MAKALAH PENGARUH PSYCHOLOGICAL WELL BEING TERHADAP KECEMASAN AKAN KEMATIAN PADA LANSIA ( PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT)
MAKALAH PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT
PENGARUH PSYCHOLOGICAL
WELL BEING TERHADAP
KECEMASAN AKAN KEMATIAN PADA LANSIA
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL |
i |
KATA PENGANTAR |
ii |
DAFTAR ISI |
iii |
BAB I PENDAHULUAN |
|
1.1 Latar
Belakang |
1 |
1.2 Rumusan
Masalah |
2 |
1.3 Tujuan
Penulisan |
2 |
BAB II PEMBAHASAN |
|
2.1 Pengertian
Lansia |
3 |
2.2 Kecemasan
akan Kematian |
4 |
2.3 Pengertian
Psychological Well Being |
5 |
2.4 Dimensi
Psychological Well Being |
6 |
2.5 Psychological Well
Being pada Lansia |
7 |
2.6 Psychological Well
Being terhadap Kecemasan akan Kematian |
8 |
BAB III PENUTUP |
|
3.1 Kesimpulan |
11 |
3.2 Saran |
11 |
DAFTAR PUSTAKA |
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Perubahan
merupakan proses alamiah dalam kehidupan yang tidak bisa dihindari. Ada
perubahan yang pasti terjadi pada manusia, yaitu proses tumbuh dan berkembang.
Diawali dengan kelahiran atau bayi, kemudian menjadi anak-anak, tumbuh menjadi
remaja, berkembang menjadi orang dewasa, sampai memasuki fase lanjut usia atau
lansia. Lansia merupakan fase perkembangan terakhir dalam masa hidup manusia.
Setiap tahun, populasi lansia di Indonesia semakin bertambah. Data Kementrian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menunjukkan bahwa jumlah lansia
bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, jumlah lansia (umur 65-70
tahun) sebesar 14,4 juta jiwa dan meningkat menjadi 23,9 juta jiwa dalam kurun
waktu 10 tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa populasi lansia
(umur 60 tahun keatas) di Indonesia pada awal abad ke-21 sekitar 15 juta orang
dan diproyeksikan pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 7,2% (Harapan et al.,
2014).
1
Peningkatan jumlah lansia ini dapat
menimbulkan banyak permasalahan bagi negara, seperti masalah ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Sementara itu, proses penuaan bagi lansia juga dapat
menimbulkan masalah, seperti penurunan kondisi fisik, psikologi, dan sosial.
Penurunan kondisi fisik akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikologi
lansia. Hal ini juga berpotensi menimbulkan kecemasan, depresi, kesepian, post power syndrome, hingga kematian.
Menurut Darmojo & Martono (2004), kecemasan adalah suatu perasaan tidak
menyenangkan yang diikuti oleh reaksi fisik akan adanya ancaman yang mengikuti.
Sementara kecemasan kematian (death
anxienty), menurut Templer (2006) merupakan kondisi psikologis yang
melibatkan pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan akibat terlalu sering
memikirkan tentang kematian. Perasaan ini cenderung memberikan pengaruh negatif
terhadap kondisi kesehatan lansia. Apabila kondisi ini tidak segera teratasi,
maka lansia tidak akan mengalami kesejahteraan psikologis (Psychological Well Being).
Psychological well being
didefinisikan sebagai hasil evaluasi atau penilaian individu terhadap diri
sendiri yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan harapan. Psychological well being juga digunakan
untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan fungsi
psikologis positif (Ryff, 1989). Beberapa hal penting dalam psychological well being adalah
penerimaan terhadap diri sendiri, penguasaan lingkungan, hubungan positif
dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, serta perasaan untuk tumbuh dan
berkembang. Psychological well being
memiliki dua komponen yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Kedua
komponen tersebut bersifat independen yang artinya seseorang dapat memiliki
komponen kongitif yang tinggi dan komponen afektif yang rendah atau sebaliknya.
Seseorang dikatakan mempunyai psychological
well being ketika afek positif jauh lebih tinggi daripada afek negatif.
Secara teoritis, lansia yang mempunyai perasaan psychological well being akan mendapatkan kepuasan hidup / successful aging (Kaloeti &
Hartati, 2017).
1.2
Rumusan
Masalah
Ada
beberapa rumusan masalah yang akan menjadi topik pembahasan dalam makalah ini,
yakni :
1. Apa
pengertian dan ciri-ciri lansia?
2. Bagaimana
penjelasan mengenai kecemasan akan kematian ?
3. Apa
pengertian dari psychological well being ?
4. Apa
saja dimensi dan faktor yang mempengaruhi
psychological well being ?
5. Bagaimana
cara lansia mendapatkan psychological
well being ?
6. Bagaimana
psychological well being dapat
mengatasi kecemasan akan kematian pada lansia ?
1.3
Tujuan
Penulisan
2
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk
mempelajari tentang pengaruh psychological
well being terhadap kecemasan akan kematian pada lansia. Selain itu, juga
untuk memberikan informasi mengenai pentingnya psychological well being bagi semua kalangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Lansia
Setiap manusia pasti mengalami proses pertumbuhan. Dalam proses
pertumbuhan ini ada fase menua yang didefinisikan sebagai proses berkurangnya kemampuan
manusia untuk mempertahankan hidup dan atau proses kemunduran yang terjadi
dalam tahap-tahap akhir kehidupan yang akhirnya mengakibatkan kematian. Orang pada fase menua ini disebut lanjut
usia atau lansia. Menurut Feist & Feist (2012), lansia adalah
seseorang yang memiliki usia 60 tahun atau lebih sampai akhir kehidupan. Dalam perspektif
perkembangan, lansia akan mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan yang
pernah dimiliki. Lansia juga mengalami beberapa perubahan fisik
seperti memutihnya rambut, munculnya kerutan di wajah, berkurangnya
ketajaman
penglihatan dan daya ingat yang menurun. Selain penurunan kemampuan dan
perubahan fisik, lansia juga dapat mengalami beberapa masalah kesehatan baik
fisik maupun psikologis (Wong, 2008).
Feist
& Feist (2012) menuturkan bahwa lansia merupakan tahap kedelapan dan tahap
terakhir dari masa perkembangan. Masing-masing tahap memiliki perkembangan
sosioemosi, tidak terkecuali tahap perkembangan lansia. Santrock (2012)
berpendapat bahwa lansia dapat menjadi masa kesenangan dan keriangan, namun
juga dapat menjadi masa kepikunan, depresi serta keputusasaan. Menurut Azizah
(2011), lansia kerap mengalami masalah sosial, berupa keterasingan
dari masyarakat karena penurunan fungsi fisik yang dialami,
misalnya
berkurangnya kepekaan pendengaran, maupun cara bicara yang kadang
sudah tidak
dapat dimengerti. Para lansia juga menghadapi masalah psikologis,
yaitu munculnya
kecemasan dalam menghadapi kematian.
3
Kecemasan akan
kematian ditandai oleh perasaan takut terhadap perpisahan, kesendirian,
ketidakberdayaan, dan kehilangan (Kaloeti & Hartati, 2017). Salah satu
faktor yang mempengaruhi adanya kecemasan akan kematian adalah usia. Kelompok
usia dewasa memiliki tingkat kecemasan akan kematian yang lebih tinggi
dibandingkan usia anak-anak atau remaja. Bryant (2003) memberikan pandangan
bahwa lansia adalah kelompok yang memiliki tingkat kecemasan akan kematian
paling tinggi. Bagi kalangan lansia, kematian merupakan sebuah fakta dalam
kehidupan yang sudah ada di depan mata. Lansia yang memiliki dukungan emosional
dan pengertian dari lingkungan sosial akan
mengurangi kecemasannya
dalam menghadapi kematian. Kondisi ini akan membantu lansia untuk dapat
mengembangkan pandangan
positif, sehingga hidupnya terasa nyaman, damai, dan bahagia.
2.2
Kecemasan
akan Kematian
Kecemasan
adalah suatu perasaan tidak menyenangkan yang diikuti oleh reaksi fisik akan
adanya ancaman yang mengikuti (Feist & Feist, 2012). Sementara kecemasan
kematian (death anxienty) menurut
Templer (2006), merupakan kondisi psikologis yang melibatkan pikiran dan perasaan
yang tidak menyenangkan karena sering memikirkan tentang kematian dan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Perasaan-perasaan ini cenderung memberikan
pengaruh negatif terhadap kondisi kesehatan lansia. Carpenito & Moyet
(2008) pun mendefinisikan kecemasan kematian sebagai perasaan gelisah, tidak
nyaman, dan ketakutan yang dihasilkan oleh presepsi tentang acaman terhadap
keberadaan seseorang baik nyata ataupun imajinasi. Sementara Firestone &
Catlett (2009) berpendapat bahwa kecemasan kematian merupakan fenomena yang
kompleks meliputi berbagai proses berpikir dan emosi. Fenomena tersebut
meliputi, ketakutan akan kematian, perasaan kesendirian, perpisahan, kesedihan
tentang akhir dari diri, serta kemarahan dan perasaan putus asa tentang situasi
yang tidak dapat dikendalikan.
4
Kematian merupakan
penghentian secara permanen semua fungsi tubuh yang vital atau disebut juga
sebagai akhir dari kehidupan manusia (Stanley & Beare, 2007). Kecemasan
dalam menghadapi kematian akan semakin membuat para lansia tidak
siap dalam menghadapi kematian. Naftali
et al. (2017) mengatakan bahwa tingkat kecemasan akan kematian dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya usia, jenis kelamin, kesehatan fisik, kepribadian,
dan agama. Sedangkan Bryant (2003) menyebutkan tiga
komponen kecemasan terhadap kematian (death anxienty), meliputi :
1. Komponen
intrapersonal ; berhubungan
dengan pengaruh yang ditimbulkan terhadap tubuh
dan pikiran,
seperti kecemasan akan pemenuhan kebutuhan dan tujuan pribadi.
2. Komponen
interpersonal ; berhubungan
dengan efek kecemasan terhadap hubungan
interpersonal individu.
3.
Komponen transpersonal ; berhubungan
dengan kecemasan
akan hukuman dan situasi di akhirat (kehidupan setelah kematian).
Apabila
kondisi kecemasan akan kematian ini tidak segera teratasi, maka lansia tidak
akan mengalami kesejahteraan psikologis (Psychological
Well Being). Lansia yang berhasil mengatasi kecemasan kematian akan
mencapai kepuasan hidup dan successful
aging (Kaloeti
& Hartati, 2017).
2.3
Pengertian
Psychological Well Being
Secara
harfiah, well being berarti
kesejahteraan. Bradburn (1969), mengartikan well
being sebagai dimensi yang bergantung pada afeksi positif dan negatif
seseorang. Jika seseorang memiliki afeksi positif, maka kehidupannya akan
sejahtera, begitupun sebaliknya. Sedangkan menurut Kashdan (2003), well being didefinisikan sebagai satu
kesatuan harapan afeksi dan kognitif mengenai kehidupan seseorang. Psychological well being adalah salah
satu jenis dari well being, disamping
subjective well being. Psychological well being memiliki
perbedaan dengan subjective well being,
salah satunya psychological well being
lebih menekankan unsur-unsur eudaimonic
happiness daripada hedonic happiness
(Wood, 2008).
5
Psychological
well being adalah suatu keadaan individu yang
mampu membentuk hubungan sosial yang baik, mampu menerima keadaan dirinya,
mampu mengontrol lingkungan serta memiliki tujuan hidup dan dapat mengembangkan
bakat serta kemampuan untuk mengembangkan dirinya (Setiawan & Budiningsih,
2014). Menurut Haryanto & Suyasa (2007) psychological
well being adalah suatu reaksi dari hasil evaluasi individu mengenai
kenyamanan hidupnya. Ryff (1995) mengatakan, psychological well being adalah suatu konsep yang terbentuk dari
berbagai pengalaman dan fungsi-fungsi individu sebagai manusia yang utuh.
Sehingga psychological well being
dapat diartikan secara singkat sebagai kesejahteraan psikologis. Apabila
individu dapat menerima atau memandang kehidupan masa lalunya lebih positif
maka individu tersebut mendapatkan makna hidup yang lebih positif. Pentingnya
memiliki psychological well being
karena nilai positif dari kesehatan mental yang terdapat di dalamnya membuat
individu dapat mengevaluasi apa yang hilang dalam hidupnya (Sin, 2006).
2.4
Dimensi Psychological
Well Being
Psychological
well being memiliki kaitan dengan kesehatan mental
seseorang. Orang yang memiliki psychological
well being cenderung memiliki mental yang sehat pula. Hal ini didukung oleh
pernyataan Papalia et al. (2009) yang mengatakan bahwa kesehatan mental yang
positif dipengaruhi oleh kesejahteraan dimana saling berhubungan antara
kesehatan (healthy sense) dan diri (self). Terdapat 6 dimensi dalam psychological well being, antara lain :
1. Penerimaan
diri (Self Acceptance)
Artinya, kemampuan seseorang menerima
dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini maupun masa lalu. Individu yang
memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif
terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam
dirinya, baik positif maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap
masa lalu.
2. Hubungan
positif dengan orang lain (Positive
Relations with Others)
Artinya, kemampuan individu menjalin
hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang memiliki positive relations with others ditandai
dengan sikap peduli terhadap kesejahteraan orang lain, dapat membuka diri pada
lingkungannya, menunjukkan empati dan afeksi, serta memahami prinsip memberi
dan menerima dalam hubungan interpersonal.
3. Otonomi
(Autonomy)
6
Artinya, kemampuan individu untuk bebas,
namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang otonom
selalu mempercayai kemampuan dirinya dalam menghadapi lingkungan, bersifat
mandiri, serta memiliki keterampilan yang baik dalam mengambil keputusan.
4. Penguasaan
lingkungan (Environmental Mastery)
Artinya, kemampuan individu untuk
mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta
menciptakan dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang
mampu mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental
akan mampu mengandalikan lingkungannya.
5. Tujuan
hidup (Purpose in Life)
Artinya, kemampuan individu untuk
memahami tujuan dan arah hidupnya serta meyakini bahwa pengalaman hidup di masa
lampau senantiasa memiliki makna. Individu yang memiliki tujuan hidup bias
lebih menghargai diri sendiri secara proporsional.
6.
Pertumbuhan pribadi (Personal Growth)
Artinya, kemampuan individu dalam
menyadari potensi dalam diri, menilai peningkatan dirinya, dan keinginan untuk
terus berkembang. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.
Selain dari keenam dimensi diatas, psychological well
being juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
sebagai berikut (Diener, 1997) :
1. Status
sosial ekonomi
2. Jaringan
sosial
3. Kompetensi
pribadi
4. Religiusitas
5. Kepribadian
6. Jenis
kelamin
2.5
Psychological Well Being pada Lansia
7
Psychological
well being berhubungan dengan tahap perkembangan
yang ada pada lansia. Menurut Havighurst (1961) ada beberapa tahap perkembangan
lansia, salah satunya adalah membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia.
Hal tersebut sejalan dengan salah satu dimensi psychological well being yaitu hubungan positif dengan orang lain.
Tahap perkembangan lansia yang lain adalah penyesuaian diri dengan penurunan
kondisi fisik, kesehatan, dan lingkungan sosial. Hal ini sangat berkaitan
dengan kesejahteraan lansia. Jika seorang lansia mampu memenuhi setiap tahap
perkembangannya dengan baik, maka lansia tersebut akan merasakan psychological well being. Begitupun
sebaliknya, jika lansia tidak dapat memenuhi tahap perkembangannya, maka akan
terjadi masalah.
Sikap
lansia yang tercermin dalam perilaku sosialnya sangat dipengaruhi oleh
perlakuan sosial terhadap dirinya, baik dari keluarga maupun lingkungan
sekitar. Menurut Hurlock (1999), ada tiga hal yang mempengaruhi kontak sosial
pada lansia, yaitu teman dekat (close
friend), perkumpulan sahabat (friendship
cliques), dan kelompok formal (formal
group). Dukungan sosial memberikan dampak yang besar terhadap psychological well being pada lansia.
Lemahnya dukungan sosial sejalan dengan penurunan mentalitas pada lansia. Untuk
meningkatkan psychological well being
perlu melakukan aktivitas positif, seperti bersyukur, melakukan kegiatan
kebaikan, dan bersikap optimis.
Lansia
yang berhasil melalui setiap tahap perkembangannya dan mampu mengatasi
permasalahannya, dapat dikatakan telah mencapai suatu kondisi sejahtera secara
psikologis. Hal ini dapat tercermin dari keenam dimensi psychological well being. Apabila lansia mampu memenuhi keenam
dimensi tersebut, maka tidak akan timbul masalah di hari tua seperti kecemasan
akan kematian. Kesejahteraan lansia merupakan sesuatu yang seharusnya dimiliki
dan dirasakan lansia di sisa hidupnya. Saat ini banyak kegiatan atau aktivitas
yang diadakan oleh pihak-pihak yang peduli terhadap kesejahteraan dan kesehatan
lansia. Contohnya kegiatan olahraga untuk meningkatan kesehatan lansia,
penyuluhan kesehatan, kegiatan rohani, hingga kegiatan hiburan atau rekreasi.
Berbagai macam kegiatan ini bertujuan untuk memembantu lansia mendapatkan psychological well being.
2.6
Psychological Well Being terhadap
Kecemasan akan Kematian
8
Problematika yang harus dihadapi lansia
sangat kompleks, seperti penurunan kondisi fisik dan psikologis. Masalah
psikologis dapat memicu munculnya rasa cemas dalam menghadapi kematian. Kecemasan akan
kematian yang terjadi pada lansia diasumsikan lebih
kepada perasaan takut dan khawatir untuk meninggalkan pasangan hidup dan
keluarga (Bryant, 2003). Kecemasan akan kematian merupakan kondisi emosional
yang tidak menyenangkan, tegang, gelisah, khawatir dan bingung disebabkan oleh
objek yang tidak jelas dan belum terjadi. Hasil penelitian Marmer (2011)
terhadap 4 orang lansia berusia 60-80 tahun, menemukan bahwa ketika lansia
memikirkan tentang kematian, maka akan muncul gejala-gejala fisik maupun
psikologis. Gejala-gejala tersebut meliputi, perubahan suasana hati, pikiran,
motivasi, perilaku gelisah, dan reaksi-reaksi lain yang tidak terkendali. Hal
ini menandakan bahwa lansia tersebut mengalami kecemasan saat memikirkan
tentang kematiannya.
Tahap-tahap
menjelang kematian menurut Santrock (2012) yakni, tahap penolakan dan isolasi,
marah, depresi, penerimaan atau pasrah. Setiap lansia akan melalui tahap untuk
menerima kematiannya. Namun, kecemasan yang dimiliki oleh setiap individu
berbeda-beda. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Subama (2017),
menunjukkan bahwa humor dapat mengurangi kecemasan dalam menghadapi kematian
pada lansia. Hal ini didukung oleh sebuah penelitian yang menunjukkan hasil
bahwa lansia yang memiliki emosi negatif tidak dapat hidup lebih lama
dibandingkan lansia yang memiliki emosi positif. Berdasarkan beberapa hasil
penelitian yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa emosi dan pikiran
positif memiliki pengaruh terhadap kecemasan. Pemikiran yang positif berkaitan
dengan dimensi yang ada dalam psychological
well being.
9
Apabila kondisi kecemasan akan kematian
ini tidak segera teratasi, maka lansia tidak dapat memperoleh perasaan psychological well being. Lansia yang
memiliki psychological well being
rendah disarankan untuk lebih sering berinteraksi sosial guna mengembangkan
hubungan positif dengan orang yang ada di sekitarnya, dan menerima keadaan
dirinya, serta memiliki otonomi untuk mengurangi kecemasan ketika memikirkan
tentang kematian (Keyes, 2002). Sementara lansia yang berhasil mengatasi
kecemasan kematian akan mencapai kepuasan hidup dan successful aging (Kaloeti
& Hartati, 2017). Lansia yang memiliki keharmonisan dalam hidupnya,
mendapatkan dukungan emosional, serta pengertian dari lingkungan sosial akan
mengurangi kecemasannya
dalam menghadapi kematian. Lansia yang memiliki psychological well being dapat menerima
dirinya dengan positif. Kondisi
ini akan membantu lansia
untuk dapat
mengembangkan pemikiran dan suasana hati mengenai kematian lebih
positif seperti merasa damai dan tidak cemas menghadapi kematian. Lansia yang
memandang dirinya secara positif akan merasa
nyaman, damai dan bahagia.
10
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Kecemasan
akan kematian pada lansia merupakan suatu kondisi emosional yang dirasakan
ketika suatu hal yang tidak menyenangkan dialami oleh seseorang manakala
memikirkan tentang kematian. Seseorang yang mengalami kecemasan terhadap
kematian memiliki rasa khawatir, tegang, dan gelisah. Kecemasan yang
terus-menerus dialami lansia dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan
lansia baik fisik maupun mental. Apabila kondisi ini tidak segera teratasi,
maka lansia tidak akan mengalami kesejahteraan psikologis (psychological well being). Beberapa hasil penelitian menyebutkan
bahwa emosi dan pikiran positif memiliki pengaruh terhadap kecemasan. Pemikiran
yang positif berkaitan dengan dimensi yang ada dalam psychological well being. Lansia yang memiliki psychological well being dapat menerima dirinya dengan positif. Lansia yang
memandang dirinya secara positif akan merasa
nyaman tanpa cemas menghadapi kematian, serta merasa damai dan bahagia dalam
menjalani hidup.
1.2
Saran
Setiap
tahap perkembangan dan semua dimensi psychological
well being harus dipenuhi secara baik. Hal ini dimaksudkan agar dapat
mengurangi rasa cemas akan kematian di masa lansia maupun masalah-masalah lain
yang muncul pada masa lansia. Sehingga memiliki perasaan psychological well being menjadi sangat penting bagi setiap
individu.
11
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L.M.
2011. Keperawatan
Lanjut Usia.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Bradburn, N.M. 1969. The Structure of
Psychologycal Well Being. Cichago : Aldine Publishing Company.
Bryant, C.D. 2003. Handbook of Death and Dying. California : Sage Publications.
Carpenito, Moyet. 2008. Nursing Diagnosis: Application to Clinical
Practice. Phila delphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Darmojo, R.B., Martono, H.H. 2004. Geriatri (Ilmu kesehatan usia lanjut) 3rd. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia.
Diener, E., Suh,
E. 1997. Measuring Quality of Life : Economic, Social and Subjective Indicator.
Social Indicator Research.
40:189-216.
Feist, G.J., Feist, J. 2012. Teori Kepribadian. Jakarta : Salemba
Humanika.
Firestone, R., Catlett, J. 2009. Beyond Death Anxiety. New York: Springer Publishing Company, LCC.
Harapan, P., Sabrian, F., Utomo, W.
2014. Studi Fenomenologi Persepsi Lansia dalam Mempersiapkan Diri Menghadapi
Kematian. JOM PSIK. 1(2):1-9.
Haryanto, R., Suyasa, P.T. 2007.
Persepsi terhadap Job Characteristic Model Psychological Well Being dan
Performance (Studi pada Karyawan PT.X). Phorenesis
Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi. 9(1):67- 92.
Havighurst, R.J. 1961. Human Development And Education. New
York : David McKay Company, Inc.
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Hidup.
Jakarta : Erlangga.
Kaloeti, D.V.S.,
Hartati, S. 2017. Subjective Well Being dan Kecemasan Menghadapi Kematian pada
Lansia. Jurnal Ecopsy. 4(3):138-143.
Kashdan, T.B. 2003. The Assesment Of
Subjevtive Well Being (Issues Raised By The Oxford Happiness Questionnaire). Pergamon Journal Of Personality and
Individual Difference. 36:1225-1232.
Keyes, C. 2002. Optimizing Well-Being : The Empirical
Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology.
1007–1022.
Marmer, W.P. 2011. Kesejahteraan
(Psychological Well Being) Psikologis Lansia.
Skripsi Fakultas Psikologi Unair : Surabaya.
Naftali, A.R.,
Ranimpi, Y.Y., Anwar, M.A. 2017. Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam
Menghadapi Kematian. Buletin Psikologi.
25(2):124-135.
Papalia, D.E.,
Olds, S.W., Feldman, R.D. 2009. Human
Development 9th Ed. New York : Mcgraw-Hill.
Ryff, C. 1989. Happiness is Everything, or is It
Explorations on the Meaning of Psychologycal Well Being. Journal of Personality
and Social Psychology. 1068-1081.
Ryff, C. 1995. The Structure of Psychological Well
Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology.
719-727.
Santrock, J.W. 2012. Perkembangan Masa Hidup Edisi ke-13 Jilid II.
Jakarta : Erlangga.
Setiawan, H., Budiningsih, T.E. 2014.
Psychological Well Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan
Wonotunggal Kabupaten Malang. Educational
Psychology Journal. 3(1):8-14.
Sin, N.L. 2006. Enhancing Well Being & Alleviating
Depressive Symptoms with Positive Psychology Interventions : A Practice
Friendly Meta-analysis. Journal of Personality and Social Psychology. 288–307.
Stanley, M.,
Beare, P.G. 2007. Buku
Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC.
Subama, I.S. 2017. Pengaruh
Psychological Well Being terhadap Death Anxiety Lansia. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang :
Malang.
Templer, E. 2006. Construction of Death
Anxienty Scale Extended. OMEGA.
53(3):209-226.
Wong, D. 2008. Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik (6th
edition).
Jakarta: EGC.
Wood, A. 2008. Gratitude Predicts Psychological Well
Being above the Big Five Facets. Personality and Individual Differences.
1-5.
Di susun oleh :
Suparmanto - 46118120024
Devi Pradita – 46118120008
Siti Chadijah – 46117120080
Nazahah Shakinah T. - 46118120053
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Pengaruh Well Being terhadap Kecemasan akan Kematian pada Lansia” ini. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Perkembangan Sepanjang Hayat. Kami menyadari dalam proses pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun, agar makalah ini menjadi lebih baik dan ilmu kita pun bertambah. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kami pribadi khususnya.
Comments
Post a Comment