikan diri dengan kawan sebayanya. Kawan sebayalebih menyesuaikan diri ketika ada seseorang yang menurut mereka statusnya lebih tinggi.

 

c.       Pacaran dan Relasi Romantis

Pediatri (2010) mengatakan bahwa Adolesen (remaja) merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial. Maturasi seksual terjadi melalui tahapan-tahapan yang teratur yang akhirnya mengantarkan anak siap dengan fungsi fertilitasnya, laki-laki dewasa dengan spermatogenesis, sedangkan anak perempuan dengan ovulasi. Di samping itu, juga terjadi perubahan psikososial anak baik dalam tingkah laku, hubungan dengan lingkungan serta ketertarikan dengan lawan jenis. Perubahan-perubahan tersebut juga dapat menyebabkan hubungan antara orangtua dengan remaja menjadi sulit apabila orangtua tidak memahami proses yang terjadi.

Menurut Garrison (dalam Sunarto & Hartono, 2006:207) mengatakan bahwa seorang remaja akan mengalami “jatuh cinta” di dalam  masa kehidupannya setelah mencapai belasan tahun. Gejala perilaku setiap orang yang jatuh cinta tidak selalu sama dan mungkin seorang remaja telah mulai mempelajari peran seksual lebih baik disbanding dengan remaja lain, dan sebaliknya terdapat remaja yang belum mengetahui mengenai peran seksual yang sebenarnya.

Ada tiga tahapan mencirikan perkembangan relasi romantis di masa remaja menurut Connolly & McIsaac (dalam Santrock, 2012:449).

 

1.      Mulai memasuki afiliasi dan atraksi romantis pada usia 11 hingga 13 tahun. Tahap awal ini dipicu oleh pubertas. Pada usia ini, remaja menjadi sangat tertarik pada keromantisan. Remaja muda mungkin atau mungkin tidak berinteraksi dengan individu yang disukainya tersebut. Namun ketika kencan terjadi, biasanya berlangsung dalam setting kelompok.

 

2.      Mengeksplorasi relasi romantis pada usia 14 hingga 16 tahun. Pada tahap ini terjadi dua jenis keterlibatan romantis pada remaja: a) Casual dating , terjadi di antara individu yang saling tertarik, terjadi hanya beberapa bulan atau minggu saja, dan b) Dating in groups, biasa terjadi dan mencerminkan keterkaitan dalam konteks kawansebaya. Sahabat seringkali berperan sebagai fasilitator dalam sebuah relasi romantis.

 

3.      Mengonsolidasi keterikatan romantis dyadik pada usia sekitar 17 hingga 19 tahun. Pada akhir masa sekolah menengah atas, terbentuk relasi romantis yang semakinserius. Relasi ini ditandai dengan ikatan emosi yang kuat seperti pada orang dewasa. Ikatan emosi ini lebih stabil dan tahan lama dibandingkan ikatan sebelumnya, dan biasanya berlangsung satu tahun atau lebih.

 

Para peneliti telah mengaitkan remaja dan relasi romantis dengan berbagai ukuran tentangseberapa baikkah remaja yang dapat menyesuaikan diri). Sebagai contoh, sebuah penilitian terbaru terhadap 200 siswakelas 10 mengungkap bahwa semakin romantis pengalaman yang mereka miliki, semakintinggi tingkat penerimaan sosial, kompetensi persahabatan, dan kompetensi romantis; namun demikian, hal ini juga terkait dengan tingkat penyalahgunaan obat terlarang yang tinggi, kenakalan remaja, dan perilaku seksual, menurut Furman, Loww, & Ho (dalam Santrock, 2012:451).

 

Kenakalan Remaja

John W. Santrock mendefinisikan, kenakalan remaja (Juvenile Delinquency) mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Menurut Kartini Kartono, Juvenile Delinquency adalah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangakan tingkah laku yang menyimpang. Wright membagi jenis kenakalan remaja dalam beberapa keadaan (Bisri, 1995):

 

1.      Neurotic Deliquency.

Remaja bersifat pemalu, terlalu perasa, suka menyendiri, gelisah dan mempunyai perasaan rendah diri. Mereka mempunyai dorongan yang kuat untuk berbuat suatu kenakalan seperti : mencuri sendirian, melakukan tindakan agresif secara tiba – tiba tanpa alasan karena dikuasai oleh fantasinya sendiri.

2.      Unsocialed Deliquency

Unsocilaed Delinquency, suatu sikap yang suka melawan kekuasaan seseorang, rasa bermusuhan dan pendendam.

3.      Pseudo Social Delinquency

Pseudo Social Delinquency, remaja atau pemuda yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap kelompok atau gang sehingga sikapnya tampak patuh, setia dan kesetiakawanan yang baik. Jika melakukan perilaku kenakalan bukan atas kesadaran diri sendiri yang baik tetapi karena didasari anggapan bahwa ia harus melaksanakan sesuatu kewajiban kelompok yang digariskan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dush, C. M., Cohan, C. L., & Amato, P. R. (2003). The Relationship Between Cohabitation and Marital Quality and Stability: Change Across Cohorts. Journal of Marriage and Family , 539.

Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Theories of Personality. New York: Mc Graw Hill.

Leiner, A. S., Kearns, M. C., Jackson, J. L., & Rotbaum, M. C. (2012). Avoidant Coping and Treatment Outcome in Rape Related Posttraumatic Stress Disorder. Journal of Consulting and Clinical Psychology , DOI: 10.1037/a0026814.

M.Shinton, M., & L.Birch, L. (2006). Individual and Socialkultural Influences on Pre-Adolescent Girls’ Appearance Schemas and Body Dissatisfaction. Journal of young and Adolescence , 66-175.

santrock, J. W. (2002). A Topical Approach to Life Span Development. New York: Mc Graww Hill.

Santrock, J. W. (2003). Adolencence. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. (2011). Educational psychology (5th ed.). New York: McGraw-Hill.

Santrock, J. (2014). Educational psychology (6th ed.). New York: McGraw-Hill.

Thompson, E. M., & Morgan, E. M. (2008). “Mostly Straight” Young Women: Variations in Sexual Behavior and identity Development. Developmental Psychology , Vol. 44, No. 1, 15–21.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Gestalt Psychology by Max Wertheimer

Perkembangan fisik dan kognitif dewasa madya perspektif perkembangan sepanjang hayat