MAKALAH PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT KEPUASAN PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN PADA DEWASA AWAL DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT

KEPUASAN PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN

PADA DEWASA AWAL DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI PERKEMBANGAN



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i

KATA PENGANTAR .........................................................................................ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan ...............................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pernikahan.......................................................................3

2.2 Pengertian Kepuasan Pernikahan .....................................................3

2.3 Aspek Aspek Kepuasan Pernikahan.................................................4

2.4 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan.............6

2.5 Perceraian...........................................................................................7

2.6 Pernikahan dan Perceraian Pada Dewasa Awal...............................9

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan ........................................................................................16

3.2 Saran...................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................17


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan merupakan langkah awal untuk membentuk suatu keluarga. Sangat

penting bagi calon pasangan baru untuk memahami bahwa pernikahan merupakan

suatu keputusan yang sakral secara agama dan harusnya hanya dilakukan sekali

dalam seumur hidup. Berdasarkan hal itu, maka dalammembentuk suatu keluarga,

individudiharapkan melakukan persiapan yang cukup matang dalam menjalin

hubungan yang lebih serius untuk berkomitmen dengan pasangannya. Kesiapan

menikah menurut Duvall & Miller (dalam Septyandari, 2013:3) merupakan

keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria maupun

dengan seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami

atau seorang istri, siap terlibat dalam hubunganseksual, siap mengatur keluarga

dan siap untuk mengasuh anak.

Sesuai undang-undang No.1 Tahun 1974 bahwa perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha

Esa. Duvall & Miller (dalam Oktanina, 2013:2) menyatakan bahwa pernikahan

merupakan hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang

melibatkan hubungan seksual adanya penguasaan dan hak pengasuh anak dan

saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan sebagai istri.

Menurut teori perkembangan, masa usia menikah adalah saat usia dewasa

awal yaitu berkisar umur 20-30 tahun. Menurut Erikson (dalam Santrock,

1995:41) menyatakan bahwa dewasa awal adalah masa di mana individu berada

pada rentang usia 20-30 tahun yang sedang menghadapi tugas perkembangan

intim dengan orang lain yang digambarkan dengan penemuan diri sendiri pada

diri orang lain yang dapat di capai dengan melalui persahabatan, relasi akrab

secaraintim dengan orang lain. Santrock (2011:6) mengatakan bahwa pada masa

dewasa awal, masih banyak individu yang mengeksplorasi jalur karir, ingin 

menjadi individu seperti apa dan gaya hidup seperti apa yang mereka inginkan,

hidup melajang, hidup bersama atau menikah.


1.2 Rumusan Masalah

Ada beberapa rumusan masalah yang akan menjadi topik pembahasan dalam

makalah ini, seperti :

1. Apa itu kepuasan pernikahan?

2. Apa itu perceraian?

3. Apa pengaruh kepuasan pernikahan dan perceraian pada dewasa awal?

4. Bagaimana perspektif menurut Psikologi Perkembangan?

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini dibuat dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui arti dari kepuasan pernikahan

2. Untuk mengetahui arti dari perceraian

3. Untuk mengetahui pengaruh kepuasan pernikahan dan perceraian pada

dewasa awal

4. Untuk mengetahui kepuasan pernikahan dan perceraian dalam sudut

pandang Psikologi Perkembangan


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pernikahan

Menurut Santrock (2002), pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang

unik, dengan membawa pribadi masing-masing berdasar latar belakang

budaya serta pengalamannya. Hal tersebut menjadikan pernikahan bukanlah

sekedar bersatunya dua individu, tetapi lebih pada persatuan dua sistem

keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem yang baru.

Artinya, perbedaan-perbedaan yang ada perlu disesuaikan satu sama lain

untuk membentuk sistem baru bagi keluarga mereka.

Perkawinan menurut hukum Islam adalah ikatan atau akad yang sangat

kuat (mitsaqan ghalizhan) dalam ketentuan sebagai ikatan lahirbatin antara

suami dan istri. Sehubungan dengan firman Allah “Dan bagaimana kalian

akan mengambilnya kembali, padahal kalian telah bergaul satu sama lain dan

mereka telah mengambil janji yang kuat dari kalian”, dalam arti yang lebih

transcendental, perkawinan diyakini sebagai langkah ibadah sesuai dengan

firman Allah Swt, Surat An-Nisa [4] ayat 21.

Perkawinan menurut Duvall dan Miller, 1985 yang menyatakan bahwa

perkawinan adalah sebuah hubungan dimana hubungan tersebut menyangkut

antara perempuan dan juga laki-laki yang diakui secara sosial, menyediakan

hubungan seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan juga di dalamnya

terjadi sebuah pembagian hubungan kerja yang jelas bagi masing-masing

pihak, baik itu antara wanita atau laki-laki.

2.2 Pengertian Kepuasan Pernikahan

Menurut Gullota, Adams dan Alexander (1986), kepuasan pernikahan

merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan

pernikahannya.

Duval & Miller (1985) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah

suatu perasaan yang subjektif akan kebahagiaan, kepuasan dan pengalaman 

menyenangkan yang dialami oleh masing-masing pasangan suami istri dengan

mempertimbangakan keseluruhan aspek dalam pernikahan.

Olson, Defrain & Skogran (2010), kepuasan perkawinan adalah perasaan

yang bersifat subjektif dari pasangan suami istri mengenai perasaan bahagia,

puas, dan menyenangkan terhadap perkawinannya secara menyeluruh.

Menurut Dowlatabadi, Sadaat dan Jahangiri (2013) kepuasan perkawinan

adalah perasaan bahagia terhadap perkawinan yang dijalani, kepuasan

perkawinan berhubungan dengan kualitas hubungan dan pengaturan waktu,

juga bagaimana pasangan mengelola keuangannya.

Kepuasan pernikahan menurut Berk (2012) adalah menjalin rasa

kebersamaan yang memungkinkan masing-masing untuk berkembang sebagai

seorang individu. Kesabaran, kepedulian, nilai bersama, kegembiraan saat

bersama, berbagi pengalaman pribadi melalui percakapan, bekerja sama dalam

tanggung jawab rumah tangga, dan kerampilan penyesuaian konflik yang baik

pada suami istri.

Lestari (2012) menambahkan kepuasan perkawinan merujuk pada

perasaan positif yang dimiliki pasangan suami istri dalam perkawinan yang

maknanya lebih luas dari pada kenikmatan, kesenangan dan kesukaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan

yaitu perasaan yang bersifat subjektif dari pasangan suami istri mengenai

perasaan bahagia, puas, dan menyenangkan terhadap perkawinannya secara

menyeluruh dan kebahagiaan yang mereka miliki dalam hubungan

pernikahannya.

2.3 Aspek Aspek Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam

perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Clayton (1975). Adapun

aspek-aspek tersebut antara lain:

a. Kemampuan Sosial Suami Istri

Kemampuan sosial suami istri, yaitu kemampuan suami istri dalam

bergaul dengan lingkungan sosial. Meskipun bukan indikasi yang 

menentukan, bisa diasumsikan bahwa dengan terciptanya kenyamanan

dalam rumah tangga akan memunculkan sikap-sikap positif dalam

pasangan suami istri tersebut bergaul dengan masyarakat.

b. Persahabatan Dalam Perkawinan

Persahabatan dalam perkawinan, artinya suami istri harus bisa menjalin

komunikasi, merasakan kegembiraan, kebahagiaan dan pergaulan yang

menyenangkan. Jadi ketika suami ataupun istri mampu merasakan

kegembiraan, kebahagiaan, ataupun perasaan menyenangkan dari

pergaulan antar keduanya, bisa menggambarkan adanya rasa puas dalam

perkawinannya.

c. Urusan Ekonomi

Urusan ekonomi yaitu segala urusan ekonomi dan keuangan dalam rumah

tangga yang meliputi penggunaan uang untuk kebutuhan keluarga, pribadi,

rekreasi serta pekerjaan suami maupun istri. Pasangan suami istri yang

memiliki manajemen keuangan yang 15 baik, tidak akan dipusingkan

dengan persoalan-persoalan sepele yang berkaitan dengan pengeluaran

rumah tangga. Kondisi seperti ini tidak akan terwujud tanpa adanya

suasana yang nyaman dalam keluarga.

d. Kekuatan Perkawinan

Kekuatan perkawinan yaitu kelekatan suami istri terhadap perkawinan

yang dijalani, pengaruh suami terhadap istri atau sebaliknya, adanya rasa

ketertarikan dan ekspresi suami istri. Dengan demikian bisa dikatakan

bahwa salah satu hal yang mampu menandai diperolehnya kepuasan dalam

perkawinan seseorang yaitu fondasi perkawinan yang kokoh.

e. Hubungan Dengan Keluarga Besar

Hubungan dengan keluarga besar yaitu hubungan dengan keluarga yang

ada di luar keluarga inti. Pasangan suami istri yang mampu menciptakan

kepuasan dalam perkawinannya akan memiliki hubungan yang baik

dengan keluarga besar. Hal ini dikarenakan mereka tidak disibukkan

dengan persoalan-persoalan dalam rumah tangganya sehingga mampu

menjalin kedekatan dengan anggota keluarga besar yang lain. 

f. Persamaan Ideologi

Persamaan ideologi yaitu kesamaan tujuan dan pandangan hidup yang

mencangkup kesamaan pandangan tentang perilaku yang baik dan benar.

Semakin banyak kesamaan yang dimiliki oleh pasangan 16 suami istri

dalam hal tujuan serta pandangan hidup, bisa dikatakan bahwa suami

ataupun istri cukup puas dengan pasangannya.

g. Keintiman Perkawinan

Keintiman perkawinan yaitu keintiman antara suami istri yang meliputi

ekspresi kasih sayang dalam hubungan seksual. Pasangan suami istri yang

berhasil membangun kepuasan dalam perkawinannya bisa ditandai dengan

munculnya keintiman dari keduanya.

h. Taktik Interaksi

Taktik interaksi yaitu cara suami dalam berinteraksi dan menyelesaikan

masalah dalam perkawinan diantara penyatuan perbedaan, kerjasama, dan

pembagian tugas dalam rumah tangga. Ketika sebuah keluarga mampu

mewujudkan interaksi yang sehat, dapat diyakini bahwa pasangan tersebut

mampu menciptakan perkawinan yang memuaskan.

2.4 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Menurut Duvall dan Miller (2002), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

kepuasan perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Adanya Kebijaksanaan

Merupakan suatu kepandaian dalam menggunakan akal budinya dalam

menghadapi setiap permasalahan yang muncul yaitu selalu memakai

pengalaman, pengetahuan dan selalu berhati-hati serta teliti.

b. Saling Pengertian

Suami istri berusaha untuk saling memahami keadaan kedua belah pihak

baik secara fisik maupun psikologis sehingga setiap ada permasalahan

yang muncul dapat diatasi dengan baik.

c. Kerjasama Yang Baik

Kerjasama yang baik dapat dilakukan melalui sikap tolong menolong antar

suami istri sehingga segala permasalahan yang ada dapat di atas bersama

sehingga kemungkinan tercapainya kepuasan perkawinan akan lebih besar.

d. Kemampuan Komunikasi

Komunikasi merupakan kunci untuk saling mengerti keadaan masingmasing pribadi, sehingga apabila komunikasinya lancar maka dalam

menghadapi semua permasalahan akan berjalan dengan lancar juga.

e. Kesamaan Latar Belakang

Kesamaan latar belakang baik dalam pendidikan, sosial ekonomi dan suku

bangsa yang dimiliki antara suami istri akan lebih mudah terjalin karena

sudah mempunyai pandangan yang sama.

f. Kemampuan Menyesuaikan

Kemampuan menyesuaikan diri yang baik antar suami istri akan

mempengaruhi terciptanya kepuasan dalam perkawinan.

g. Tekad yang Sama dalam Perkawinan

Suami istri yang sudah memiliki tekat sama dalam perkawinan maka

dalam mencapai kepuasan perkawinan akan lebih mudah karena sudah

mempunyai arah atau keinginan yang sama.

2.5 Perceraian

Menurut Wardoyo (dalam Amelia, 2008) perceraian merupakan kegagalan

dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami-istri.

Perceraian merupakan pengalaman yang menyedihkan dan menyakitkan pada

suami, istri maupun anak-anak.

Remaja yang sedang berkembang sangat rentan terhadap konsekuensi

yang berhubungan dengan perceraian. Teori perkembangan, Erik Erikson

(dalam Sager, 2009) menjelaskan tahap-tahap tertentu di mana orang

berkembang berinteraksi dengan dunia sosial. Dalam teori perkembangan

Erikson masa remaja sebagai masa mengidentifikasi peran versus

kebingungan. Sementara pembentukan mengidentifikasi ada di seluruh tahaptahap sebelumnya, hal ini sangat penting selama masa remaja. Selain 

perubahan pubertas, remaja menjadi sibuk dengan masa depan mereka dan

bersosialisasi di dunia sosial yang lebih luas (Crain dalam Sager, 2009).

Tingkat stres tinggi dikombinasikan dengan hambatan-hambatan yang

disebabkan oleh perceraian dapat mengganggu perkembangan ini menjadi

tonggak kebingungan (Devaris dalam Sager, 2009). Pada tahap perkembangan

kepribadian Jung (dalam Feist, 2009) periode dewasa muda yang ditandai dari

pubertas sampai masa pertengahan (paruh baya). Dewasa muda mencoba

bertahan untuk mencapai kebebasan fisik dan psikis dari orangtuanya,

mendapatkan pasangan, membangun keluarga, dan mencari tempat di dunia

ini. Menurut Jung (dalam Feist, 2009), masa muda seharusnya menjadi

periode ketika aktivitas meningkat, mencapai kematangan seksual,

menumbuhkan kesadaran, dan pengenalan bahwa dunia dimana tidak ada

masalah. Kesulitan utama yang dialami anak-anak muda adalah bagaimana

mereka bisa mengatasi kecenderungan alami untuk menyadari perbedaan yang

teramat tipis antara masa muda dengan kanak-kanak yaitu dengan

menghindari masalah yang relevan sesuai periodenya.

Terlepas dari usia anak selama orangtua bercerai, dampak perceraian

orangtua terutama menonjol selama masa dewasa muda ketika memulai

membangun hubungan romantis mereka sendiri (Franklin dkk dalam Sager,

2009). Cherlin, Chase-Lansdale, & McRae (dalam Sager, 2009) memperkuat

temuan ini dalam penelitian longitudinal yang dilakukan, yang menunjukkan

peningkatan masalah-masalah emosional yang berhubungan dengan

perceraian ketika anak mencapai usia dewasa muda. Dampak perceraian orang

tua semakin muncul pada saat anak memasuki usia dewasa awal, dalam

menjalin keintiman. Keintiman merupakan salah satu kebutuhan manusia yang

paling mendasar dalam menjalin kedekatan dengan orang lain. Setelah tahap

remaja mengidentifikasi peran versus kebingungan, Erikson mencirikan

dewasa muda memasuki tahap keintiman lawan isolasi (Crain dalam Sager,

2009). Tugas utama perkembangan dewasa awal adalah menjalin hubungan

intim dan selanjutnya menikah. Pada saat inilah kecemasan yang bersumber

dari perceraian orang tua menghambat dewasa awal untuk membangun suatu 

keluarga. Keberhasilan dalam menjalin keintiman turut dipengaruhi oleh

bagaimana pandangan dewasa awal terhadap keberhasilan keintiman orang tua

di dalam pernikahan. Jika pernikahan orang tua mengalami kegagalan, maka

hal tersebut dapat memberikan pengaruh kepada anak. Anak yang orang

tuanya bercerai memiliki kemampuan yang rendah dalam mengembangkan

dan mempertahankan hubungan yang bersifat romantik dengan pasangannya,

memiliki ketakutan akan mengulangi kegagalan orang tua mereka dalam

hubungan romantik, kurangnya rasa percaya terhadap pasangan serta memiliki

ketakutan akan komitmen dan menjalin keintiman. Karena adanya

pengalaman buruk mengenai perceraian orangtuanya dapat menimbulkan

trauma dan tertekan. Jika anak-anak memiliki perasaan tertekan atas

perceraian orangtua mereka, perasaan ini dapat muncul kembali selama

periode ini.

2.6 Pernikahan dan Perceraian Pada Dewasa Awal Menurut Psikologi

Perkembangan

Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan

dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup

manusia, dimana remaja mulai tumbuh dan berkembang menjadi orang

dewasa. Kematangan perkembangan psikososial dewasa muda dapat dicapai

ketika mampu melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu

berusaha untuk membuat komitmen pribadi yang dalam dengan orang lain,

jika tidak berhasil maka ia dapat mengalami isolasi dan tenggelam dalam

dirinya sendiri, (dalam Papalia, 2009).

Erikson memandang perkembangan hubungan yang intim sebagai tugas

krusial bagi seorang dewasa awal. Keterbukaan diri (self-disclosure) dan

berbagi pikiran-pikiran personal merupakan tanda keintiman. Seorang dewasa

awal yang belum cukup terlepas dari ikatan orang tua dapat mengalami

kesulitan dalam interpersonal dan karier. Wanita juga perlu mempertahankan

kompetensi dan minat mereka dalam relasi, namun mereka juga perlu

memotivasi diri (dalam Santrock 2009). Adanya need to belong membuat 

intimacy dengan orang lain merupakan suatu yang penting untuk hidup

(Fleeson, Brewer dalam Pearlman & Brehm, 2007). Kebutuhan yang kuat,

stabil, dekat dan saling peduli adalah salah satu motivator yang kuat dari

perilaku manusia. Individu cenderung lebih sehat secara fisik maupun mental

dan dapat hidup lebih lama, jika mereka memiliki hubungan romantis yang

dekat dengan orang lain. Dan untuk memenuhi intimacy, kita didorong untuk

dapat memiliki dan mempertahankan hubungan yang dekat dan intim dengan

orang lain, (dalam Papalia 2009).

Intimacy dipercaya sebagai bagian dari kebutuhan manusia, bukan sekedar

sesuatu yang ia inginkan, harapkan, atau impikan. Kebutuhan akan intimacy

tumbuh dari kebutuhan yang mendasar akan attachment

(Bagarozzy,2001;Hazan&Saver,1987;Reiss&Patrick, dalam Regan 2003).

Kuat lemahnya kebutuhan intimacy bersifat sangat individual. Sebagian

dari keunikannya bisa ditelusuri melalui sejarah attachent awal dengan ibu,

lalu dengan ayah, saudara kandung, dan kerabat lain. Kemudian melalui relasi

personal dengan teman sebaya berjenis kelamim sama, lalu dengan lawan

jenis. Ketika individu beranjak dewasa, kekuatan kebutuhan akan intimacy

yang ia miliki, baik pada setiap komponen maupun secara total, sudah

menjadi relatif stabil (Baragozzi, 2001). Namun tentu saja ada saat-saat

dimana individu lebih mengharapkan terpenuhinya komponen kebutuhan

tertentu. Misalnya orang yang sedang sedih mungkin merasa lebih

membutuhkan emotional intimacy.

Menurut Roy Baumister dan Mark Leary (1995) dalam Miller, Pearlman

& Brehm, 2007, jika individu ingin berfungsi secara normal, individu

membutuhkan interaksi yang sering dan menyenangkan dengan pasangan

intim dalam hubungan yang penuh perhatian dan bertahan lama. Itu

merupakan sebuah need to belong manusia dalam mencari hubungan dekat.

Pentingnya need to belong dalam suatu hubungan memandakan pentingnya

“kontak sosial secara regular dengan oran-orang yang membuat kita merasa

terhubung” (Baumister & Leary dalam Miller, Pearlman & Brehm, 2007).

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seseorang didorong untuk dapat 

memiliki dan mempertahankan hubungan yang dekat dengan orang lain,

individu memerlukan interaksi dan kerukunan dengan orang yang mengenal

dan perhatian terhadap kita. Pentingnya need to belong ini merupakan

alasan kenapa berada dalam kesendirian dalam waktu lama akan menjadi

sangat stres (Schachter dalam Miller, Pearlman & Brehm, 2007).

Keintiman juga mencakup rasa memiliki (sense of belonging). Kebutuhan

untuk membentuk hubungan yang kuat, stabil, dekat dan saling peduli

merupakan motivator terkuat perilaku manusia. Emosi yang paling kuat

–baik positif maupun negatif, dibangkitkan oleh rasa kasih sayang. Orang –

orang cenderung lebih sehat, baik secara fisik maupun mental, dan hidup

lebih lama, jika mereka memiliki hubungan dekat yang memuaskan (dalam

Papalia et.al. 2009).

Hurlock (1999) berpendapat bahwa saat usia dua puluhan, tujuan

hidup wanita yang belum menikah adalah pernikahan, namun saat usianya

mencapai tiga puluh tahun maka ia cenderung menukar tujuan hidupnya

kearah nilai, tujuan dan hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan.

Sementara pernikahan merupakan suatu hal yang dianggap sangat

penting, khususnya bagi para wanita karena banyak dikaitkan dengan

peran sebagai pengelola rumah tangga, bahkan oleh masyarakat seringkali

diingatkan bahwa tujuan wanita adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik

(Poerwandari dalam Larasati 2012). Sehingga ketika seseorang telah

mencapai usia tiga puluh tahun, ada tekanan yang semakin meningkat untuk

menetap dan menikah. Hal ini terjadi ketika banyak orang dewasa yang

sendirian membuat keputusan yang disadari untuk menikah atau tetap

hidup sendiri (Santrock, 2009).

Di berbagai negara, fenomena menurunnya jumlah wanita menikah

menjadi semakin marak. Hal ini diungkapkan dalam artikel yang berjudul

The Flight from Marriage (“The economist,”2011) yang memaparkan

bahwa berdasarkan penelitian, usia rata-rata wanita yang belum menikah

dikota-kota besar bagian Asia Timur dan Asia Tenggara, salah satunya

Jakarta, mengalami peningkatan pesat bahkan lebih tinggi daripada 


dinegara-negara Barat, seperti Inggrisdan Amerika Serikat. Sensus di

Indonesia yang dilakukan oleh Departemen Sosial Ekonomi,

(“Indonesia Marriage Statisctic,”2012) menunjukkan bahwa wanita yang

menikah dikota-kota besar memang semakin berkurang. Artinya, semakin

banyak wanita yang belum menikah di kota-kota besar. Pada tahun 2000

mengalami peningkatan 43,12% wanita yang belum menikah di usia yang

sama. Angka ini terus mengalami peningkatan pada tahun 2005, yaitu ada

sebesar 51,42% wanita yang belum menikah diusia tersebut. Pada tahun 2000,

ada 16,67% wanita berusia 25-29 tahun yang belum menikah dan diikuti

pada tahun 2005, yaitu ada 19,74% wanita berusia 25-29 tahun yang belum

menikah. Data statistik wanita belum menikah di atas menunjukkan

bahwa saat ini, angka pernikahan wanita dewasa muda semakin rendah.

Papalia (2009) menyebutkan juga bahwa jumlah dewasa awal yang

belum menikah terus meningkat secara dramatis. Pada tahun 2000, sekitar

45 persen usia 25 – 29 tahun belum menikah. Bahkan di antara usia 35 –

44 tahun, 15,5 persen masih tetap belum menikah (Papalia, 2009). Tren

tersebut khususnya terdapat pada wanita Afro-Amerika yang 30 persen

diantara mereka belum menikah hingga akhir usia 30 (Teachman, Tedrow

& Crowder, 2000).

Salah satu penyebab dari rendahnya angka pernikahan di perkotaan adalah

pendidikan dan pekerjaan. Faktanya, semakin berkembang tingkat

pendidikan di perkotaan, semakin tinggi pula angka kelulusan perguruan

tinggi lanjut yang melibatkan banyak wanita didalamnya. Perkembangan

pendidikan yang pesat pada wanita inilah yang mempengaruhi

kecenderungan wanita untuk menunda pernikahan (dalam Lannakanita,

2012). Sedangkan pekerjaan sangat mempengaruhi kondisi finansial,

kondisi rumah, cara meluangkan waktu, lokasi rumah, sahabat-sahabatnya,

dan kesehatan (Hodson, 2009). Beberapa orang memperoleh identitasnya

melalui pekerjaan. Pekerjaan juga menciptakan sebuah struktur dan ritme

dalam hidup yang sering hilang jika individu tidak bekerja selama 


periode waktu tertentu. Ada banyak individu yang mengalami stress

emosi dan rendah diri karena tidak mampu bekerja.

Di negara maju jumlah wanita yang memasuki lapangan kerja semakin

meningkat. Sebuah proyeksi terbaru mengindikasikan bahwa jumlah

tenaga kerja wanita dalam lapangan kerja di Amerika Serikat akan

meningkat lebih cepat dari tenaga kerja pria hingga tahun 2018

(Santrock, 2009).

Budaya timur yang dianut oleh Indonesia, memandang status

pernikahan sebagai hal penting bagi seorang wanita. Perlakuan

masyarakat dan status pernikahan yang dimiliki oleh seorang wanita

menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan kesejahteraan

psikologis. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kim

dan McKendry (dalam Woo dan Raley, 2009), wanita yang menikah

memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi

dibandingkan dengan wanita yang belum menikah. Hal ini disebabkan

karena adanya berbagai sumber dukungan sosial yang diperoleh.

Masyarakat Indonesia sebagai negara berkebudayaan timur, masih

berpegang teguh pada tradisi yang mengharuskan seseorang untuk

mengikuti norma budayanya (Matsumoto, 2004).

Sebagai contoh, mitos perawan tua yang dipercaya masyarakat

menyatakan bahwa bila seoarang wanita belum menikah sampai umur

tiga puluh tahun, maka akan kesulitan mendapatkan pasangan. Karena

tuntutan sosial mengenai pernikahan berlainan maka konflik yang

terjadi diasumsikan juga berbeda beda. Cara memandang yang negatif

seperti “perawan tua” lebih banyak diberikan kepada wanita yang masih

melajang di usia dewasa awal dari pada pria. Norma ini dianut oleh

masyarakat Indonesia secara turun temurun sehingga orang tua juga

mengajarkan hal yang sama kepada anak wanitanya (Subiantoro, 2002).

Namun aturan bagi perilaku yang dapat diterima saat ini lebih fleksibel

dibandingkan pada paruh pertama abad kedua puluh. Norma pada saat

ini tidak lagi mendikte bahwa seseorang harus menikah, terus berada 


dalam perkawinan, atau memiliki anak, dan pada usia berapa hal tersebut

harus dilaksanakan (dalam Papalia, et.al., 2009). Adapun keuntungan dari

hidup sendiri adalah memiliki waktu untuk membuat keputusan mengenai

perjalananhidupnya, memiliki waktu untuk mengembangkan sumber daya

pribadi untuk mencapai tujuan-tujuannya, memiliki kebebasan untuk

membuat keputusan secara otonom dan mengejar minatnya, memiliki

peluang untuk menjelajahi berbagai tempat baru dan mencoba hal-hal baru,

serta memiliki privasi. Masalah umum pada orang dewasa lajang

biasanya mencakup menjalin relasi akrab dengan orang dewasa

lainnya, menghadapi kesepian, dan menemukan posisi yang sesuai dalam

masyarakat yang berorientasi pada pernikahan (Koropecjy-Cox, 2009).

Stres juga bisa menjadi masalah, sebuah survey nasional mengungkapkan

bahwa presentase lajang yang lebih besar (58 persen) melaporkan mereka

mengalami stres yang ekstrem sebulan belakangan dibanding mereka yang

bercerai (48 persen) (Asosiasi Psikologi Amerika, 2000). Sehingga

seorang dewasa awal yang masih melajang bisa bergantung kepada

pertemanan untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka dibandingkan

orang dewasa awal yang telah menikah atau yang telah menjadi orang

tua. Orang yang memiliki teman cenderung merasa nyaman; terlepas

apakah memiliki teman membuat orang merasa nyaman dengan diri

mereka sendiri, atau orang yang merasa nyaman dengan diri mereka

sendiri memiliki waktu yang lebih luang untuk membuat pertemanan (dalam

Papalia, et.al., 2009). Kecenderungan melajang lebih sering dijumpai pada

wanita yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan mengutamakan

karier dalam pekerjaannya (Robinson & Bessel, 2002). Pendapat senada

juga diungkapan Becker (dalam Blossfeld, 1995) bahwa wanita dengan

tingkat pedidikan tinggi dan kesempatan karier yang baik mengalami

peningkatan dalam menunda pernikahan. Penundaan pernikahan juga

cenderung terjadi pada wanita bekerja karena adanya perasaan mampu

dalam memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus bergantung pada orang

lain.


Wanita muda, terlepas apakah dia melajang atau telah menikah atau

apakah belum memiliki anak, cenderung memiliki kebutuhan sosial yang

dipenuhi oleh teman mereka ketimbang pria muda. Pria cenderung

berbagi informasi dan aktivitas, tapi tidak berbagi kepercayaan dengan

teman (dalam Papalia, et.al., 2009).

Whitehead (2003) para wanita karier ketika menginjak usia tiga

puluhan mengalami kebingungan untuk menemukan dan

mengembangkan sebuah hubungan yang mengarah pada pernikahan dan

keluarga karena terdapat sedikit pria yang dianggap tepat secara prestasi dan

pendapatan untuk menjadi pasangan hidup sehingga banyak wanita karier

yang tetap lajang. Banyaknya wanita yang bekerja setelah menyelesaikan

pendidikan tingginya, membawa akibat bagi tugas perkembangan lain.

Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dijalani, semakin tinggi pula

para wanita untuk menjadi pekerja. Hal ini meningkatkan komitmen

terhadap karir dan penundaan terhadap pernikahan (Betz, 1993; Spain

& Bianchi, 1996).

Namun demikian, Bridges (1997) mengatakan meskipun banyak

wanita dewasa awal yang bekerja menunda untuk menikah, mereka tetap

memiliki keinginan untuk membuat suatu komitmen pernikahan dalam

hidup. Ketika mereka menjadi sosok dalam arti sebenarnya, orang

dewasa awal mencari keintiman emosional fisik kepada teman sebaya

atau pasangan romantis. Hubungan ini mensyaratkan keterampilan

seperti kesadaran diri, empati, kemampuan mengkomunikasikan

emosi, pembuatan keputusan seksual, penyelesaian konflik, dan

kemampuan mempertahankan komitmen. Keterampilan tersebut sangat

penting ketika orang dewasa awal memutuskan untuk menikah,

membentuk pasangan yang tidak terikat pernikahan atau homoseksual, atau

hidup seorang diri, atau memutuskan memiliki atau tidak memiliki anak

(dalam Papalia, et.al., 2009).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut teori perkembangan, masa usia menikah adalah saat usia dewasa

awal yaitu berkisar umur 20-30 tahun. Menurut Erikson (dalam Santrock,

1995:41) menyatakan bahwa dewasa awal adalah masa di mana individu berada

pada rentang usia 20-30 tahun yang sedang menghadapi tugas perkembangan

intim dengan orang lain yang digambarkan dengan penemuan diri sendiri pada

diri orang lain yang dapat di capai dengan melalui persahabatan, relasi akrab

secara intim dengan orang lain. Santrock (2011:6) mengatakan bahwa pada masa

dewasa awal, masih banyak individu yang mengeksplorasi jalur karir, ingin

menjadi individu seperti apa dan gaya hidup seperti apa yang mereka inginkan,

hidup melajang, hidup bersama atau menikah.

Selain itu, banyak faktor yang menimbulkan kepuasan terhadap

pernikahan begitu juga dengan perceraian. Sebagai manusia, kita diharapkan

untuk bijak dalam menentukan sebuah pilihan, karena kedepannya pilihan tersebut

memiliki dampak serta dapat mempengaruhi perspektif manusia di dalam

menjalani kehidupan.

3.2 Saran

Dalam proses penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak

kekurangan yang ada dalam makalah ini. Sehingga, kami meminta maaf atas

kekurangan tersebut. Kami juga meminta kepada para pembaca untuk turut andil

dalam mengoreksi, mengkritik dan memberikan saran kepada kami agar makalah

ini dapat menjadi makalah yang lebih baik dan bermanfaat untuk semua pihak.



DAFTAR PUSTAKA


 Clayton, P. R. (1975). The family marrageand social change. Washington

DC : Healty and Company.

 Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Theories of personality (7th ed.). New York:

McGraw Hill.

 Hurlock, E. B. (1999) Child Development. [Perkembangan Anak]. (Jilid 2).

(Alih Bahasa : M. Tjandrasa). (Edisi Keenam). Jakarta : Penerbit Erlangga.

 Miller, Rowland S; Perlman, Daniel; Brehm, Sharon S. (2007). Intimate

Relationships: Fourth Edition. New York: McGraw Hill.

 Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2009). Human Development.

[Perkembangan Manusia]. (Alih Bahasa : B. Marwensdy). (Edisi Kesepuluh).

Jakarta : Salemba Humanika.

 Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development,. New York: McGraw Hill.


Disusun oleh:

Ayu Nurul Hidayah (46118120025)

Eka Septa Dewi (46118120067)

Ika Octaviyana (46118120018)

Suci Resti Pertiwi (46116110003)

Dosen dan Pembimbing

Hifizah Nur, S.Psi., M.Ed

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan

rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Perkembangan

Sepanjang Hayat tentang Kepuasan Pernikahan dan Perceraian pada Dewasa Awal

dalam Perspektif Psikologi Perkembangan. Tujuan membuat makalah ini adalah

memenuhi Tugas Besar 1 yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Perkembangan

Sepanjang Hayat, Ibu Hifizah Nur, S.Psi., M.Ed. dengan harapan mahasiswa/i

mampu memahami dengan baik tentang tema tersebut.

Dalam Pembuatan Makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini jauh

dari kata sempurna dan masih perlu perbaikan, oleh karena itu kami mengharapkan

saran dan kritik yang membangun sehingga makalah ini dapat bermanfaat di masa

yang akan datang.

Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis,

pembaca, dan seluruh pihak yang terkait.

Jakarta, 29 September 2020


Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH PERKEMBANGAN MASA REMAJA ( PERKEMBANGAN SEPANJANG HAYAT) PSIKOLOGI

Teori Gestalt Psychology by Max Wertheimer

Perkembangan fisik dan kognitif dewasa madya perspektif perkembangan sepanjang hayat