MAKALAH PERKEMBANGAN MASA REMAJA ( PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT) PSIKOLOGI
PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT
Perkembangan Masa Remaja
FAKULTAS PSIKOLOGI
PERKEMBANGAN
FISIK REMAJA
Masa remaja adalah suatu periode
transisi dalam rentan kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak
dengan masa dewasa. Visi yang lebih akutar mengenai masa remaja adalah saat
untuk mengevaluasi, mengambil keputusan, berkomitmen, dan mengukir tempat di
dunia. Sebagian besar masalah remaja saat ini bukanlah pada remaja itu sendiri.
Yang dibutuhkan oleh remaja adalah akses terhadap berbagai kesempatan serta
dukungan jangka panjang dari orang dewasa yang sangat memperhatikan mereka
(Balsano, Theokas, & Bobek, 2009; Lerner dkk., 2009; Swanson, Edwards,
& Spencer, 2010).
1. Sifat-Sifat Remaja
Seperti pada perkembangan masa
kanak-kanak, faktor genetik / biologis dan lingkungan / sosial mempengaruhi
perkembangan remaja. Selama tahun-tahun perkembangan masa kecil mereka, remaja
mengalami ribuan jam interaksi dengan orang tua, teman sebaya, dan guru, tapi
sekarang mereka menghadapi perubahan biologis yang dramatis, pengalaman baru,
dan tugas perkembangan baru. Relasi dengan orang tua dapat terwujud di dalam
suatu bentuk yang berbeda dari sebelumnya, interaksi dengan kawan-kawan menjadi
lebih akrab; pada masa ini mereka juga mengalami pacaran maupun eksplorasi
seksual dan kemungkinan melakukan hubungan seksual. Cara berfikir remaja
menjadi lebih abstrak dan idealistic. Perubahan tubuh yang terjadi memicu minat
terhadap citra tubuh. Masa remaja dapat mengalami kesinambungan maupun
ketidaksinambungan dengan masa kanak-kanak.Ada sejarah panjang yang
mengkhawatirkan tentang bagaimana remaja akan “berubah”. Pada tahun 1904, G.
Stanley Hall mengajukan teori “badai dan stres” bahwa masa remaja adalah masa
penuh gejolak yang diisi dengan konflik dan perubahan suasana hati. Namun,
ketika Daniel Offer dan rekan-rekannya (1988) mempelajari citra diri remaja di
Amerika Serikat, Australia, Bangladesh, Hongaria, Israel, Italia, Jepang,
Taiwan, Turki, dan Jerman Barat, ditemukan setidaknya 73 persen remaja
menampilkan citra diri yang sehat. Meskipun ada perbedaan di antara mereka,
remaja di negara-negara tersebut merasa senang sepanjang waktu, mereka
menikmati hidup, mereka menganggap diri mereka mampu melakukan pengendalian
diri, mereka menghargai pekerjaan dan sekolah, mereka merasa percaya diri
tentang preferensi seksual mereka, mereka mengungkapkan perasaan positif
terhadap keluarga mereka, dan mereka merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi
tekanan hidup: bukan gambaran masa remaja yang penuh badai dan stres. Sikap publik
tentang masa remaja muncul dari kombinasi pengalaman pribadi dan penggambaran
media, yang tidak menghasilkan gambaran objektif tentang bagaimana remaja
normal berkembang (Feldman & Elliott, 1990). Beberapa kesiapan untuk
berasumsi yang terburuk tentang remaja kemungkinan besar melibatkan ingatan
jangka pendek orang dewasa. Banyak orang dewasa mengukur persepsi remaja mereka
saat ini dengan ingatan mereka tentang masa remaja mereka sendiri. Orang dewasa
mungkin menggambarkan remaja saat ini seperti bergolaknya mereka di masa lalu.
Namun, dalam masalah selera dan tata krama, kaum muda dari setiap generasi
tampak sangat radikal dan berbeda dari orang dewasa — berbeda dalam penampilan,
perilaku, musik yang mereka nikmati, gaya rambut, dan gaya rambut mereka serta
pakaian yang mereka pilih. Namun, adalah kesalahan besar untuk mengacaukan
antusiasme remaja untuk mencoba identitas baru dan menikmati perilaku yang agak
berlebihan yang berhubungan dengan kebencian terhadap standar orang tua dan
masyarakat. Sebagian besar remaja berhasil menegosiasikan jalan panjang menuju
kedewasaan, tetapi sebagian besar lainnya tidak berhasil (Lerner, Roeser, &
Phelps, 2009). Perbedaan etnis, budaya, jenis kelamin, sosial ekonomi, usia,
dan gaya hidup mempengaruhi lintasan kehidupan aktual setiap remaja (Schlegel,
2009; Swanson, Edwards, & Spencer, 2010). Penggambaran yang berbeda tentang
masa remaja muncul, tergantung pada kelompok remaja tertentu yang dijelaskan
(Fuligni, Hughes, & Way, 2009). Remaja saat ini terpapar dengan banyak
pilihan gaya hidup yang kompleks melalui media, dan banyak dari mereka yang
menghadapi godaan penggunaan narkoba dan aktivitas seksual di usia yang semakin
muda. Banyak remaja yang tidak diberi kesempatan dan dukungan yang memadai
untuk menjadi orang dewasa yang kompeten (McLoyd & others, 2009).
2. Pubertas
Pubertas tidak sama dengan masa
remaja. Bagi sebagian besar dari kita, pubertas berakhir jauh sebelum masa
remaja, meskipun pubertas adalah penanda terpenting dimulainya masa remaja.
Pubertas adalah periode pematangan fisik yang cepat yang melibatkan perubahan
hormonal dan tubuh yang terjadi terutama selama masa remaja awal. Pubertas
bukanlah peristiwa tunggal yang tiba-tiba. Kami tahu apakah seorang anak
laki-laki atau perempuan akan melewati masa pubertas, tetapi menentukan awal
dan akhir pubertas itu sulit. Di antara perubahan yang paling mencolok adalah
tanda-tanda kematangan seksual dan peningkatan tinggi dan berat badan.
a.
Kematangan Seksual, Tinggi, dan Berat
Para
peneliti telah menemukan bahwa ciri-ciri pubertas pria biasanya berkembang
dalam urutan ini: peningkatan ukuran penis dan testis, munculnya rambut
kemaluan lurus, perubahan suara kecil, ejakulasi pertama (yang biasanya terjadi
melalui masturbasi atau mimpi basah), munculnya keriting, rambut kemaluan,
permulaan pertumbuhan tinggi dan berat maksimum, pertumbuhan rambut di ketiak,
perubahan suara yang lebih menarik, dan, terakhir, pertumbuhan rambut wajah.
Urutan perubahan pada perempuan yaitu,
payudara membesar atau rambut kemaluan muncul. Belakangan, rambut muncul
di ketiak. Saat perubahan ini terjadi, tinggi remaja perempuan bertambah dan
pinggulnya menjadi lebih lebar dari bahunya. Menarche menstruasi pertama seorang gadis — datang agak terlambat
dalam siklus pubertas. Awalnya, siklus menstruasinya mungkin sangat tidak
teratur. Untuk beberapa tahun pertama, dia mungkin tidak berovulasi setiap
siklus menstruasi; beberapa gadis tidak berovulasi sama sekali sampai satu atau
dua tahun setelah menstruasi dimulai. Tidak ada perubahan suara seperti pada
pria pubertas yang terjadi pada wanita. Pada akhir masa pubertas, payudara
wanita menjadi lebih bulat. Peningkatan berat badan yang ditandai bertepatan
dengan permulaan pubertas. Selama masa remaja awal, anak perempuan cenderung
melebihi anak laki-laki, tetapi pada usia 14 tahun anak laki-laki mulai
melampaui anak perempuan. Demikian pula, pada awal masa remaja, anak perempuan
cenderung setinggi atau lebih tinggi daripada anak laki-laki seusia mereka,
tetapi pada akhir tahun sekolah menengah sebagian besar anak laki-laki telah
mengejar atau, dalam banyak kasus, melampaui tinggi perempuan. Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 11.1, lonjakan pertumbuhan terjadi kira-kira dua tahun
lebih awal untuk anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Usia rata-rata
pada awal percepatan pertumbuhan pada anak perempuan adalah 9 tahun; untuk anak
laki-laki adalah 11. Tingkat puncak perubahan pubertas terjadi pada 11½ tahun
untuk anak perempuan dan 13½ tahun untuk anak laki-laki. Selama percepatan
pertumbuhan mereka, tinggi badan perempuan bertambah sekitar 3½ inci per tahun,
anak laki-laki sekitar 4 inci. Anak laki-laki dan perempuan yang lebih pendek
atau lebih tinggi dari teman sebayanya sebelum masa remaja cenderung tetap seperti
itu selama masa remaja; namun, sebanyak 30 persen tinggi badan seseorang pada
masa remaja akhir tidak dapat dijelaskan oleh tinggi badannya di tahun-tahun
sekolah dasar.
b.
Perubahan Hormon
Di
balik tumbuhnya kumis pertama pada anak laki-laki dan pelebaran pinggul pada
anak perempuan terdapat aliran hormon, zat kimia kuat yang disekresikan oleh
kelenjar endokrin dan dibawa ke seluruh tubuh oleh aliran darah (Susman &
Dorn, 2009; Wankowska & Polkowska, 2010).Konsentrasi hormon tertentu
meningkat secara dramatis selama masa remaja (Roa & others, 2010).
Testosteron adalah hormon yang terkait pada anak laki-laki dengan perkembangan
alat kelamin, peningkatan tinggi badan, dan perubahan suara. Estradiol adalah
sejenis estrogen; pada anak perempuan dikaitkan dengan perkembangan payudara,
uterus, dan tulang. Dalam sebuah penelitian, kadar testosteron meningkat
delapan belas kali lipat pada anak laki-laki tetapi hanya dua kali lipat pada
anak perempuan selama masa pubertas; estradiol meningkat delapan kali lipat pada
anak perempuan tetapi hanya dua kali lipat pada anak laki-laki (Nottelmann
& lainnya, 1987). Jadi, baik testosteron dan estradiol hadir dalam susunan
hormonal anak laki-laki dan perempuan, tetapi testosteron mendominasi
perkembangan pubertas pria, estradiol dalam perkembangan pubertas wanita.
Masuknya hormon yang sama yang menumbuhkan rambut di dada pria dan meningkatkan
jaringan lemak di payudara wanita juga dapat berkontribusi pada perkembangan
psikologis di masa remaja (Susman & Dorn, 2009). Dalam sebuah penelitian
terhadap anak laki-laki dan perempuan yang berusia antara 9 hingga 14 tahun,
konsentrasi testosteron yang lebih tinggi ditemukan pada anak laki-laki yang
menilai diri mereka lebih kompeten secara sosial (Nottelmann & lainnya,
1987). Namun, efek hormonal dengan sendirinya tidak memperhitungkan
perkembangan remaja (Susman & Dorn, 2009). Misalnya, dalam satu penelitian,
faktor sosial adalah prediktor yang jauh lebih baik untuk depresi dan kemarahan
gadis remaja muda daripada faktor hormonal (Brooks-Gunn & Warren, 1989).
Perilaku dan suasana hati juga dapat mempengaruhi hormon (DeRose &
Brooks-Gunn, 2008). Stres, pola makan, olahraga, aktivitas seksual, ketegangan,
dan depresi dapat mengaktifkan atau menekan berbagai aspek sistem hormonal
(Sontag & others, 2008). Singkatnya, kaitan antara hormone dan tingkah laku
bersifat kompleks.
c.
Waktu dan variasi dalam pubertas
Program
genetic yang mendasari pubertas terkait dengan spesies (Gajdos, Hirschhorn,
& Palmert, 2009); meskupun demikian nutrisi, kesehatan, dan lingkungan
lainnya juga mempengaruhi waktu berkembangnya pubertas (Ji & Chen, 2008).
Faktor sosial adalah prediktor yang jauh lebih baik untuk depresi dan kemarahan
gadis remaja muda daripada faktor hormonal (Brooks-Gunn & Warren, 1989). Perilaku
dan suasana hati juga dapat mempengaruhi hormon (DeRose & Brooks-Gunn,
2008). Stres, pola makan, olahraga, aktivitas seksual, ketegangan, dan depresi
dapat mengaktifkan atau menekan berbagai aspek sistem hormonal (Sontag &
others, 2008). Singkatnya, hubungan hormon-perilaku itu rumit. Pubertas sebelum
waktunya adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan onset yang sangat
awal dan perkembangan yang cepat dari pubertas. Pubertas sebelum waktunya
terjadi sekitar 10 kali lebih sering pada anak perempuan dibandingkan pada anak
laki-laki. Pubertas sebelum waktunya biasanya diobati dengan menekan sekresi
gonadotropik, yang untuk sementara menghentikan perubahan pubertas.
d.
Citra tubuh
Sebuah
aspek psikologis pasti terjadi dan berkaitan dengan perubahan fisik: remaja
sangat memperhatikan tubuhnya dan mengembangkan citra mengenai tubuhnya itu
(Mueller, 2009). Terdapat perbedaan gender sehubungan dengan persepsi remaja
mengenai tubuhnya. Secara umum, jika dibandingkan dengan lai-laki, anak
oerempuan kurang puas dengan tubuhnyadan memiliki citra tubuh yang lebih
negative selama pubertas (Bearman dkk., 2006). Anak perempuan sering merasa
tidak puas dengan tubuhnya sehubungan dengan meningkatnya jumlah lemak;
sementara itu anak laki-laki menjadi lebih puas ketika melewati masa pubertas
sehubungan dengan meningkatnya massa otot.
e.
Kematangan awal dan akhir
Remaja
yang matang lebih awal dini atau yang
terlambat dibandingkan kawan-kawan sebaya memandang dirinya secara berbeda.
Berdasarkan Barkeley Longitudinal Study beberapa
tahun yang lalu, snak laki-laki yang lebih cepat matang memandang dirinya lebih
positif dan lebih berhasildalam relasi dengan kawan-kawan dibandingkan dengan
anak laki-laki yang matang lebih lambat (Jones, 1965). Meskipun demikian,
diusia tiga pukuhan, anak laki-laki yang matang lebih lambat ini mengembangkan
rasa identitas yang lebih kuat dibandingjan anak laki-laki yang matang lebih
awal (Peskin, 1967). Hal ini mungkin disebabkan anak laki-laki yang matang
lebih lambat lebih memiliki waktu untuk mengeksplorasi pilihan-pilihanhidup
atau anak laki-laki yang matang lebih awal terus memfokuskan pada keuntungan
yang diperoleh dari status fisiknya, bukan pada perkembangan karier dan
prestasi. Bagi perempuan kematangan yang lebih dini dan lebih lambat terkait dengan
citra tubuh. Pada siswa kelas enam, anak perempuan yang matan lebih dini tampak
; lebih puas dengan sosoknya, dibandingkan dengan yang matang lebih lambat
meskipun demikian di kelas sepuluh, anak yang matang lebih lambat tampak lebih
puas (Simmons & Blyth,1987). Salah satu penyebabnya adalah bahwa di akhir
masa remaja, anak perempuan yang matang lebih dini biasanya lebih pendek dan
gemuk. Dengan demikian, di masa remaja akhir, anak perempuan yang matang lebih
lambat ini memiliki tubuh yang lebih sesuai dengan tipe kecantikan feminine
yang ideal untuk orang Amerika- tinggi dan kurus.
3. Otak
Dengan menggunakan pemindaian otak
fMRI, para ilmuwan baru-baru ini menemukan bahwa otak remaja mengalami
perubahan struktural yang signifikan (Bava & others, 2010; Lenroot &
others, 2009). Korpus kalosum, tempat serat menghubungkan belahan otak kiri dan
kanan, menebal pada masa remaja, dan ini meningkatkan kemampuan remaja untuk
memproses informasi (Giedd, 2008). Kemajuan dalam perkembangan korteks
prefrontal — level tertinggi dari lobus frontal yang terlibat dalam penalaran,
pengambilan keputusan, dan pengendalian diri. Namun, korteks prefrontal belum
selesai sampai usia dewasa muncul, sekitar 18 sampai 25 tahun usia, atau nanti,
sedangkan amigdala — pusat emosi seperti kemarahan — matang lebih awal daripada
korteks prefrontal. Banyak perubahan dalam otak remaja yang telah dijelaskan
melibatkan bidang ilmu saraf perkembangan sosial yang berkembang pesat, yang
melibatkan hubungan antara perkembangan, otak, dan proses sosioemosional (de
Haan & Gunnar, 2009). Sebagai contoh, pertimbangkan pandangan peneliti
terkemuka Charles Nelson (2003) bahwa, meskipun remaja mampu memiliki emosi
yang sangat kuat, korteks prefrontal
mereka belum berkembang secara memadai ke titik di mana mereka dapat
mengendalikan dorongan ini. Seolah-olah otak mereka tidak memiliki rem untuk
memperlambat emosi mereka.
4. Seksualitas remaja
Sebuah penelitian terbaru
menyimpulkan bahwa remaja yang sering menonton tayangan seksual di televise
cenderung untuk memulai hubungan seksualnya lebih awaldibandingkan dengan
remaja yang sedikit menonton tayangan seksual di televise (Brown &
Strasburger, 2007). Identitas seksual remaja mencakup aktivitas, minat, gaya
perilaku dan indikasi yang mengaragh pada orientasi pada seksual (entah idividu
itu memiliki ketertarikan pada jenis kelamin yang sama atau berbeda) (Buzwell
& Rosenthal, 1996).
5. Faktor Risiko dalam Perilaku
Seksual Remaja
Banyak remaja yang tidak siap
secara emosional untuk menangani pengalaman seksual, terutama pada masa remaja
awal. Aktivitas seksual dini dikaitkan dengan perilaku berisiko seperti
penggunaan narkoba, kenakalan, dan masalah terkait sekolah (Dryfoos &
Barkin, 2006). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa penggunaan
alkohol, menarche dini, dan komunikasi orang tua-anak yang buruk terkait dengan
perilaku intim seksual dini pada anak perempuan (Hipwell & others, 2010).
Selain berhubungan seks pada masa remaja awal, faktor risiko lain masalah
seksual pada masa remaja antara lain faktor kontekstual seperti status sosial
ekonomi (SES), serta faktor keluarga / parenting, teman sebaya, dan prestasi
akademik (Dupere & others, 2008; House & lainnya, 2010). Persentase
remaja muda yang aktif secara seksual lebih tinggi di daerah berpenghasilan
rendah di dalam kota (Silver & Bauman, 2006). Lebih lanjut, memiliki
saudara lebih tua yang aktif secara seksual atau saudara perempuan remaja yang
sedang hamil / mengasuh menempatkan remaja pada risiko yang lebih tinggi untuk
kehamilan remaja (Miller, Benson, & Galbraith, 2001). Sebuah tinjauan
penelitian baru-baru ini menemukan bahwa permulaan hubungan seksual yang lebih
awal dikaitkan dengan tingkat pemantauan orang tua yang lebih rendah
(Zimmer-Gembeck & Helfand, 2008). Dalam studi lain, komunikasi ibu tentang
seks (sejauh mana ibu berbicara dengan remaja mereka tentang hubungan seksual
dan hal-hal negatif yang dapat terjadi jika seseorang hamil / dia hamil,
misalnya) dikaitkan dengan perilaku seksual yang kurang berisiko oleh remaja
Latin. (Trejos-Castillo & Vazonyi, 2009). Juga, sebuah penelitian baru-baru
ini terhadap siswa sekolah menengah mengungkapkan bahwa prestasi akademis yang
lebih baik merupakan faktor pelindung dalam mencegah anak laki-laki dan
perempuan melakukan hubungan seksual dini (Lafl in, Wang, & Barry, 2008).
6. Kesehatan remaja
Masa remaja merupakan titik kritis
dalam adopsi perilaku yang relevan dengan kesehatan (Nyaronga & Wickrama,
2009; Ozer & Irwin, 2009). Banyak perilaku yang terkait dengan kebiasaan
kesehatan yang buruk dan kematian dini pada orang dewasa dimulai pada masa
remaja. Sebaliknya, pembentukan pola perilaku sehat secara dini, seperti
olahraga teratur dan preferensi makanan rendah lemak dan kolesterol, tidak
hanya memiliki manfaat kesehatan yang langsung tetapi membantu di masa dewasa
untuk menunda atau mencegah kecacatan dan moralitas akibat penyakit jantung,
stroke, diabetes, dan kanker (Schiff, 2009). Nutrisi dan Latihan Kekhawatiran
berkembang tentang nutrisi dan olahraga remaja (Biro & lain-lain, 2010;
Frisco, 2009; Seo & Sa, 2010). Persentase kelebihan berat badan Anak usia
12 hingga 19 tahun di AS meningkat dari 11 menjadi 17 persen dari awal 1990-an
hingga 2004 (Eaton & lainnya, 2006). Sebuah studi baru-baru ini menemukan
bahwa 80 persen pria dan 92 persen remaja wanita dalam persentil ke-95 dan
lebih tinggi untuk indeks massa tubuh (BMI) menjadi orang dewasa yang mengalami
obesitas (Wang & others, 2008). Perbandingan remaja di 28 negara ditemukan
remaja AS dan Inggris lebih cenderung makan makanan yang digoreng dan cenderung
tidak makan buah-buahan dan sayuran dibandingkan remaja di sebagian besar
negara lain yang diteliti (Organisasi Kesehatan Dunia, 2000). Remaja A.S.
sedang mengurangi asupan buah dan sayuran. Survei Risiko Pemuda Nasional
menemukan bahwa siswa sekolah menengah A.S. menurunkan asupan buah dan sayuran
dari 1999 hingga 2007 (Eaton & lainnya, 2008). Para peneliti telah
menemukan bahwa individu menjadi kurang aktif saat mereka mencapai dan
berkembang melalui masa remaja (Butcher & others, 2008). Sebuah studi
nasional baru-baru ini mengungkapkan bahwa hanya 31 persen dari 15 tahun AS
memenuhi rekomendasi pemerintah federal olahraga sedang sampai berat per hari
(minimal 60 menit sehari) dan hanya 17 persen memenuhi rekomendasi pada akhir
pekan ( Nader & lainnya, 2008). Studi nasional baru-baru ini juga menemukan
bahwa remaja laki-laki lebih cenderung melakukan olahraga sedang hingga berat
daripada perempuan. Studi nasional lain terhadap remaja A.S. mengungkapkan
bahwa aktivitas fisik meningkat hingga usia 13 tahun pada anak laki-laki dan
perempuan tetapi kemudian menurun hingga usia 18 tahun (Kahn & lain-lain,
2008). Perbedaan etnis dalam tingkat partisipasi latihan remaja A.S. juga
terjadi dan tingkat ini bervariasi menurut jenis kelamin. Seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 11.9, dalam Survei Risiko Pemuda Nasional, anak laki-laki kulit
putih non-Latin paling banyak berolahraga, perempuan Afrika-Amerika paling
sedikit (Eaton & lainnya, 2008). Olahraga dikaitkan dengan sejumlah hasil
fisik yang positif pada masa remaja. Salah satu hasilnya adalah bahwa olahraga
teratur memiliki efek positif pada status berat badan remaja (van der Heijden
& others, 2010). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa olahraga
teratur dari usia 9 hingga 16 tahun dikaitkan dengan berat badan reguler pada
anak perempuan (McMurray & lainnya, 2008). Hasil positif lainnya dari
olahraga pada masa remaja adalah penurunan kadar trigliserida, tekanan darah
rendah, dan insiden diabetes tipe II yang lebih rendah (Butcher & lain-lain,
2008). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat
olahraga terkait dengan gejala depresi pada remaja muda (Sund, Larsson, &
Wichstrom, 2010). Dan studi terbaru lainnya menemukan bahwa aktivitas fisik
yang kuat dikaitkan dengan penggunaan narkoba yang lebih rendah pada remaja
(Delisle & others, 2010). Menonton televisi dan menggunakan komputer selama
berjam-jam mungkin terlibat dalam tingkat kebugaran fisik yang lebih rendah
pada masa remaja (Rey-Lopez & lain-lain, 2008). Sebagai contoh, sebuah
penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa semakin sering remaja menonton
televisi dan menggunakan komputer, semakin kecil kemungkinan mereka untuk
melakukan olahraga teratur (Chen, Liou, & Wu, 2008).
PERKEMBANGAN KOGNITIF (TEORI PIAGET)
Piaget merupakan seorang ahli psikologi kognitif yang
mengemukakan empat tahapan perkembangan kognitif individu, yaitu:
Tahap Sensori-Motor (0-2)
Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai
inteligensi praktis (practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar
berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang
ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun
merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi fundasi tipe-tipe
inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak
belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak
ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun
sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 – 24 bulan barulah kemampuan
object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.
Tahap Pra Operasional (2–7)
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna
tentang object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan
tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda
tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh
lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan
pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada
pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta pada
periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight
learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar serta
mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.
Tahap konkret-operasional (7-11)
Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan
yang disebut system of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat
untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam
pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari
karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih
ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode
ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda-benda dan
peristiwa-peristiwa yang konkret.
Tahap formal-operasional (11-dewasa)
Tahapan ini dimana remaja
lebih berpikiran secara abstak dibandingkan fase sebelumnya. Pada periode ini seorang remaja telah memiliki
kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam
kemampuan kognitif yaitu :
·
Remaja cenderung idealis dan memiliki gambaran masa depan secara ideal
serta cenderung membandingkan dirinya dengan sosok yang dianggap ideal baginya.
Pemecahan masalah melalui proses trial dan
error. Tipe pemecahan masalah
mencakup penciptaan sebuah hipotesis serta melakukan deduksi terhadap
implikasinya (penalaran hipotesis deduktif). Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam
hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan
lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
·
Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran
yang abstrak secara luas dan mendalam. Dengan menggunakan hasil pengukuran tes
inteligensi yang mencakup General Information and Verbal Analogies, Jones dan
Conrad (Abin Syamsuddin M, 2001) menunjukkan bahwa laju perkembangan
inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa remaja, setelah itu
kepesatannya berangsur menurun. Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di
penghujung masa remaja akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50
tahun, dan setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia 60 tahun
selanjutnya berangsur menurun. Dengan berpatokan kepada hasil tes IQ, Bloom
(1964) mengungkapkan prosentase taraf perkembangan kognitif individu sebagai
berikut :
Usia |
Perkembangan |
1 tahun |
Sekitar 20 % |
4 tahun |
Sekitar 50 % |
8 tahun |
Sekitar 80 % |
13 tahun |
Sekitar 92 % |
Evaluasi
Terhadap Teori Piaget
Teori Piaget mengenai tahap operasional
formal dipertanyakan oleh sejumlah peneliti (Byrnes, 2008). Penelitian mereka
menemukan lebih banyak variasi individual dari yang telah digambarkan Piaget.
Kenyataannya hanya terdapat sepertiga remaja awal yang mencapai pemikiran
operasional formal serta banyak orang dewasa Amerika yang tidak pernah menjadi
pemikir formal operasional dan demikian pula orang dewasa pada budaya-budaya
lain.
EGOSENTRISME
REMAJA
Egosentrisme tidak
hanya terjadi pada tahap perkembangan masa kanak-kanak. Ada yang disebut dengan
egosentrisme remaja yang muncul di usia 11 atau 12 tahun yaitu pada periode
transisi menuju ke dalam tahap operasional formal perkembangan kognitif dari Piaget.
Pada remaja awal, berkembang pemikiran mentah dan imatur secara sosial yang
didasarkan pada pemahaman yang tidak murni mengenai diri dan orang lain dimana
remaja memiliki fokus diri yang kuat dan perasaan kepentingan diri serta salah
memaknai pemikiran orang lain mengenai diri remaja itu sendiri (Elkind dalam
Harvey, 2012). Egosentrisme ini berbentuk imaginary
audience (penonton khayalan) dan personal
fable (dongeng pribadi).
Penonton khayalan (imaginary audience) ialah keyakinan
remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya
sendiri (Elkind dalam Beyth-Marom, Austin, Fischhoff, Palmgren, and
Jacobs-Quadrel, 1993). Gejala dari imaginary
audience ini merupakan mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan
perhatian seperti keinginan agar kehadirannya diperhatikan, semua aktivitasnya
disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian. Remaja merasa bahwa
mereka berada di atas “panggung” dan beranggapan bahwa merekalah pemeran
utamanya, sementara orang lain merupakan penontonnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa gejala imaginary audience lebih merupakan produk dari pikiran
atau hanya ada dalam pikiran remaja, dan bukan yang sebenarnya terjadi.
Dongeng pribadi (personal fable) merupakan akibat wajar
dari imaginary audience. Dengan remaja berpikir bahwa dirinya sebagai pusat
perhatian orang lain membuatnya percaya bahwa perhatian orang tersebut
merupakan karena dirinya spesial dan unik. Personal fable dicirikan oleh
ketidakmampuan untuk membayangkan bahwa diri (the self) bisa saja sama dengan
orang lain, dan menghasilkan perasaan ke-diri-an yang ekstrim (extreme individuation) (Greene, Walters,
Rubin, & Hale,1996). Personal fable merupakan perasaan unik dari seorang
remaja bahwa tidak seorangpun dapat mengerti bagaimana perasaan mereka
sebenarnya. Bahkan mendorong perilaku merusak diri (self-destructive) oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka
secara magis terlindung dari bahaya, misalnya perilaku beresiko seperti
tawuran, seks bebas, terlibat geng remaja, begal, dan lain-lain.
Pada proses
perkembangannya, biasanya egosentrisme mulai berkurang di usia 16 atau 17
tahun, atau bisa jadi di usia 15 tahun sudah berkurang. Secara umum
egosentrisme memiliki hubungan terbalik dengan usia, artinya semakin
bertambahnya usia maka egosentrisme akan semakin berkurang. Karena semakin
tumbuh remaja menuju tahap dewasa, otomatis pemikirannya juga berubah, sehingga
egosentrisme ini hilang sendiri pada perkembangan tahap dewasa (Elkind dalam
Greene, Rubin, Hale, dan Walters, 1996).
Partisipasi remaja
menurut Nadian (2006) merupakan proses aktif dan berinisiatif yang diambil oleh komunitas itu sendiri
kemudian didasari dengan penuh kesadaran dalam menggunakan sarana dan proses
untuk mengefektifkan penegasan kontrol (Rosyida dan Nasdian, 2011, p. 3).
Sumber lain menyatakan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan dan peran aktif dalam suatu
kegiatan (Barbara dan Hariastuti, 2011). Nasdian (2006) juga memaparkan titik
tolak dalam partisipasi, yaitu refleksi penuh kesadaran dari keputusan dan tindakan
(Rosyida dan Nasdian, 2011, p. 3). Lebih lanjut, Nasdian (2006) menambahkan
bahwa tujuan dari partisipasi merupakan untuk melibatkan masyarakat agar dapat
berperan aktif secara masksimal pada
kegiatankegiatan masyarakat (Rosyida dan Nasdian, 2011, p. 3). Berpartisipasi
merupakan ketika ia bersedia bertindak untuk turut serta aktif melakukan
kegiatan yang diputuskan oleh diri sendiri atas dasar tujuan tertentu. Adapun
pembagian tahapan partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1979) yakni sebagai berikut:
1.
Tahap
pengambilan keputusan. Tahap ini berwujud keikutsertaan komunitas dalam
perencanaan maupun program tertentu.
2.
Tahap
pelaksanaan. Tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap terpenting dalam
partisipasi, sebab tahap ini merupakan inti dari perubahan. Wujud nyata dari
tahap pelaksanaan yakni partisipasi yang berbentuk sumbangan materi, sumbangan
pemikiran, maupun sumbangan tindakan.
3.
Tahap
evaluasi. Tahap ini tak kalah pentingnya dengan tahap pelaksanaan. Sebab tahap
ini disebut juga sebagai umpan balik atas partisipasi komunitas tersebut. Hal
ini tentu dapat menjadi masukan demi perbaikan pelaksanaan selanjutnya.
4.
Tahap
menikmati hasil. Tahap ini merupakan indikator keberhasilan suatu partisipasi.
(Rosyida dan Nasdian, 2011, p. 3-4). Tahapan-tahapan partisipasi tersebut dapat diintegrasikan
sebagai kesatuan pengembangan diri yang dapat dijadikan ukuran tingkat
partisipasi suatu komunitas. Dalam hal ini, seseorang dapat dinyatakan
berpartisipasi apabila telah memenuhi keempat tahapan di atas, yakni mulai dari
tahap pengambilan keputusan hingga tahap menikmati hasil.
PEMROSESAN
REMAJA
Tinjauan
tentang Kegiatan Ekstrakulikuler
Kegiatan ekstrakulikuler merupakan perangkat
operasional kurikulum yang termasuk satuan pendidikan dan masih harus disusun
kedalam kalender pendidikan (Damanik, 2014). Hastuti (2011) juga menyatakan
bahwa kegiatan ekstrakulikuler merupakan kegiatan yang terselenggara demi
memenuhi tuntutan kajian pelajaran sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Berdasarkan kedua definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan
ekstrakulikuler merupakan suatu kegiatan tambahan yang diselenggarakan diluar
jam pelajaran wajib namun tetap berdasarkan satuan pendidikan dengan tujuan
meningkatkan kualitas siswa. Pendapat ini diperkuat lagi oleh pernyataan Djafri
(2008) bahwa kegiatan ekstrakulikuler merupakan aktifitas proses belajar
mengajar yang terselenggara diluar jam pelajaran namun bertujuan untuk menambah
wawasan siswa serta menumbuhkan kembali minat dan bakat untuk mengabdi kepada
masyarakat. Artinya, kegiatan ekstrakulikuler diharapkan tidak hanya bermanfaat
bagi siswa itu sendiri melainkan dapat pula menjadi sarana untuk mengabdi
kepada masyarakat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Cassel, Chow,
Demoulin, dan Reiger (2000) menyebutkan bahwa siswa SMA di seluruh Amerika
Serikat yang berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler tercatat cenderung jarang terlibat kenakalan
dan atau kejahatan. Mereka termasuk siswa panutan di sekolah maupun
dimasyarakat. Mereka yang berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler telah
terbukti jauh lebih berkualitas baik dirumah, tempat kerja ataupun dikampus
dibandingkan dengan mereka yang tidak turut berpartisipasi. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, terdapat kecenderungan yang sama, baik di dalam dan luar
negeri, bahwa kegiatan ekstrakulikuler memberi dampak positif untuk siswa yang
mengikutinya.
Hubungan
antara Partisipasi Siswa dalam Kegiatan Ekstrakulikuler
Tinjauan tentang Partisipasi Siswa dalam
Kegiatan Ekstrakurikuler Sebagaimana
telah dipaparkan sebelumnya, partisipasi yang dimaksud yakni keikutsertaan dan
peran aktif serta turut menikmati hasil dari proses evaluasi pelaksanaan
kegiatan yang telah ditentukan sendiri oleh siswa yang bersangkutan. Adapun
konteks kegiatan ekstrakulikuler dalam kegiatan ini yakni seluruh rangkaian
kegiatan terprogram yang terselenggara diluar jam pelajaran wajib dengan tujuan
memberi wadah bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka guna
meningkatkan kualitas diri. Lingkup partisipasi siswa dalam kegiatan
ekstrakulikuler akan difokuskan pada beberapa hal berikut:
1. Mengambil keputusan untuk memilih kegiatan
ekstrakulikuler yang mereka minati.
2. Melaksanaan program-program kegiatan
ekstrakulikuler yang mereka minati, dengan cara turut memberikan sumbangan baik
berupa materi, pemikiran maupun tindakan.
3. Mengevaluasi kembali program-program
ekstrakulikuler yang telah dilaksanakan.
4. Menikmati hasil dari rangkaian proses yang
telah ditempuh.
SOSIOEMOSIONAL REMAJA
Sosioemosional
berasal dari kata sosial dan emosi. Perkembangan sosial adalah pencapaian
kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Dapat juga diartikan
sebagai proses untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi,
dan moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi
tingkah laku individu. Emosi dibedakan menjadi dua, yakni emosi positif dan
emosi negatif. Emosi positif seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat,
atau rasa ingin tahu yang tinggi. Emosi negatif seperti perasaan tidak senang,
kecewa, tidak bergairah, individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk
belajar. Jadi, perkembangan Sosioemosional
pada remaja adalah kemampuan remajauntuk mengelola emosi dirinya dengan
orang lain yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia serta
kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain sehingga ia bisa
berinteraksi dengan baik dengan teman-teman sebaya, orang tua atau dengan orang
dewasa di lingkungan sekitarnya. Masa
remaja merupakan masa-masa yang sangat berwarna bagi seseorang. Dalam tahapan
ini, seorang remaja memiliki kecenderungan untuk mencari hal-hal baru dalam
rangka mencari jati dirinya. Remaja akan berusaha mencari tahu segala hal yang
ada di dalam dirinya dan hal-hal yang ada di lingkungan luar. Pada masa remaja emosi tidak stabil, masa remaja
adalah masa goncang yang terkenal dengan berkecamuknya perubahan-perubahan
emosional. Perubahan-perubahan emosional pada remaja di pengaruhi oleh
faktor-faktor dari dalam individu itu sendiri dan faktor dari
lingkungan.Perkembangan emosi remaja merupakan suatu proses menuju
kedewasaan. Perbedaan perkembangan emosi pada anak-anak dan remaja
terletak pada ungkapan emosi mereka. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya
dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak melainkan dengan cara menggerutu,
tidak mau berbicara atau secara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan
amarahnya.
Salah satu tugas perkembangan masa remaja
yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Dalam hal ini,
teman sebaya memberikan pengaruh yang besardalam perkembangan remaja tersebut.
Karena pada usia remaja, remaja cenderung menghabiskan waktu bersama teman
sebayanya. Perkembangan sosial remaja sangat penting bagi kehidupan remaja
selanjutnya.Perkembangan sosial mempengaruhi remaja dalam hubungan sosialnya
dengan teman sebaya dan orang tua dan yang paling essensial dari perkembangan
sosial remaja adalah pencarian identitas atau jati diri. Apabila perkembangan
sosial tidak mengalami kesuksesan maka remaja tidak akan dapat menyelesaikan
tugas-tugas perkembangan sosialnya dengan baik, sehingga pada masa dewasa akan
mengalami kesulitan dalam kehidupan sosialnya.
Peran orang tua dan guru menjadi sangat
penting dalam membantu perkembangan sosioemosional remaja, agar remaja
tidak terjerumus ke dalam lingkungan sosial yang menyimpang dan emosinya mengarah pada emosi yang positif.
Sehingga siswa diharapkan memiliki kecerdasan emosi dan mampu berinteraksi
dalam lingkungan sosial yang nantinya akan sangat berperan terhadap
keberhasilan seseorang dalam segala aspek kehidupan.
SELF
ESTEEM
Penghargaan diri atau self-esteem adalah
keseluruhan cara yang kita pergunakan untuk mengevaluasi diri kita. Berdasarkan
hasil sebuah studi diketahui bahwa baik laku-laki maupun perempuan memiliki
penghargaan diri yang tinggi pada masa kanak-kanak, meskipun demikian, harga
diri mereka cenderung lebih turun secara drastic pada masa remaja (Robins dkk.,
2002). Menurut hasil studi ini, di masa remaja, penurunan penghargaan diri pada
anak perempuan lebih besar daripada anak laki-laki. Menurut penelitian
Trzesniewski padah tahun 2006, orang dewasa yang dicirikan oleh kesehatan disik
dan mental yang rendah, prospek ekonomi yang buruh, dan tingkat perilaku
kriminal yang tinggi cenderung memiliki rasa penghargaan diri yang rendah
ketika remaja dibandingkan orang dewasa yang lebih kompeten dan berhasil
menyesuaikan diri. Penghargaan diri remaja perempuan cenderung menurun karena
di masa pubertas remaja perempuan memilik pencitraan tubuh yang negative.
Penghargaan diri mencerminkan persepsi yang ridak selalu sesuai dengan
realitasnya. Penghargaan diri yang tinggi dapat mengacu pada persepsi yang
akurat mengenai nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan
pencapaian seseorang tersebut, namun juga dapat mengindikasikan kesombongan dan
merasa superior dari yang lain. Namun penghargaan diri yang rendah dapat
mengakibatkan ketidakamanan patologis dan rasa interior.
Aspek-aspek
self esteem
Coopersmith (1967) menyebutkan terdapat empat
aspek penghargaan diri. Aspek-aspek tersebut yaitu power, significance, virtue,
dan competence.
a. Kekuatan
Kekuatan atau power menunjukan pada adanya kemampuan
seseorang untuk dapat mengatur dan mengontrol tingkah laku dan mendapat
pengakuan atas tingkah laku tersebut dan orang lain. Kekuatan dinyatakan dengan
pengakuan dan penghormatan yang diterima seorang individu dari orang lain dan
adanya kualitas atas pendapat yang diutarakan oleh seorang individu yang
nantinya diakui oleh orang lain.
b. Keberartian
Keberartian atau significance menunjukan pada
kepedulian, perhatian, afeksi dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang
dari orang lain yang menunjukan adanya penerimaan dan popularitas individu dari
lingkungan sosial.
c. Kebajikan
Kebajikan atau virtue menunjukan suatu
ketaatan untuk mengikuti standard moral dan etika serta agama dimana individu
akan menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang
diizinkan oleh moral, etika dan agama.
d. Kemampuan
Kemampuan atau competence menunjukan suatu performasi
yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai prestasi (need of
achievement) dimana tugas-tugas tersebut tergantung pada variasi usia
seseorang. Self esteem pada masa remaja meningkat menjadi lebih tinggi bila
remaja tahu apa tugasnya yang penting untuk mencapai tujuannya, dan karena
mereka telah melakukan tugasnya tersebut atau tugas lain yang serupa. Para
peneliti juga menemukan bahwa penghargaan diri pada remaja dapat meningkatkan
saat remaja menghadapi masalah dan mampu menghadapinya (Santrock, 2003).
IDENTITY
Identitas adalah potret diri yang tersusun
dari berbagai aspek, yang mencakup:
a.
Jejak
karir dan pekerjaan yang ingin diritis seseorang
b.
Apakah
seseorang itu konservatif, liberal, atau berada di antara keduanya
c.
Keyakinan
spiritual seseorang
d.
Apakah
seseorang itu lajang, menikah, bercerai, dan seterusnya
e.
Sejauh
mana seseorang termotivasi untuk berprestasi dan intelektualnya
Seorang remaja akan mengalami proses pencarian status
identitas diri. Terdapat dua orang tokoh yang akan dibahas mengenai
status identitas diri, yaitu Erik H. Erikson dan James Marcia. Erikson adalah
tokoh pertama yang memahami betapa pentingnya pertanyaan-pertanyaan mengenai
identitas untuk memahami perkembangan remaja. Erikson (dalam Santrock, 2012:438)
menggambarkan tahap perkembangan sosioemosional yang dialami remaja adalah
tahap kelima yaitu identitas versus kebingungan identitas (identity
versus identity confusion). Pada tahap ini remaja mencoba
mengembangkan pemahaman diri yang sesuai dengan identitas dirinya, termasuk
peran yang akan dijalani di masyarakat. Remaja
yang berhasil mengatasi konflik identitas akan tumbuh dengan penghayatan
mengenai diri yang baik dan dapat diterima. Menurut Erikson (dalam Santrock
2012:438) menyatkan bahwa remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas
menderita apa yang disebut sebagai kebingungan identitas. Kebinggungan ini
dapat menggejala ke dalam dua bentuk: menarik diri, mengisolasi diri dari kawan
sebaya dan keluarga, atau mereka meleburkan diri ke dalam dunia kawan sebaya
dan kehilangan identitasnya ditengah pergaulanyya. Status identitas diri yang
dikemukakan Marcia dipengaruhi oleh teori Erikson. Marcia (dalam Santrock,
2012:439) menggunakan krisis dan komitmen untuk mengklasifikasikan seseorang
menjadi empat tahap status identitas, yaitu (a) identity
diffusion, (b) identity foreclosure, (c) identity
moratorium, dan (d) identity achievement. Pertama, identity
diffusion adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk mengarah pada
keadaan remaja yang belum mengeksplorasi pilihannya, tidak membuat komitmen apa
pun, atau seorang remaja yang dapat dikatakan masih dalam tahap kebingungan. Kedua, identity
foreclosure adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk mengarah
pada keadaan remaja yang telah membuat komitmen, namun ia belum mendapat
kesempatan untuk bereksplorasi dalam berbagai pendekatan, karena komitmen
tersebut adalah dorongan dari orangtuanya yang biasanya bersifat otoriter
(Santrock, 20012:439). Ketiga, identity
moratorium merupakan istilah yang mengarah pada keadaan remaja yang
berada dipertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap
pilihan untuk menentukan identitas dirinya. Menurut Marcia (dikutip dalam
Santrock, 2012:439) “Banyak mahasiswa berada dalam status moratorium berkaitan
dengan pemilihan bidang studi atau karir”. Keempat, identity
achievement merupakan istilah yang mengarah pada keadaan remaja yang
sudah mengatasi krisis identitas, serta membuat komitmen (Santrock, 20012:439).
SPIRITUAL
DEVELOPMENT
Masalah keyakinan penting bagi kebanyakan
remaja, namun pada abad ke-21, terjadi tren penurunan keyakinan pada
remaja. Pryor, dkk (dalam Santrock 2012:441) mengatakan bahwa dalam sebuah
studi nasional terhadap remaja Amerika pada tahun 2007, sebanayak 78 persen
mengatakan mereka mendatangi tempat ibadah secara teratur atau saat tertentu
selama tahun terakhir di sekolah menengah atas, dari sebelumnya 85 persen pada
tahun 1997. KKoenig, McGue, & Iacono (dalam Santrock 2012:441) mengungkapkan
bahwa keyakinan remaja AS menurun dari usia 14 ke 20 tahun. Analisis World
Values Survey terhadap remaja usia 18 hingga 24 tahun mengungkapkan bahwa orang
yang beranjak dewasa di negara kurang berkembang lebih relegius daripada di
negara maju (dalam Santrock 2012:441). Agama sebagai bagian dari pencarian
identitas mereka, remaja dan dewasa awal mulai bergulat dengan cara berpikir
logis dan rumit.Remaja lebih berpikir secara abstrak, idealistik, dan logis
dibandingkan anak-anak. Peningkatan cara berpikir abstrak menjadikan remaja
mempertimbangkan berbagai gagasan tentang konsep relegius dan spiritual. Agama
memberikan dampak kepada remaja. Peran Positif Agama dalam Kehidupan
Remaja.Cotton, dkk (dalam Santrock 2012:442) mengatakan bahwa “agama juga
berperan dalam kesehatan remaja dan masalah perilaku mereka”. Contohnya remaja
yang religius , mereka akan menghindari mengkonsumsi narkoba, minuman
beralkohol, melakukan kenakalan remaja yang menurut mereka berdosa atau
merugikan jika dilakukan.
HUBUNGAN PARENT-ADOLESCENT
a. Pengawasan
Orang Tua
Menurut Gauvain & Parke (dalam Santrock 2012:443).
Aspek kunci dari peran manajerial parenting di masa remaja adalah secara
efektif mengawasi perkembangan remaja. Pengawasan mencangkup mengawasi pilihan
remaja seperti aktivitas, teman-temannya, serta pendidikan mereka. Kurangnya
pengawasan orang tua cenderung berakibat timbulnya kenakalan remaja.
b. Otonomi
dan Kelekatan
Pada permulaan remaja, rata-rata individu tidak memiliki
pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat atau matang di semua bidang
kehidupan. Ketika remaja didorong untuk meraih otonomi, orang dewasa yang
bijaksana akan mengurangi kendali dalam
bidang-bidang di mana remaja dapat mengambil keputusan yang masuk akal. Orang
dewasa tetap membimbing mereka untuk mengambil keputusan di bidang-bidang
dimana pengetahuan remaja masih terbatas. Secara bertahap, remaja memperoleh
kemampuan untuk mengambil keputusan yang matang secara mandiri. Menurut
Steinberg dan Lerner (dalam Dewi & Valentina, 2013:182) “Kemandirian
merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri dan
merupakan bagian dari pencapaian otonomi diri pada remaja”.Nguyen (dalam Dewi
& Valentina, 2013:182) “Proses perkembangan kemandirian memiliki dampak
pada kehidupan remaja termasuk proses perubahan hubungan orangtua anak.”
Perbedaan gender turut memberi ciri pada perolehan otonomi. Remaja laki-laki
lebih dibiarkan mandiri dibandingkan remaja perempuan. Hair, dkk (dalam
Santrock, 2012:444) berpendapat bahwa meskipun remaja beranjak kearah
kemandirian, mereka masih perlu menjalin relasi dengan keluarganya. Orangtua
terkadang masih ingin memegang kendali atas kehidupan anak sepenuhnya padahal
di satu sisi remaja ingin mendapat kebebasan untuk dapat menjadi pribadi yang
lebih mandiri dan bertanggung jawab. Ainsworth (dalam Dewi & Valentina,
2013:183), kelekatan memberi sumbangan terhadap perkembangan manusia sepanjang
hidupnya melalui dukungan emosional dan rasa kedekatan, dalam hal ini adalah
dari orangtua terhadap remaja. Jadi ketika remaja belajar untuk menjalin
hubungan dengan orang diluar keluarganya, dukungan dari keluarga akan
memampukan remaja untuk lebih percaya diri dan terbuka terhadap orang lain.
c. Konflik
Orang Tua-Remaja
Remaja juga masih merupakan bagian dari sebuah keluarga.
Sistem dalam keluarga membantu dan membentuk remaja untuk lebih memahami siapa
dirinya. Allen (dalam Santrock, 2012:445) menyebutkan orangtua memainkan
peranan penting dalam perkembangan remaja. Konflik yang terjadi sehari-hari
antara orangtua dan remaja menjadi sebuah ciri hubungan yang positif, saat
perselisihan kecil dan negosiasi yang terjadi dapat memfasilitasi transisi dari
remaja yang bergantung pada orangtua menjadi individu yang mandiri. Sullivan,
1980 (dalam Santrock, 2012:445) mengatakan bahwa konflik dengan orang tua
sering kali meningkat diremaja awal, kemudian menurun ketika remaja mencapai
usia 17 hingga 20 tahun. Relasi orang tua dengan anak remajanya menjadi lebi
positif ketika remaja meninggalkan rumah untuk berkuliah dibandingkan jika
mereka masih tinggal di rumah bersama orang tua. Hubungan orangtua-remaja
diungkapkan oleh Santrock (2012:445-446) dalam bentuk model lama dan model
baru. Model lama menunjukkan ketika beranjak dewasa, remaja memisahkan diri
dari orangtua dan masuk ke dunia kemandirian yang terpisah dari orangtua.
Selain itu, model lama juga menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara
orangtua-remaja sangat kuat dan penuh tekanan. Berbeda dengan model lama, model
baru menekankan bahwa orangtua menjadi figur lekat yang penting dan sebagai
sistem pendukung saat remaja mengeksplorasi dunia sosial yang lebih luas dan
kompleks. Dukungan dari orangtua dapat dirasakan bila remaja memiliki hubungan
emosional yang kuat dengan orangtua. Hubungan emosional tentu tidak terbentuk begitu
saja melainkan sudah terbentuk dari awal masa bayi yang terjadi antara anak
dengan pengasuhnya atau figur lekatnya.
Hubungan dengan Teman
Sebaya di Masa Remaja.
a. Persahabatan
Di awal masa remaja, remaja biasanya memilih untuk
memiliki beberapa sahabat yang lebih intens dan akrab dibandingkan anak-anak
kecil. Sullivan (dalam santrock, 2012:446) berpendapat bahwa sahabat menjadi
sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial. Kebutuhan akan intimasi
meningkat di masa remaja awal, dan memotivasi remaja untuk mencari
sahabat. Jika remaja gagal untuk menempa
persahabatan yang akrab, mereka akan mengalami kesepian dan penghayatan akan
martabat dirinya juga akan menurun. Persahabatan dengan teman sebaya pada masa
remaja juga telah dipelajari berdasar klik dan pertemanan akrab yang merupakan
tempat remaja menghubungkan diri (Berber, Eccles & Stone, 2001, dalam Slavin,
2011).
b. Kelompok
Kawan Sebaya
Menurut Rice & Dolgin (dalam Santoso, 2011:52)
mengatakan bahwa pada masa ini terjadi perubahan besar pada kelompok primer
mereka dengan semakin besarnya pengaruh teman sebaya terhadap kehidupan remaja
yang berakibat padamakin banyaknya waktu dan kegiatan yang dipergunakan untuk
melaksanakan kebutuhansosial mereka.
Tekanan dari kawan sebaya dibandingkan anak-anak, remaja
awal lebih banyak menyesuaikan diri terhadap standar kawan sebayanya. Mitchell
prinstein dan koleganya (dalam santrock, 2012:448) mengungkapkan bahwa remaja
yang tidak yakin akan status sosialnya, cenderung lebih menyesuaikan diri
dengan kawan sebayanya. Kawan sebayalebih menyesuaikan diri ketika ada
seseorang yang menurut mereka statusnya lebih tinggi.
c. Pacaran
dan Relasi Romantis
Pediatri (2010) mengatakan bahwa Adolesen (remaja)
merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini
berbagai perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun
sosial. Maturasi seksual terjadi melalui tahapan-tahapan yang teratur yang
akhirnya mengantarkan anak siap dengan fungsi fertilitasnya, laki-laki dewasa
dengan spermatogenesis, sedangkan anak perempuan dengan ovulasi. Di samping
itu, juga terjadi perubahan psikososial anak baik dalam tingkah laku, hubungan
dengan lingkungan serta ketertarikan dengan lawan jenis. Perubahan-perubahan
tersebut juga dapat menyebabkan hubungan antara orangtua dengan remaja menjadi
sulit apabila orangtua tidak memahami proses yang terjadi.
Menurut Garrison (dalam Sunarto & Hartono, 2006:207)
mengatakan bahwa seorang remaja akan mengalami “jatuh cinta” di dalam masa kehidupannya setelah mencapai belasan
tahun. Gejala perilaku setiap orang yang jatuh cinta tidak selalu sama dan
mungkin seorang remaja telah mulai mempelajari peran seksual lebih baik
disbanding dengan remaja lain, dan sebaliknya terdapat remaja yang belum
mengetahui mengenai peran seksual yang sebenarnya.
Ada tiga tahapan mencirikan perkembangan relasi romantis
di masa remaja menurut Connolly & McIsaac (dalam Santrock, 2012:449).
1.
Mulai memasuki afiliasi dan atraksi romantis
pada usia 11 hingga 13 tahun. Tahap awal ini dipicu oleh
pubertas. Pada usia ini, remaja menjadi sangat tertarik pada keromantisan.
Remaja muda mungkin atau mungkin tidak berinteraksi dengan individu yang
disukainya tersebut. Namun ketika kencan terjadi, biasanya berlangsung dalam
setting kelompok.
2.
Mengeksplorasi relasi romantis pada usia 14
hingga 16 tahun. Pada tahap ini terjadi dua jenis
keterlibatan romantis pada remaja: a) Casual dating , terjadi di antara
individu yang saling tertarik, terjadi hanya beberapa bulan atau minggu saja,
dan b) Dating in groups, biasa terjadi dan mencerminkan keterkaitan
dalam konteks kawansebaya. Sahabat seringkali berperan sebagai fasilitator
dalam sebuah relasi romantis.
3.
Mengonsolidasi keterikatan romantis dyadik
pada usia sekitar 17 hingga 19 tahun. Pada akhir masa sekolah
menengah atas, terbentuk relasi romantis yang semakinserius. Relasi ini
ditandai dengan ikatan emosi yang kuat seperti pada orang dewasa. Ikatan emosi
ini lebih stabil dan tahan lama dibandingkan ikatan sebelumnya, dan biasanya
berlangsung satu tahun atau lebih.
Para
peneliti telah mengaitkan remaja dan relasi romantis dengan berbagai ukuran
tentangseberapa baikkah remaja yang dapat menyesuaikan diri). Sebagai contoh,
sebuah penilitian terbaru terhadap 200 siswakelas 10 mengungkap bahwa semakin
romantis pengalaman yang mereka miliki, semakintinggi tingkat penerimaan
sosial, kompetensi persahabatan, dan kompetensi romantis; namun demikian, hal
ini juga terkait dengan tingkat penyalahgunaan obat terlarang yang tinggi,
kenakalan remaja, dan perilaku seksual, menurut Furman, Loww, & Ho (dalam
Santrock, 2012:451).
Kenakalan
Remaja
John W. Santrock mendefinisikan, kenakalan remaja
(Juvenile Delinquency) mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai
dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak
berlebihan disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga
tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Menurut Kartini Kartono, Juvenile
Delinquency adalah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan atau kenakalan
anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak
dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
itu mengembangakan tingkah laku yang menyimpang. Wright membagi jenis kenakalan remaja dalam beberapa keadaan
(Bisri, 1995):
1.
Neurotic Deliquency.
Remaja bersifat pemalu, terlalu perasa, suka
menyendiri, gelisah dan mempunyai perasaan rendah diri. Mereka mempunyai
dorongan yang kuat untuk berbuat suatu kenakalan seperti : mencuri sendirian,
melakukan tindakan agresif secara tiba – tiba tanpa alasan karena dikuasai oleh
fantasinya sendiri.
2.
Unsocialed Deliquency
Unsocilaed Delinquency, suatu sikap yang suka
melawan kekuasaan seseorang, rasa bermusuhan dan pendendam.
3.
Pseudo Social Delinquency
Pseudo Social Delinquency, remaja atau pemuda
yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap kelompok atau gang sehingga sikapnya
tampak patuh, setia dan kesetiakawanan yang baik. Jika melakukan perilaku
kenakalan bukan atas kesadaran diri sendiri yang baik tetapi karena didasari
anggapan bahwa ia harus melaksanakan sesuatu kewajiban kelompok yang
digariskan.
DAFTAR PUSTAKA
Dush, C. M., Cohan, C. L., & Amato, P. R. (2003). The
Relationship Between Cohabitation and Marital Quality and Stability: Change
Across Cohorts. Journal of Marriage and Family , 539.
Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Theories of Personality.
New York: Mc Graw Hill.
Leiner, A. S., Kearns, M. C., Jackson, J. L., & Rotbaum, M.
C. (2012). Avoidant Coping and Treatment Outcome in Rape Related Posttraumatic
Stress Disorder. Journal of Consulting and Clinical Psychology , DOI:
10.1037/a0026814.
M.Shinton, M., & L.Birch, L. (2006). Individual and
Socialkultural Influences on Pre-Adolescent Girls’ Appearance Schemas and Body
Dissatisfaction. Journal of young and Adolescence , 66-175.
santrock, J. W. (2002). A Topical Approach to Life Span
Development. New York: Mc Graww Hill.
Santrock, J. W. (2003). Adolencence. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. (2011). Educational
psychology (5th ed.). New York: McGraw-Hill.
Santrock, J. (2014). Educational
psychology (6th ed.). New York: McGraw-Hill.
Thompson, E. M., & Morgan, E. M. (2008). “Mostly Straight”
Young Women: Variations in Sexual Behavior and identity Development.
Developmental Psychology , Vol. 44, No. 1, 15–21.
Comments
Post a Comment